13. LAZUARDI

9.8K 1.7K 43
                                    

Meninggalkan Draka di ruangan bersama Gibran yang masih belum membuka matanya, Ardi merenungkan diri. Apa yang membuat hatinya nyaman ketika pertama kali melihat Trophy di kampus yang dia urus. Tidak heran sebenarnya mengapa Trophy tidak melihatnya sebagai pria yang ada di sekitaran dunianya. Karena Ardi bukan mahasiswa di sana. Juga bukan senior yang bisa mudah diketahui oleh Trophy. Dia adalah pejabat kampus dan dunianya tidak bersinggungan dengan Trophy secara langsung.

Alini [ Ini knp ada bang Raka? Lo dmn?]

Adiknya memiliki sifat yang jauh berbeda dengan mama mereka. Jika mama mereka adalah tipikal yang lemah lembut, maka Alini adalah tipikal keras yang tidak suka untuk diatur.

Me [ Makan. Tungguin kakek. Nanti kalo Draka mau pulang, temenin kakek dulu.]

Tak ada lanjutan balasan dari Alini. Adiknya itu memang hanya ingin tahu sedang apa Ardi sekarang, begitu tahu dia tidak akan menambahkan pertanyaan lainnya.

Mereka bukan keluarga sempurna. Sangat jauh dari kata sempurna, membuat Ardi dan Alini belajar untuk tak menjadi seperti apa yang keluarganya lakukan. Jika Ardi membiasakan diri dengan Gibran, maka Alini membiasakan diri untuk tidak tinggal bersama orangtua toxic mereka.

Sejak usia Alini tujuh belas, Gibran memberikan hadiah berupa tempat tinggal yang sederhana tapi cukup untuk dihuni oleh cucunya sendiri. Bukan tanpa alasan Gibran memberikannya, Alini pernah menangis hebat dan mengalami traumatis karena mama mereka sempat mengalami pendarahan pada kehamilannya yang ketiga akibat amarah papanya.

Sekali lagi. Baik Ardi maupun Alini, keduanya menyimpan luka dalam karena bentuk keluarga yang kacau. Gibran tidak pernah ikut campur, karena putrinya—mama Ardi dan Alini—sudah menetapkan diri dengan pilihannya. Sekalipun Ardi dan Alini meminta mamanya bercerai dari pria yang suka main tangan itu, tetap saja wanita yang melahirkan mereka mengutamakan segalanya atas nama cinta.

Yang terjadi, Ardi dan Alini tidak membentuk ikatan kuat dengan mama mereka. Menjadikan hubungan berdinding tebal dan kokoh ada membatasi anak dan ibu itu.

"Beliin es teh, Mas." Tiba-tiba saja Alini sudah duduk di kursi depan Ardi.

"Ngapain ke sini? Kamu jagain kakek sana!" Ardi tidak langsung mengiyakan permintaan adiknya.

"Nggak perlu gue. Mama udah di sana." Jawab Alini setelah memesan es teh yang dia mau.

"Draka pulang?" tanya Ardi.

Alini menganggukan kepalanya dan mendapatkan minuman teh dinginnya.

"Masih nggak mau damai sama mama, Al?"

Sebenarnya pertanyaan itu harusnya dilayangkan juga pada diri Ardi sendiri. Sebab mereka tidak memiliki kehidupan yang sepenuhnya layak bersama mamanya.

"Mas Ardi sendiri, pernah mikir buat damai sama mama?" balas Alini.

"Aku nggak bermasalah sama mama. Aku ajak ngomong mama, nggak menghindarinya kayak kamu."

"Hei! Mas aja nggak mau tinggal sama mama, berarti belum damai."

Ardi menatap adik perempuannya yang menghindari mata pria itu. Tenggelam dalam manik sang kakak akan membuat semua emosinya dibaca dengan cermat oleh Ardi. Jelas Alini tidak ingin dibaca. Dia tak ingin siapa pun mengetahui problema emosi dalam dirinya.

"Aku belum pernah main ke tempat tinggalmu."

Wajah Alini menegang cepat. Dia tidak bisa menghindari tatapan kakaknya karena menyinggung rumah.

"Kenapa? Aku nggak boleh masuk ke rumah adikku sendiri? Lagian, yang beli rumah itu kakek, Al. Kamu juga belum punya suami. Ini aku minta izin ke kamu, lho. Harusnya, sih, nggak perlu. Kamu adikku, aku kakakmu. Ada larangan seorang kakak bertandang ke rumahmu?"

Alini sepertinya tak mampu untuk membalas ucapan kakaknya yang memang terkenal pedas dengan gaya santainya. Namun, Alini tidak akan mengira begini yang dia dapatkan setelah bertahun-tahun tinggal sendiri dengan nyaman.

"Kok, diem?" Ardi menaikkan alisnya. Dia meminta pada tukang bubur dan es untuk membulatkan seluruh harga pesanan. Lalu dengan cepat kembali pada sang adik. "Kecuali ada seseorang yang tinggal bersama kamu, sepertinya aku harus mempertimbangkan banyak hal untuk ke rumahmu."

Ah, sial. Dengan begini, kakaknya tahu bahwa dia tidak sendirian di rumah tersebut. Dan konteks yang Ardi jerumuskan melalui pertanyaan jelas adalah pria yang memiliki hubungan dengan Alini.

"Aku nggak bermaksud untuk melangkahi mas."

Jika sudah menggunakan bahasa yang santun, itu tandanya Alini merasa bersalah.

"Aku nggak pernah masalah untuk dilangkahi, Al."

Alini menggeleng dengan keras. "Tapi aku yang nggak mau, Mas! Aku nggak seserius itu dengan ... lelaki ini."

Ardi mengusapi kepala adiknya dengan sayang. Menyebabkan Alini terdesak untuk menangis karena kasih sayang kakaknya. Keluarganya.

"Maafin aku karena nggak bisa jadi keluarga terbaik kamu. Setelah papa dan mama yang nggak bisa membuat kamu nggak terluka, aku malah membiarkan kamu membagi luka dengan orang lain. Tapi harus kamu tahu, Al. Aku sangat menyayangimu."

Alini menggenggam tangan kakaknya erat. Dia meneteskan airmatanya di depan Ardi yang sakit melihat adiknya seperti ini.

HE WANTS TO FIX ME / TAMATTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang