54. LAZUARDI

7.8K 1.4K 69
                                    

Sebenarnya tidak pernah ada masalah bagi mereka untuk memiliki anak. Bagi Lazuardi itu bukan masalah sama sekali, karena bisa mendapatkan dari perempuan yang ia cintai sudah pasti sangat membahagiakannya. Sedangkan bagi Trophy, tak apa memiliki anak, asal ... laki-laki. Itu semua terungkap setelah Musesa berusia 1,5 tahun. Melihat tumbuh kembang anak itu, membawa kecemasan tersendiri bagi Opy. Perempuan itu mengatakan pada Ardi, bahwa memiliki saudara perempuan sangat tidak menyenangkan. Mereka akan terus bersaing dan tidak ada hentinya saling menyakiti. Meski Ardi berkata dengan semua itu mereka akan saling menyayangi, bagi istrinya tidak seperti itu.

Memang mereka akan saling menyayangi dengan caranya masing-masing, tapi momen layaknya bermusuhan lebih banyak terjadi. Opy tak ingin memiliki anak perempuan setelah Esa. Apalagi mengingat bahwa Esa membawa darah Draka, akan ada banyak perbedaan yang kedua anaknya alami. Sedikit banyak ketika mereka besar nanti, Esa akan tahu mengenai hal ini. Jika mereka memiliki anak perempuan kembali ... perang diantara keduanya akan terjadi.

Terdengar berlebihan mulanya bagi Ardi, tapi melihat situasi sekarang ini dimana Opy tak bisa akur dengan saudara kembarnya, terlebih Draka dulu adalah mantan kekasih Opy ... semua itu menambah jarak bagi Opy dan Ery. Mau tak mau Ardi menimang kembali pandangan Opy berdasarkan pengalaman. Hingga mereka memang sempat sepakat untuk menggunakan pengaman, yang mana Ardi yang harus merelakan cara untuk memakai kondom atau keluar diluar. Opy tak ingin dirinya kacau dengan alat kontrasepsi yang biasanya memang harus menemukan yang cocok. Ardi paham istrinya memang rewel dan pemilih sekali.

"Maaf, Sayang. Aku terlalu merasa nyaman di dalam kamu sampai lupa kalo aku nggak menggunakan pengaman."

Opy menatap suaminya yang membersihkan sisa percintaan mereka. Pria itu mengurus Opy dengan sangat baik, memperlakukan Opy sebagai ratunya. Meski perempuan itu sempat iri dengan putrinya sendiri. Bagaimana tidak iri? Ardi adalah pria sekaligus papa yang sangat jantan, baik, dan perhatian. Siapa yang tidak akan mencoba menarik perhatian pria itu?

"Nggak apa. Kan, memang kesepakatan itu nggak ada awalnya. Itu terjadi karena ketakutan aku aja."

Memang benar. Berdasarkan ketakutan Opy dan Ardi menimangnya dengan baik. "Gimana kalo yang ini berhasil?" tanya Ardi.

"Ya, Esa akan punya adik."

"Jenis kelamin perempuan?"

Yang ini membuat Opy terdiam sejenak. Masih berat dengan bayangan bahwa Esa memiliki saudara perempuan.

"Kamu keberatan, Opy?"

"Kita lihat nanti, ya, Ar? Aku mungkin akan bisa lebih menerima begitu menjalaninya. Kalo bermodalkan ketakutan dari bayangan di kepala aja, kamu dan aku juga nggak akan menjadi pasangan, kan? Mungkin dengan keberadaannya, aku akan bisa menerima dan menjalaninya. Esa memiliki adik perempuan, mungkin nggak akan separah bayanganku."

Itu bukan bayangan. Itu adalah pengalaman istrinya dengan Ery. Meski Ardi tetap berharap Opy benar-benar bisa menerimanya jika memang terjadi demikian.

"Aku harap semua ketakutan itu akan terkikis seperti kita yang pada akhirnya menjalani apa yang tidak kita bayangkan untuk bisa dilakukan."

Opy memberikan senyumannya yang cantik. "Ya, semoga, Ar.

*

"Tolong aja lihat dulu rumahnya yang di sana, Tan. Aku belum bisa percaya sepenuhnya dengan mereka, katanya, sih diurus. Tapi nggak ada yang tahu apakah beneran diurus atau nggak."

Sejak satu jam lalu Ardi sibuk menghubungi Tristan melalui sambungan video call. Mereka akn berangkat dini hari ini dan sengaja supaya bisa sampai siang. Opy dan Ardi sepakat untuk menggunakan pesawat bukan jet pribadi. Itu semua agar Musesa merasakan menjadi orang biasa. Ya, meskipun Ardi tetap memesan kelas utama yang tidak akan memudahkan Esa bisa bergabung dengan banyak orang, tetap saja Opy mensyukuri itu. Yang terpenting Esa bisa merasakan naik pesawat bersama kedua orangtuanya dengan hati senang. Itu akan menjadi pengalaman yang tiada duanya.

Sebisa mungkin Ardi dan Opy menciptakan keluarga yang tidak didapatkan oleh Opy maupun Ardi. Khususnya hal-hal kecil semacam itu.

"Ya, jangan nggak percaya gitulah, Kak. Kan udah dibayar mahal, nggak mungkin kalo nggak diurus sama mereka. Rumah itu pasti sudah rapi."

Opy mengamati di belakang. Karena ada meja kerja di kamar, maka Opy duduk di sisi ranjang.

"Belum tentu, Tristan. Orang-orang semacam itu terkadang—"

'Uwaaaahhhh'

Ardi langsung tertegun begitu mendengar suara tangis dari panggilannya dengan Tristan. Tangis anak kecil yang sepertinya ada disekitar Tristan.

"Siapa yang nangis, Tan?"

Opy membelalak di tempatnya. Itu adalah hal yang dirahasiakan oleh Alini dari kakaknya.

"Itu ... anak tetangga lagi main."

"Ngapain anak tetangga main di rumahmu tanpa pengawasan? Kamu pemilik rumah, kenapa anak tetangga bisa masuk gitu aja?"

"Bapaknya ada, kok."

"Hah? Nggak jelas banget—"

"Sayang? Udah belum telepon Tristan nya? Kita harus istirahat sebentar sebelum bangun nanti."

Opy dengan sigap memutus ucapan suaminya yang semakin menelurkan kecurigaan terhadap Tristan.

"Tapi, Opy ...."

"Udahlah, ngomongnya kalo udah sampe Jakarta. Aku capek, kamu mau tidur di kamar atau di luar? Aku nggak mau, ya, Esa nanya kenapa kamu tidur diluar karena sikap kamu yang bikin jengkel!"

Mau tak mau Ardi termakan akan ancaman istrinya. Opy memang paling bisa membuat lawan bicaranya menuruti apa yang perempuan itu mau. Meski sebenarnya Ardi jelas mengendus tanda bahaya dari sikap gugup Tristan tadi.

"Sampe di Jakarta, kita sepertinya perlu bicara banyak, Tristan."

Dan Opy yang mendengar hal itu saja merinding, apalagi Tristan. 

[Siap, yuk! Kita siapin segala emosi.]

HE WANTS TO FIX ME / TAMATTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang