Chapter 52

24.5K 1.6K 302
                                    

Happy reading!!!

Di sebuah ruangan, seorang laki-laki tengah sibuk dengan laptop dan dokumen-dokumen di depannya. Sampai pintu ruangan di ketuk seseorang.

Laki-laki tersebut mengangkat kepala dan berteriak. "Masuk!" Seperti biasanya, lalu seseorang yang mengetuk pintu pun akhirnya masuk ke ruangan.

Ternyata karyawannya. Alvandra akhirnya memilih bertanya. "Ada apa?"

"Ini Pak, tadi ada yang mengantarkan Bapak surat. Dari rumah sakit umum Pondok Indah." Gadis tersebut memberikan sebuah surat yang di bungkus amplop itu pada Alvandra.

Alvandra menerima.

"Kalau begitu saya keluar ya Pak." Setelah mendapat anggukan, gadis yang merupakan karyawan tersebut melangkah keluar.

Pintu ruangan tertutup kembali, Alvandra membuka amplop itu untuk melihat isinya. Walaupun ia sudah tahu hasil yang ada di surat itu, tetapi tak salah juga untuk lebih memastikannya.

Lelaki itu mulai membaca isi dari surat tersebut. "Hasil, dari tes DNA parental antara Alvandra Fahri Alfiansyah Alvarendra dan Rava Nizama Rayyan V 99% dinyatakan cocok."

Napas Alvandra terasa tercekat membacanya. Sebelumnya ia memang sudah sangat yakin anak itu adalah anak kandungnya. Namun, Membaca surat itu, semakin membuatnya menyesal dengan perbuatannya 10 tahun yang lalu.

Ia menyesal telah membohongi, menduakan dan menalak Zahra saat itu. Banyak sekali perbuatan yang ia sudah sesali, dan karena perbuatan itu juga, Ibu dan Adiknya tidak menganggap dirinya sebagai keluarga lagi.

Alvandra merobek kertas itu, membuat robekan-robekan kecil itu berceceran di lantai.

Laki-laki yang dibalut pakaian formal itu keluar dari ruangannya, berjalan ke parkiran.

Masuk ke dalam mobil lalu segera mengemudikannya ke sekolah Rava, anaknya.

Butuh beberapa menit perjalanan, untuk ia sampai di sekolah taman kanak-kanak tempat anaknya bersekolah.

Alvandra tidak langsung turun dari mobil, ia mengecek arloji yang terpasang di tangan kanannya, untuk melihat jam berapa sekarang.

Jam sudah menunjukkan pukul 09.45, yang artinya dua puluh lima menit lagi waktunya sekolah Rava untuk pulang.

Alvandra mengambil kesempatan dengan pergi membeli mainan dan eskrim untuk anaknya.

Setelah itu, ia kembali ke sekolah tempat anaknya bersekolah, untuk memberikan mainan dan eskrim yang sudah dibeli. Juga mengantar anak itu pulang, setelah bermain-main beberapa jam.

Sampai di sekolah itu, Alvandra kembali mengecek arlojinya, sekarang jam sudah menunjukkan pukul 10.05, lima menit lagi.

Beberapa menit menunggu, gerbang di buka, terlihat anak-anak berlari dan berjalan keluar dengan antusiasnya menghampiri orang tua masing-masing. Namun, ada juga yang terlihat tidak antusias, itu adalah anak yang hanya di jemput oleh supir.

Alvandra turun dari mobil, menghampiri Rava yang baru saja ia lihat keluar dengan berjalan santai.

"Rava," panggil Alvandra, Rava yang merasa seseorang memanggilnya, sontak menoleh dan mendongakkan kepala untuk melihat seseorang itu.

Anak itu langsung mengembangkan senyum ketika melihat seseorang yang memanggilnya.

"Om," ucap Rava mengambil tangan Alvandra lalu menciumnya dengan sopan.

Hati Alvandra terasa sakit, mendengar anak kandungnya tidak memanggilnya dengan sebutan Papa, melainkan Om.

Namun, ia berusaha untuk tersenyum.

"Om, napain ke sini? Mau ajak Ava makan eskim lagi ya?" tanya Rava dengan polosnya.

(Om, ngapain ke sini? Mau ajak Rava makan eskrim lagi ya?)

"Om bawain kamu mainan sama eskrim." Alvandra memberikan totebag berwarna coklat itu pada Rava.

Rava semakin mengembangkan senyumnya, lalu hendak menerima totebag itu, tetapi sebuah tangan langsung mencegahnya.

Anak itu sontak mendongakkan kepala untuk melihat seseorang yang mencegahnya menerima totebag yang di berikan Alvandra.

Alvandra ikut menoleh untuk melihat seseorang itu, dan hendak berprotes. Namun, ia urungkan tatkala melihat seseorang itu adalah Zahra.

"Mama? Ava kan mau nelima mainan sama eskimnya," ucap Rava berprotes menatap Zahra kesal.

(Mama? Rava kan mau terima mainan sama eskrimnya,)

"Mama bisa beliin yang lebih banyak dan lebih mahal sekalipun. Jadi, Rava gak usah nerima pemberian Om Al," ucap Zahra.

"Tapi Mamaaa." Rava mulai mengeluarkan puppy eyes andalannya.

Zahra menghiraukan ucapan Rava, ia beralih menatap Alvandra dengan pandangan tak suka.

"Buat apa ngasih anak saya mainan sama eskrim? Saya bisa beli mainan dan eskrim sendiri untuk dia," katanya

"Salah ya kalau seorang Ayah membelikan anaknya mainan?" tanya Alvandra kembali menatap Zahra dalam.

Mendengar kalimat yang keluar dari mulut Alvandra, Rava dibuat berpikir. Ayah? Anak? Ia berusaha untuk mencerna perkataan laki-laki itu.

'Salah ya kalau seorang Ayah membelikan anaknya mainan?' Itu artinya, baru saja Alvandra mengaku bahwa dia orang tua Rava.

Rava mengerti sekarang. Ia mengangkat kepala untuk menatap seseorang yang bisa saja adalah ayahnya. "Om Al, Papa Ava?"

"Bukan!" seru Zahra cepat-cepat.

Alvandra acuh tak acuh dengan perkataan Zahra. Ia berjongkok guna menyamakan tingginya dengan Rava. "Ava anak Om. Sekarang panggil Papa ya?"

"Benelan?" tanya Rava sekali lagi. Untuk memastikan. Anak itu terlihat antusias, apalagi ketika Alvandra mengangguk dan tersenyum.

Lantas, anak itu menyerbu ayahnya dengan pelukan yang amat erat. "Papaaaa!" Matanya berkaca-kaca ingin menangis haru.

Akhirnya.

Akhirnya, yang ia tunggu-tunggu telah tiba. Yaitu bertemu dengan ayahnya.

Entah mengapa juga, anak itu langsung percaya. Padahal, ia adalah type anak yang tidak mudah percaya dengan orang yang tidak terlalu dekat. Dan, ibunya pun sudah mengatakan bahwa jangan mudah percaya dengan orang-orang.

Alvandra membalas pelukan erat itu. Ia juga ikut ingin menangks haru. Sebahagia itu anaknya bertemu dengan dirinya.

"Papa, selama ini ke mana aja? Ava kan butuh Papa," lirih Rava.

Zahra yang melihat itu geram sendiri, ia menarik Rava sedikit kasar untuk melepas pelukannya.

"Pap-"

"Apaan sih! Jangan ngaku-ngaku deh jadi papa Rava! Kamu juga Va, Mama udah pernah bilangkan, jangan gampang percaya gitu aja sama orang. Dia bukan Papa kamu." Zahra menatap tak suka pada Alvandra dan menatap anaknya marah.

Rava menunduk takut, baru kali ini dia dikasari dan dibentak oleh ibunya. Selama ini, Zahra selalu bersikap lembut dengannya.

"Sa-" ucapan Alvandra terpotong karena Zahra tiba-tiba menarik tangan Rava untuk meninggalkannya.

"Mama! Ava mau main-main sama Papa!" Rava berusaha melepaskan tarikan Zahra yang semakin kuat. Perempuan yang terlanjur kesal itu beralih menggendongnya lalu berjalan dengan cepat.

"Papaaa! Ambil Ava! Ava mau main sama Papaaa!" panggil Rava menoleh ke belakang menatap untuk Alvandra. Air mata terus-menerus turun dari mata anak kecil itu.

Alvandra akhirnya mengejar dua orang yang dia sayangi itu, dengan langkah yang tak kalah cepat dengan langkah Zahra.

"Ayra, tunggu!"

Jangan lupa vote dan komennya 🖤

Maaf kalau pendek, di tunggu chapt selanjutnya🤗 bisa di liat jadwal up di bio wp ku.

Happy/sad? Aku gak bakalan pernah capek nanya itu ke kalian😂

Alvandra (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang