Chapter 34

14.4K 910 1
                                    

Happy reading!

Hari sudah terganti. Namun, perempuan yang selesai di operasi kemarin itu belum juga sadarkan diri.

Alvandra, suami dari perempuan tersebut tentu saja sangat khawatir. Dia tak hentinya menemani Zahra, sejak dipindahkan ke ruang rawat inap.

Susah sekali laki-laki itu untuk makan, semalam saja dia makan karena paksaan dari keluarganya.

Sangat bersalah, tentu saja. Alvandra sangat merasa bersalah, menyalahkan dirinya bahwa karena dia semua ini terjadi. Karena dia, calon bayinya meninggal. Karena dia, istrinya sakit dan harus operasi pengangkatan ovarium. Dia berpikir seperti itu, karena istrinya kecelakaan ketika ingin mengantarkan makan siang untuknya.

Bahkan, seharian dia tidak tidur. Tangan kekarnya itu masih menggenggam tangan pucat istrinya, sesekali menciumnya. Dan terus bergumam kata maaf. "Ayo bangun. Maaf, karena aku kamu jadi kayak gini. Karena aku, kita kehilangan calon anak kita."

Di ruang rawat itu, hanya ada dia dan Zahra. Yang lain ada yang ke kantin dan pulang ke rumah untuk mengambil kebutuhan Zahra selama di rawat.

Sampai pada akhirnya, tangan di genggamannya terasa bergerak. Cepat-cepat dia mengangkat kepala.

Buru-buru Alvandra menekan tombol pemanggil dokter yang letaknya ada di atas brankar.

Dokter perempuan masuk, memeriksa keadaan pasien. "Alhamdulillah, bu Zahra sudah sadar." Dokter tersebut tersenyum simpul yang menular ke tubuh Alvandra.

Laki-laki itu bernapas lega. "Alhamdulillah, terima kasih, Dok."

"Sama-sama, kalau begitu saya keluar ya." Berkata demikian, dokter keluar dari ruangan meninggalkan keduanya.

Setelah dokter keluar, Alvandra beralih menatap istrinya yang baru saja mengerjapkan mata.

"A-al," lirih Zahra, badannya terasa masih remuk. Dia hendak bangun dari posisi tidurnya, namun cepat-cepat Alvandra mencegah. "Jangan banyak gerak, dulu."

Tak jadi mengubah posisi. Zahra teringat kejadian yang menimpanya kemarin. Kepalanya terasa pusing kala mengingatnya.

Lalu, buru-buru perempuan itu meraba perutnya. Terdiam, itu yang Zahra lakukan. Dia menggelengkan kepala. Tidak, Tidak mungkin. Perutnya terasa rata, berbeda seperti kemarin. "Dede bayinya, ke mana? Kok perut aku nggak buncit lagi?" lirihnya berusaha menunduk menatap perut rata itu.

Tatapannya beralih pada Alvandra yang masih diam. "Bayinya lahir prematur, ya?" Nampaknya, perempuan itu masih berusaha berpikir positif.

Napas Alvandra kembali terasa sesak, dia bingung apa yang harus dia katakan. Bingung bagaimana caranya menjelaskan semua yang terjadi pada istrinya.

Alvandra melangkah lebih maju, mengambil tangan wanita itu untuk dia genggam. Menghapus air mata wanita itu yang sudah terjatuh tanpa disadari.

"Kamu istirahat ya?" ujar Alvandra menolak menjawab pertanyaan istrinya.

"Jawab dulu!"

"Ayra ...."

Alvandra menarik napasnya dalam, lalu menghembuskan. "Kamu nggak lahiran prematur. Tapi---"

"Tapi, apa?"

"Keguguran. Anak kita udah tenang di surga Allah. Dan ... satu ovarium kamu, di angkat," ucap Alvandra sangat pelan. Bisa di bilang berbisik.

Saat itu juga, harapan Zahra pupus. Napasnya sangat-sangat sesak. Matanya membelalak tak percaya. "Bohongkan? Aku lahiran prematur kan? Dede bayi nggak mungkin pergi!"

"Ikhlasin dede bayi, ya? Biarin dia tenang di sana." Alvandra berusaha menenangkan istrinya.

Air mata yang tadinya membendung, sudah keluar. Membasahi pipi perempuan berwajah pucat itu, perempuan yang sedang rapuh.

"Ini salah aku. Harusnya ... aku izin dulu sama kamu, harusnya aku naik taksi aja ke kantor."

Alvandra menggeleng. Tangannya bergerak menghapus air mata istrinya. "Hei, bukan salah kamu. Udah takdir. Tenang ya? Jangan nangis, Vanara-nya nggak suka liat Bunda nangis."

"Sekarang istirahat aja, ya? Biar kamu cepet sembuh. Stop blaming yourself." Karena ini, salahku yang nggak bisa jagain kamu dengan baik. Lanjut Alvandra dalam hati.

Jangan lupa vote dan komen, Terimakasih.

Alvandra (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang