Chapter 27

12.9K 898 8
                                    

Happy reading!

Malam Minggu biasanya sepasang kekasih ataupun pasutri suami istri akan keluar berjalan-jalan.

Namun, berbeda dengan Alvandra dan Zahra yang hanya berada di ruang televisi.

"Pak." Zahra memanggil dengan suara pelan. Suaminya yang mendengar itu menoleh.

"Kenapa?"

"Jalan-jalan, ayo! Malam Minggu loh ini," ucap Zahra diikuti wajah memelasnya.

"Sudah malam. Banyak angin, udara dingin tidak baik untuk ibu hamil." Jawaban itu, jawaban yang membuat langsung membuat Zahra kesal.

"Ya---kan, ah udah deh! Ayo jalan!"

"Mau ke mana?" tanya Alvandra. Alisnya terangkat sekilas.

"Pasar malem, udah lama nggak ke sana."

"Siap-siap. Pakai hoodie yang bahannya hangat. Kita sebentar saja." Alvandra berdiri dari duduknya. Lalu keduanya melangkah masuk ke dalam kamar untuk bersiap-siap.

Selesai berganti pakaian dengan hoodie yang bahannya lumayan tebal, keduanya kini berada di garasi. Zahra meminta untuk memakai motor saja.

Namun, Alvandra ingin menggunakan mobil seperti biasanya. "Pakai mobil saja, Ayra. Biar---"

"Saya maunya pakai motor, Pak! Nggak ada bantahan pokoknya! Titik nggak pakai koma!" rajuk Zahra.

"Sejak kapan titik pakai koma?"

Mendengar pertanyaan itu, sontak Zahra mamanyunkan bibirnya semakin kesal. "Bapak kok gitu sih!"

"Saya kenapa, memangnya?" Dengan santai, Alvandra menaikkan sebelah alisnya.

"Makin nyebelin! Makin, banyak deh!"

Hening.

"Naik motor aja ya, Pak? Kalau naik mobil, nggak jadi!" ucap Zahra membuyarkan keheningan.

"Mobil."

"Yaudah, nggak jadi!" Zahra menghentak- hentakkan kakinya keluar dari garasi, namun sampai di luar dia semakin di buat kesal. Ketika mendengar perkataan suaminya.

"Itu yang saya mau. Tidak perlu keluar, karena udara dingin tidak baik untuk ibu hamil." Entah sejak kapan lelaki itu sudah berada di sampingnya.

Zahra menyerah. Tadinya, dia berharap setelah berkata 'nggak jadi' laki-laki itu akan mengalah. Tapi ternyata, yang terjadi adalah sebaliknya.

"Yaudah, naik mobil aja." Dia berpikir, lebih baik ke pasar malam menggunakan mobil daripada hanya tinggal di rumah.

---

Zahra turun dari mobil. Matanya berbinar ketika melihat kerlap-kerlip lampu berwarna-warni di stand penjual dan permainan seperti, bianglala dan lain-lainnya yang ada di pasar malam itu.

Alunan dari beberapa permainan menggema.

Perhatian Zahra teralih ketika sebuah tangan kekar menarik tangannya dan menggenggamnya.
"Ayo." Alvandra mengajak.

Lalu, keduanya berjalan dengan beriringan masuk ke dalam pasar malam, mengelilingi tempat itu sampai di depan bianglala.

"Naik itu yuk, Pak!" ajak Zahra berseru.

Alvandra lantas menatapnya. "Tidak akan mual atau pusing?"

"Iya dong, Bapak pernah naik bianglala, kan?"

"Pernah. Enam kali."

"Yaudah, ayo naik!"

"Tunggu," kata Alvandra meraih ponselnya lalu membuka sebuah aplikasi.

Setelah mendapat jawaban dari pertanyaannya, dia menaruh benda pipih itu pada saku celana.

"Ibu hamil tidak dianjurkan untuk naik bianglala."

Mendengar kalimat yang terlontar dari mulut laki-laki di hadapannya, lantas membuat wajah Zahra berubah drastis.

Alvandra merasa kasihan. Padahal, perempuan itu sudah sangat bersemangat tadi. Namun, mau bagaimana lagi. Ini demi kebaikan istri dan calon anaknya.

"Itu ada kembang gula kapas, mau?" tanyanya berusaha membuat Zahra bersemangat lagi.

Sontak Zahra mengangkat kepalanya mencari tempat penjual makanan yang di sebut oleh suaminya. "Gulali? Mana?"

Gulali adalah makanan yang Zahra sukai setelah eskrim.

"Itu," ucap Alvandra menunjuk pelan penjual gulali kapas di seberang sana.

Melihat hal itu, semangat Zahra kembali.

"Ayo, beli!" Dengan semangat perempuan hamil itu menarik tangan Alvandra untuk menghampiri penjual tersebut.

Sampai di sana, Zahra memilih warna-warna kembang gula kapas itu yang menurutnya bagus. "Ini aja dua, Pak." Kemudian, tangannya menarik dua bungkus gulali kapas pilihannya.

"Berapa, Mas?" tanya Alvandra seraya mengambil dompet hitam miliknya lalu mengeluarkan selembar uang berwarna merah.

"Dua puluh ribu, Pak."

Kemudian, laki-laki itu memberikan selembar uang yang dia ambil tadi, lalu menyerahkan pada Mas-mas penjual gulali kapas di depannya.

"Kembaliannya ambil saja, Mas."

Mendengar hal itu, senyum mas penjual gulali mengembangkan senyum. Menerima uang itu. "Terimakasih, Pak."

Alvandra membalas dengan tersenyum simpul. "Kembali."

Laki-laki yang menggunakan Hoodie hitam itu berbalik menatap istrinya yang sudah membuka satu bungkus gulali. Dia geleng-geleng kepala.

"Ayo, duduk di bangku itu," katanya menarik tangan Zahra duduk di bangku kosong yang tak jauh dari mereka.

Duduk tenang di sana. Zahra memberikan sebungkus gulali kapas tersebut pada Alvandra.

Mereka mulai memakannya dengan tenang sambil menatap anak-anak yang sedang naik permainan mobil-mobil.

Tiba-tiba saja, Alvandra menyodorkan sesuap gulali kapas ke mulut Zahra.

Perempuan itu membuka mulutnya menerima suapan itu dengan senang hati. Lalu dia juga melakukan hal seperti apa yang suaminya lakukan.

Pasangan yang tengah memakan gulali itu kembali fokus pada objek menyenangkan di depannya.

"Nanti kalau, Nara-nya udah lahir, kita ajak ke pasar malam juga, ya? Terus di ajak naik bianglala." Zahra memalingkan tatapannya menatap Alvandra.

Mengangguk adalah jawaban laki-laki di sampingnya. "Saya tidak sabar, menunggu kelahiran anak kita."

***

Sekarang ini, Alvandra dan Zahra berada di dalam kamar.

Mereka sedang memegang Al-Qur'an, membacanya dengan bersamaan. Memang, hampir setiap malam Zahra akan membaca Al-Qur'an.

Selesai dengan kegiatannya itu, keduanya menatap gambar USG yang di berikan dokter Kara.

"Ra." Mendengar suara yang memanggil namanya, Zahra menoleh ke samping.

"Iya?"

"Boleh saya minta sesuatu?" Alvandra menatap wanita yang sedang memegang sesuatu di sampingnya dengan tatapan dalam.

"Boleh, apa?"

"Jangan pernah meninggalkan saya, apapun yang terjadi," ucap Alvandra.

"Insha Allah saya nggak akan ninggalin, Bapak. Kecuali, kalau Bapak ngecewain saya. Dan, ajal menjemput saya."

"Saya akan berusaha untuk tidak mengecewakan, kamu. Kita terus bersama, sampai maut memisahkan, ya?" Zahra menyunggingkan senyum, dia mengangguk.

"Mulai sekarang, kita pakai aku-kamu, ya?"

Lagi-lagi Zahra mengangguk. "Tapi Bapak jangan make bahasa baku."

"Jangan manggil Bapak. Aku bukan ayah kamu. Dan bukan lagi bos kamu."

Jangan lupa vote dan komen, Terimakasih.

Alvandra (END)Where stories live. Discover now