Chapter 25

14.1K 956 14
                                    

Happy reading!

Sepulang dari restoran, mereka berdua bersandar diujung ranjang sembari bertumpu kepala, memikirkan sesuatu yang mungkin sangat penting untuk mereka berdua.

Sesuatu itu adalah nama untuk anak mereka, anak yang akan mereka besarkan dengan senang hati dan penuh sabar.

"Kalau anaknya perempuan saya mau kasih nama Vanara," ujar Zahra setelah mendapatkan nama yang cocok untuk calon anaknya.

Alvandra menoleh, menatap istrinya. Menaikkan sebelah alis. "Karena?"

"Arti dari Vanara itu artinya gemar membantu dan praktis. Dia juga memiliki hati yang baik dan ramah."

"Dan, Vanara itu di ambil dari singkatan nama kita. Emang sih, agak lebay dan mungkin nggak jaman lagi ambil nama anak dari potongan nama orangtuanya, tapi saya mau. Dipanggil Nara, Cocok kan?"

"Lumayan, dan jika anaknya laki-laki saya ingin memberinya nama Rava. Artinya, dia orang penyayang, menyukai tantangan dan memiliki kepribadian yang baik."

"Karena kamu ingin memberi nama anak kita dari singkatan nama orangtuanya, Rava juga saya ambil dari nama kita."

"Bagus. Berarti Vanara, dan Rava?" tanya Zahra memastikan, Alvandra mengangguk.

"Nama udah ada, sekarang apa lagi ya?" Zahra tampak berpikir.

"Panggilan untuk kita! Saya mau dipanggil Bunda."

"Bapak, Ayah?" Alvandra mengangguk. Sepertinya panggilan itu lucu. CEO dari salah satu perusahaan di Indonesia itu sudah tak sabar dipanggil Ayah oleh anaknya.

Zahra tersenyum. Dia juga sudah tak sabar menanti anak pertama mereka lahir.

Tatapan perempuan itu beralih pada jam dinding. Sudah jam sembilan. Ia belum ngantuk. "Nonton yuk?"

Lantas Alvandra melihat jam. "Sudah jam sembilan, tidur."

Zahra menggeleng. "Belum ngantuk, mending kita nonton aja dulu." Kemudian, tanpa menunggu balasan dari suaminya, Zahra mengambil laptopnya lalu kembali ke atas ranjang. Duduk dan bersandar di kepala ranjang.

Ia menaruh laptop itu di atas pangkuannya.

Alvandra hanya bisa menghela napas, lalu bersandar di pundak istrinya ketika film di mulai. "Kenapa tidak menonton di TV saja?"

Zahra menoleh sekilas sebelum kembali fokus pada laptopnya. "Suasananya beda aja."

Mendengar hal itu, Alvandra mengangguk-anggukkan kepala. Ia ikut menonton, tetapi setelahnya tatapan manik hitam pekat itu terarah pada wajah Zahra. Tak lagi memperdulikan film yang sedang tayang di laptop.

Tatapannya tak pernah lepas dari wajah cantik itu, sampai pada akhirnya pemilik wajah tersadar tengah ditatap seseorang. "Kok malah natap saya?"

"Lebih menarik."

Sontak Zahra menggeleng-gelengkan kepalanya, kembali fokus pada film yang sedang tayang sambil tersenyum-senyum sendiri.

Seiring berjalannya waktu, tangan Alvandra terulur mengambil tangan istrinya lalu menggenggamnya, mencium tangan putih nan mulus itu dengan sangat tulus. Kepalanya terus terletak di ceruk leher Zahra.

***

Tanggal lima belas, adalah jadwal Zahra kontrol ke dokter. Dan sekarang ini, wanita hamil itu sedang menunggu suaminya di rumah. Dia akan menemaninya untuk ke dokter. Menunda rapat dan lain-lain di kantornya.

Tak butuh waktu yang lama, Alvandra sudah datang. Mereka segera keluar dari rumah bersamaan dengan datangnya sebuah mobil merah.

Zahra sontak menatap Alvandra yang baru saja menutup pintu rumah, alisnya berkerut, tatapannya menunjukkan pertanyaan.

Alvandra (END)Where stories live. Discover now