Chapter 30

15.6K 926 2
                                    

Happy reading!

Ramai. Itu yang Zahra simpulkan ketika melihat tempat pesta ulangtahun Faras.

Alunan musik ceria menggema seluruh ruangan. Kerlap-kerlip lampu warna-warni terlihat sangat bagus.

Ketika melihat Faras di seberang sana, Alvandra dan Zahra segera mengayunkan langkahnya mendekat.

Mereka di sambut dengan ramah oleh pemilik pesta itu. "Hai, makasih ya udah dateng."

"Ini kado dari saya, semoga suka ya." Zahra memberikan perempuan di hadapannya sebuah kado yang ia beli tadi.

"Pasti, suka."

"Yaudah, di nikmati ya acaranya. Gue mau ke temen-temen yang lain dulu." Setelah mendapat anggukan kepala dari keduanya, Faras melangkah pergi ke arah teman-temannya.

Tak lama kemudian, seorang wanita datang dengan membawa tiga gelas minuman, mendekat ke arah pasangan suami istri tersebut.

"Hai, apa kabar?"

Alvandra sempat terkejut sebentar, namun cepat-cepat ia menetralkan wajahnya. "Alhamdulillah baik. Kamu sendiri?"

"Baik."

"Itu istri kamu ya?" Naila, wanita itu menunjuk seorang perempuan yang sedang berteleponan dengan seseorang.

Alvandra mengangguk sebagai jawaban.

Saat telepon terputus, Zahra berbalik menghampiri kembali suaminya. Dia dapat melihat seorang wanita sedang berbincang-bincang singkat dengan Alvandra.

Namun, tak dapat melihat wajahnya karena terhalang oleh tubuh tegap Alvandra.

Semakin melangkah maju, akhirnya Zahra dapat melihat wajah wanita itu. "Naila?" Dia membeo.

"Zahra!" Naila langsung memekik, lalu mendekati Zahra memeluk wanita itu. Melepas rindunya.

"Apa kabar? Udah lama banget nggak ketemu," tanyanya setelah pelukan terlepas.

"Alhamdulillah baik, lo?"

"Fine, lo istri Alva kan?" Naila melirik sekilas pada Alvandra.

Mengangguk adalah jawaban Zahra dia ikut melakukan apa yang di lakukan oleh Naila tadi. "Iya, udah kenal ya?"

Jujur saja, Alvandra sempat terkejut ketika tahu bahwa kedua perempuan itu saling mengenal.

"Maaf ya Ra, waktu lo nikah gue nggak dateng," ucap Naila tak enak hati.

"Nggak papa, gue juga minta maaf nggak ke pernikahan lo bulan lalu." Zahra tersenyum simpul.

Naila ikut mengembangkan senyumnya. "Ohiya, haus nggak? Gue bawa minuman nih, mau?" tawar Naila menyodorkan satu gelas minuman pada teman lama yang pernah menolongnya.

Saat SMA, Naila hampir saja tertabrak mobil dan untung saja ada Zahra yang menolongnya. Dan karena hal itu, mereka menjadi kenal dekat.

Bahkan orang tua Naila pun kenal dengan Zahra.

Zahra menerima gelas itu. "Kebetulan emang haus, thank you." Ia terkekeh pelan lalu meminum minuman yang ada pada gelas itu.

Tanpa sadar, di seberang sana ada yang melihatnya. _Gaji naik._ monolognya sambil tersenyum devil.

"Duduk di sana yuk." Naila menunjuk sebuah meja bundar dengan tiga kursi yang ada di dekat mereka.

Mengangguk. "Ayo!" Lalu, ketiga orang itu melangkah mendekati meja yang ditunjukkan oleh Naila. Duduk di sana dan berbincang-bincang sebelum Zahra mengeluh perutnya keram.

"Udah mau melahirkan? Ayo cepet bawa ke rumah sakit!" ucap Naila khawatir.

Alvandra menggeleng. "Belum waktunya." Dia bergerak menggendong istrinya ala bridal style untuk di bawah ke rumah sakit terdekat.

---

Sekarang ini, Alvandra telah berada di ruang rawat inap. Istrinya belum juga sadarkan diri yang membuat dirinya semakin cemas.

Laki-laki itu duduk di kursi samping brankar. Tangannya menggenggam tangan sang istri dan mengusapnya lembut. Sesekali dia mencium.

"Don't worry, me."

Merasa tangan yang digenggamannya itu bergerak, cepat-cepat Alvandra mengangkat kepala. "Sudah sadar? Aku panggil dokter dulu."

Baru saja dia akan bergerak, Zahra sudah lebih dulu membuka suaranya. "Aku nggak apa-apa."

"Perutnya udah nggak kram? Bayinya nggak nakal lagi, kan?" 

"Nggak kok, dede bayinya kan baik. Iya kan, bayi?" Zahra berusaha menunduk dengan posisi berbaringnya. Tangan pucat itu bergerak pelan mengelus sesuatu yang buncit.

Alvandra tersenyum simpul. Tangan kekarnya ikut bergerak mengelus perut buncit istrinya. "Do not be naughty. Kalau nakal, Ayah nggak mau nurutin Bunda kalau dia ngidam karena kamu."

"Kasian dede bayi, belum ada di dunia udah di ajak bicara bahasa Inggris, diancam pula."

"Biar kalau lahir, bisa langsung bahasa Inggris." Alvandra terkekeh pelan. Zahra tertawa pelan.

"Mau bangun."

"Serius?" Zahra mengangguk. Lalu, Alvandra membantu istrinya untuk duduk.

"Kira-kira dia mirip siapa, ya?" gumam Zahra menunduk dan mengelus perutnya lagi. Beralih memikirkan anaknya mirip dengan siapa.

"Ayahnya," ucap Alvandra yang mengundang tatapan tajam dari perempuan di hadapannya.

"Mirip Bunda pasti, ya kan, Bayi?" Zahra semakin menunduk, berbicara seolah-olah bertanya pada calon anaknya.

"Harus mirip Bunda sih, kan Bunda yang mengandung, Bayi."

"Mirip sama siapapun itu, nggak apa-apa. Yang terpenting, dia sehat," kata Alvandra dibenarkan oleh Zahra. Benar, mau anaknya mirip siapapun, tidak apa-apa. Yang terpenting, dia sehat.

Tak lama setelah mereka berbincang-bincang. Zahra menguap pelan. "Allahuakbar," gumamnya.

"Tidur aja Ra," ujar Alvandra yang dituruti oleh istrinya.

Zahra kembali membaringkan tubuhnya selepas berdoa. Menutup mata dan masuk ke dalam alam mimpi.

Alvandra yang melihat hal itu, menyunggingkan senyum tipis lalu mengecup pucuk kepala istrinya setelah mengusap pelan. "Get well soon, special lady."

Ayunan langkah Alvandra keluar dari ruang rawat inap. Dia kemudian merogoh ponselnya untuk menelepon seseorang.

"Halo Al, kenapa? Eh gimana kondisi Zahra? Maaf tadi nggak bisa ikut."

"Bisa bertemu besok? Saya ingin berbicara sesuatu. Dan alhamdulillah Zahra baik-baik saja."

"Boleh, di mana?"

"Tempat biasa."

"Oke."

Selepas berucap salam, panggilan terputus. Alvandra kembali masuk ke dalam ruang rawat inap istrinya. Berbaring di sofa panjang yang tersedia.

Jangan lupa vote dan komen, Terimakasih.

Alvandra (END)Where stories live. Discover now