Chapter 1: First Thing First

435 29 11
                                    

Kenangan ...

Kadang, aku bertanya soal kenangan, apakah benar, kenangan adalah hal yang terus membuat kita hidup?
Apa arti kenangan?
Untukku, hidup yang aku jalani selama ini, hanya sekadar lewat. Ada beberapa hal yang singgah dalam ingatan, dan menjadikan itu sebuah kenangan.

Tentang orang tua?

Mama yang mengajariku banyak hal dan memberikan banyak kenangan.

Soal angin yang selalu berhembus, ombak yang selalu mendebur di lautan. Dan hidup yang terus berjalan.

Aku senang menyendiri, banyak merenungkan tentang hidup. Berdiam diri di langkan adalah hal yang, paling ampuh mengenang Mama yang sudah tiada.

Setiap kita pasti dilahirkan dari dua orang manusia.

Tapi, aku tidak bisa menjelaskan bagaimana Papa kandungku. Kata orang, Papa sudah meninggal. Namun, hal ini tidak bisa aku percaya. Satu hal yang bisa aku kenang adalah; boneka donald duck (yang kata Mama itu diberi oleh Papa sebagai hadiah ulang tahun ke-satu).
Entah fungsinya apa, yang jelas, boneka itu tidak pernah kupajang atau memeluknya seperti anak perempuan kebanyakan.

Benci setiap kali melihat rupa dan bentuknya. Seakan boneka itu adalah Papa yang tega meninggalkan aku dan Mama. Waktu mama meninggal, aku mencabik si donal dengan gunting, dan taktahu mengapa, boneka masih tersenyum-konyol.

Biar begitu, aku tidak mampu membuangnya, meski sudah coba berulang-ulang kali.

"Mana kartu press gue?" tagihku kepada Tony si pemimpin redaksi majalah internal kampus.

Dia, Tony si ketua redaksi bertugas koordinir peliput dan juga menentukan konten majalah. Intinya hanya oplah yang bisa menambah keuangan kampus. Tidak bisa protes soal ini, ikuti saja alurnya.

Dalam majalah internal, awalnya aku sebagai petugas dokumentasi. Hanya hobi yang bisa menopang hidup dari fotografi. Untuk sebagian orang hobi mahal, tapi buatku menghasilkan uang walau tidak banyak.

Aku kuliah, setidaknya itu yang bisa aku syukuri. Disaat semua orang susah payah untuk sekolah. Beruntung dapat beasiswa dari prestasi saat SMA. Walau uang semesteran harus nombok juga.

"Ini, atas nama Aigeia Zahra. Liputan yang bener," ujarnya.

"Gue nggak bisa protes, harusnya bukan gue yang liputan dan wawancara."

"Abis gimana, Gei. Ga ada orang lagi."

"Yaudah, gue berangkat!"

Namun, terlepas dari tugas dan redaksi menyebalkan, hasil dari liputan dan menulis artikel, lumayan. Menutupi biaya operasional sehari-hari.

Jakarta, bagi sebagian orang adalah kota tempat menaruh dan mewujudkan semua mimpi. Penduduk padat, terbukti dari kendaraan umum-yang selalu berjejal. Juga kendaraan pribadi yang selalu memadati jalan. Sepertinya, jalan selebar apa pun tidak akan pernah cukup.

Bagiku, menembus kemacetan kota Jakarta sudah biasa. Termasuk hari ini bergegas ke Festival Musik Kampus di Depok.

Angin semilir yang bertiup melalui jendela bisa membuat tidur di dalam bis. Dan, aku menyukai ini, walau berisik, dan kadang sopir bus ugal-ugalan. Tapi, aku bisa tenang ada di dalamnya. Walau harus hati-hati juga selalu pilih tempat yang aman.

Festival Musik diadakan di lapangan utama Kampus Raya Depok.

Penonton mulai memadati lapangan walau hanya masih di depan panggung. Langsung wawancara beberapa pengisi acara dan tim penyelenggara Festival Musik Kampus, hingga malam menjelang.

Penampil acara semakin banyak, penonton pun makin berjejal memenuhi lapangan yang luas. Stan bazar yang ada di pinggiran lapangan pun seperti tenggelam oleh kerumunan penonton.

A Love Could Kill UsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang