MBN 51

4.3K 327 11
                                    

Pintu ruangan terbuka dengan suara keras yang mengiringinya. Semua orang yang yang ada di ruangan langsung menghentikan aktivitas mereka, menatap ke arah pintu guna mengetahui siapa orang yang sangat berani membuka pintu tanpa permisi.

Karei menyeka keringat di pelipisnya, membuat pelipis itu mencetak noda merah. Darah yang semula ada di tangannya, terulas pada pelipisnya itu. Pria itu menatap marah orang yang baru datang. Seorang pria yang sekarang tampak ngos-ngosan dengan tangan yang menyangga tubuhnya di kusen pintu.

Pria itu menyeringai, berusaha menampakan wajah berani walau hati sedang sibuk menguatkan diri. Pria itu menegakan tubuhnya, lalu menepuk-nepuk kedua tangannya seolah sedang membersihkan debu di sana. Tatapannya mengarah pada objek yang paling menyedihkan, sosok Dikta yang masih terikat di tiang. Pria itu bersyukur saat melihat Dikta masih membuka mata. Walau kepalanya sudah terkulai lemah tak berdaya, namun pria itu masih belum pingsan. Antara dia yang kuat atau Karei yang tak memberikannya serangan super hebat.

Puas melirik Dikta, pria itu sekarang beralih pada Karei. Sosok pria yang sedang memperhatikannya dengan mata tajam tanda kemarahan. Pria itu lagi-lagi menyeringai, lalu melangkah gontai menghampiri Karei.

"Sebelum bunuh Leon, hadapi gue dulu, Bang," ucap pria itu menantang.

Karei tentu saja tak suka, dia sangat tak menyukai seorang pengganggu yang datang menyela kesenangannya. Tidak tidak, untuk saat ini, bukan kesenangannya, tapi kemarahannya.

"Kalau lo nggak mau mati, pergi dari sini, Sa," ucap Karei yang masih mau menahan diri.

Meski rasa takutnya kian menjadi, tapi Angkasa tetap tak mau pergi, pria yang sekarang sudah sampai di hadapan Karei itu malah menaikan wajahnya, membuat gerak tubuh seolah sedang menantang dengan penuh keberanian.

Bughh

Meski sempat gemetar, Bogeman mentah Angkasa sukses mendarat di pelipis Karei. Membuat semua orang yang memperhatikan membulatkan mata. Mereka semua hendak maju, namun gerakan tangan Karei yang membuat posisi stop langsung menghentikan niat mereka.

"Lo yakin bisa menang?" tanya Karei.

Angkasa menimbulkan senyum miring, dia sekarang mulai memasang kuda-kuda bertarungnya. "Siapa yang tahu?" balasnya.

Karei berdecih, kalau amarah tidak sedang bergemuruh dalam dadanya, mungkin pria itu akan tertawa sekarang, menertawakan sikap Angkasa yang sok pahlawan padahal dia hanya akan menjadi beban.

Bughh

Tidak sampai satu detik, Angkasa sekarang sudah tumbang. Tengkurap di bawah kaki Karei setelah sukses merima bogeman hingga satu giginya terlempar. Ringisan pelan meluncur dari bibir pemuda itu, tangannya juga bergerak memegang pipi yang terasa nyeri. Begitu ia menggerakan mulutnya, rasa asin khas darah langsung menyapa lidah, membuat pria itu sekarang meludah ke sembarang arah.

Melihat Karei yang akan menginjaknya, Angkasa segera bangkit berdiri, tak mau menyerah meski sekarang lututnya bergetar.

Angkasa kembali memasang kuda-kuda, lalu menahan tendangan yang Karei berikan. Angkasa membuang kaki Karei, lalu dia mulai menyerang. Memukul, menyikut, menendang, menangkis, semua itu Angkasa lakukan. Meski kebanyakan serangannya gagal, dan malah dia yang terserang, namun pria itu masih berdiri tegak sekarang.

Napas keduanya mulai tak beraturan, tatapan menusuk saling mereka lemparkan. Sudut bibir dan pelipis Angkasa sudah robek sekarang, mengeluarkan darah segar yang pemuda itu tak pedulikan.

Wajah Karei masih bersih, hanya ada darah Dikta yang sempat memuncrat saja dan satu luka lebam yang Angkasa layangkan. Pria itu memang hebat, baik dalam bertahan ataupun menyerang.

My Bad Neighbor (END)Where stories live. Discover now