MBN 47

4.2K 363 13
                                    

Di dalam kamar dengan pencahayaan super terang, seorang gadis berpiyama berusaha menenangkan dirinya sendiri. Perasaan kesal bercampur amarah dan kesedihan teraduk menjadi satu memenuhi rongga dadanya. Gadis itu memeluk lututnya sendiri, berusaha menghentikan isakan yang tak kunjung juga berhenti.

Sudah tiga puluh menit dia seperti itu, namun tanda-tanda membaik sama sekali tidak ada. Matanya yang ia pejamkan kini terasa panas, menandakan lamanya air mata mengucur dari sana. Dia menggenggam erat selimutkan, menyalurkan tiap perasaan yang begitu mengganggu waktu tidurnya.

Tok... Tok... Tok...

Suara ketukan pintu terdengar, namun itu sama sekali tak membuatnya beranjak atau sekedar menoleh saja. Dia terlalu malas untuk melakukan hal itu.

"Non Zoya, ini Mas Dikta mau ketemu katanya."

Suara Bi Kokom terdengar di telinga, ah, rupanya dia yang mengetuk pintu kamarnya. Mendengar nama Dikta di sebut, pipinya yang sudah mengering kini kembali dialiri air mata. Mendengar nama Dikta, membuat kejadian beberapa saat lalu kembali terputar di otaknya. Dikta memang tak melakukan apa-apa padanya, pria itu tak melukainya atau sekedar meneriakinya. Namun hatinya tetap sakit saat tahu perilakunya. Hatinya tergores saat melihat Dikta menyakiti perempuan lain di depan matanya. Dan yang paling penting, dia sangat menyayangkan karena pada kenyataannya dia masih peduli dan sangat sulit untuk membenci Dikta kembali.

Tok... Tok... Tok...

Lagi-lagi suara pintu diketuk terdengar, namun sekali lagi Zoeya tak memperdulikannya. Gadis itu tetap tak bergerak di posisinya, sibuk menangis dan menyeka air mata yang tak kunjung berhenti juga.

"Zoya..."

Kali ini yang terdengar bukanlah suara Bi Kokom, melainkan suara bergetar Dikta yang memanggil namanya.

"Gue mau bicara, buka pintunya, ya?" bujuk Dikta di balik pintu.

Lagi-lagi Zoeya tak bersuara, gadis itu terlalu kaku untuk membuka mulutnya dan menjawab Dikta. Lagipula keinginan untuk berbicara dengan Dikta sekarang tak lagi ada.

"Kalau nggak mau, gue ngomong dari sini aja." Lagi-lagi Dikta berkata, dia seakan sangat yakin kalau Zoeya sedang mendengarkannya. Tak ada terlintas di pikirannya kalau Zoeya sudah terlelap di dalam sana.

"Gue berani sumpah kalau gue nggak lakuin apa-apa sama Celin. Oke, gue ngaku dorong dia ke pintu dan nyaris nampar dia. Tapi untuk buat Celin babak belur sebegitu parahnya, gue menolak untuk mengaku. Karena emang gue nggak lakuin hal itu."

Zoeya menenggelamkan kepalanya pada lipatan lutut, terlampau sedih dan kecewa pada lelaki itu. Bukannya senang, Zoeya malah semakin menyayangkan sikap Dikta. Ayolah, sudah jelas-jelas Celin bilang kalau Dikta pelakunya. Dan sekarang Dikta malah mengelak dan ingin menyelamatkan dirinya. Huh, tidak bisa dipercaya.

Celin tidak mungkin, kan, menuduh Dikta begitu saja? Dipikir seperti apapun, sangat tak masuk akal kalau Celin menyiksa dirinya sendiri hanya untuk memfitnah mantan pacarnya. Perempuan mana yang rela terluka parah hanya untuk menjerumuskan orang lain ke dalam lubang neraka? Mungkin yang semacam itu hanya ada di sinetron saja.

"Lo harus percaya sama gue, Zoya, jangan sampai lo tertipu dan buat Celin menang dengan jalan ceritanya. Orang itu ular, Zoya, nggak pantas buat lo belain," ucap Dikta lagi. "Gue cuma bilang itu aja, gue pulang, Zoya. Jangan nangis lagi dan tidur sekarang juga."

Zoeya mengangkat kepalanya, menoleh ke arah pintu saat suara langkah kaki terdengar menjauh dari sana. Dikta sudah pergi. Ya, pasti seperti itu.

Meski dengan gerakan perlahan, Zoeya mulai merebahkan dirinya, menarik selimut sampai menutupi seluruh tubuhnya. Meski sesenggukannya masih belum mereda, gadis itu mulai memejamkan matanya. Berusaha untuk tidur, karena besok masih ada jadwal untuk sekolah.

My Bad Neighbor (END)Where stories live. Discover now