MBN 03

7.7K 622 37
                                    

Waktu menunjukan pukul 22.15, namun sosok pria yang masih mengenakan seragam sekolah itu sama sekali tak peduli. Dia masih asik duduk di sofa lantai dua salah satu club ternama di kotanya. Ada seorang perempuan di sampingnya, sedang bersandar pada lengannya dengan tangan yang memegang gelas berisi minuman keras. Teman-temannya yang juga datang ke tempat ini sedang sibuk menari di lantai bawah sana.

"Leon, apa kabar, bro?"

Dikta, pria yang tengah asik duduk seraya mendengarkan musik tak jelas itu menengadah begitu merasa namanya disebut. Dia tersenyum kecil, kemudian bangkit dan melakukan salam ala lelaki dengan orang yang baru menghampirinya. Dia yang tiba-tiba berdiri membuat perempuan yang bersandar padanya harus rela tumbang ke kursi dengan minuman yang juga ikut tumpah. Untung saja tumpahnya ke bawah, tidak ke baju perempuan itu.

Dikta yang baru sadar segera mengambil gelas dalam genggaman si perempuan, menyimpannya pada meja, lalu mengangkat perempuan itu dan membuatnya bersandar lagi pada lengannya.

"Cewek lo, bro?" tanya orang yang baru saja tiba itu seraya sibuk menuangkan minuman beralkohol ke dalam gelas.

"Iya," jawab Dikta seadanya.

Pria itu tersenyum, kemudian mulai menegak minuman yang baru dituangkan itu. "Cewek mana?" tanyanya.

Dikta juga menegak minuman yang sama sebelum ia menjawab pertanyaan itu. Pemuda itu menggoyang-goyang gelas minuman miliknya, kemudian berkata, "SMA Tunggal Jaya. Udah lama gue, Za."

Pria tadi yang memiliki nama Reza itu mengangguk mengerti. "Sendiri lo?" Kali ini dia mengganti pertanyaannya.

Dikta menggeleng lemah, kepalanya sekarang sudah bisa merasakan pusing akibat minuman yang ia konsumsi. "Enggak. Velo sama Angkasa ada di bawah," jawabnya.

Reza mangut-mangut, pemuda itu tak lagi bersuara. Dia memilih sibuk menegak minuman seraya sesekali menggoda perempuan yang lewat di sekitarnya.

Tak lama Dikta merasakan getaran dalam saku celananya, membuatnya merogoh saku celana itu. Dia mengeluarkan benda pipih berwarna hitam dari sana, memperhatikan layarnya yang menampilkan telepon masuk dengan nama 'Mama'. Bukannya menjawab, Dikta malah menolak telepon itu, kemudian menyimpan ponselnya di samping tempat duduknya. Persetan, palingan ibunya itu akan menyuruhnya untuk pulang. Karena memang sejak pagi dia belum pulang ke rumah.

Belum sampai satu menit, ponselnya itu kembali bergetar, membuat Dikta berdecak dan kembali memencet tombol merah guna menolak sambungan. Namun, berapa kalipun ia melakukan itu, ponselnya terus kembali bergetar, membuatnya geram dan segera mengangkat telepon tanpa melihat terlebih dahulu. Toh, sudah pasti itu ibunya.

"Apa?" ucapnya tanpa basa-basi.

"Kata nyokap lo pulang! Udah malam!"

Suara ini? Dikta berdecih pelan, tanpa menjawab apapun, dia segera mematikan sambungan. Itu sudah pasti Zoeya. Tetangganya yang satu itu entah kenapa gemar sekali mengurusi hidupnya, membuatnya sangat risih. Tak cukup apa ibunya yang selalu mengaturnya? Zoeya juga sering ikut-ikutan.

Dikta membuka riwayat panggilannya. Dia semakin kesal kala yang ia angkat merupakan panggilan pertama Zoeya, sedangkan yang ditolak semuanya dari ibunya. Ah, gadis itu pasti sedang salah paham sekarang.

----🛹🛹🛹----

Zoeya menatap kesal sambungan teleponnya yang baru saja diputus secara sepihak. Bisa-bisanya Dikta membuatnya kesal malam-malam seperti ini. Huh, kalau saja bukan karena ibunya alias Tante Indri yang datang ke rumah dan meminta dirinya untuk menelepon Dikta, dia juga tak akan sudi melakukan itu.

My Bad Neighbor (END)Where stories live. Discover now