MBN 44

4.2K 343 11
                                    

Bel belum juga berdering, namun motor Dikta sudah bertengker manis di depan gerbang SMA Tunggal Jaya. Tujuannya jelas, menemui Celin sang mantan pacar yang waktu itu namanya terucap dari salah satu pengganggu Zoeya.

Sudah 15 menit pria itu menunggu, sengaja membolos jam terakhir sekolahnya hanya untuk datang ke sini tepat waktu. Membolos tidak sama dengan buat onar, kan?

Tak lama, akhirnya bel pulang SMA Tunggal Jaya berdering, membuat satpam sekolah segera membuka gerbang lebar-lebar. Terjadi jeda setelah bel sebelum akhirnya para siswa berhamburan dari dalam gedung sekolah. Ribut mengeluarkan kendaraan mereka masing-masing dari parkiran yang penuh oleh transportasi. Sebagian murid ada yang langsung keluar gerbang, mereka adalah golongan penyuka transportasi umum atau menemui jemputan dari orang yang mereka kenal.

Mata Dikta memperhatikan tiap orang keluar dengan awas. Mesti tak semua bisa ia lihat, namun dia percaya diri Celin akan masuk ke dalam pandangannya. Benar saja, dia sekarang telah menemukan gadis itu. Gadis yang sekarang menatap shock pada dirinya.

Meski dengan langkah yang tampak ragu, Celin menghampiri Dikta. Menghentikan langkahnya tepat di samping motor mahal pria itu.

"Leon," panggilnya pelan.

"Naik lo!" perintah Dikta dengan nada tak bersahabat dan wajah datarnya.

Meski begitu, senyum Celin mengembang, dia mengira kalau Dikta memang masih mencintainya. Dan pria itu tak bisa melepaskannya.

Dengan semangat, Celin menaiki motor Dikta, memeluk lelaki itu erat tanpa takut kalau Dikta akan menolak. Dikta risih? Oh, tentu saja, dia sekarang bahkan jijik dengan gadis di belakangnya.

"Lepasin tangan kotor lo itu dari gue!" desis Dikta tajam. Suara penuh tekanan kemarahan itu, membuat Celin perlahan menurutinya. Melepaskan tangannya yang melingkar di pinggang Dikta.

Senyum gadis itu yang semula lebar, perlahan lenyap, apalagi saat Dikta tiba-tiba melajukan motornya dengan kecepatan luar biasa. Ia tahu apa artinya ini. Dikta sedang marah. Seumur-umur dibonceng Dikta, baru kali ini dia mendapati lelaki itu mengebut bersamanya.

Beberapa umpatan Dikta dapatkan dari pengendara lain saat motor itu menyalip kendaraan mereka dengan tak amannya.

Celin hanya bisa memejamkan mata, tangannya menggenggam erat jok motor Dikta. Takut, ya, gadis itu sangat takut sekarang. Ayolah, dia tak mau mati sebelum menikmati indahnya dunia.

Akhirnya motor Dikta melambat, lalu berhenti tepat di depan rumah Celin yang memang selalu sepi.

"Turun lo!" perintah Dikta tajam yang langsung dituruti Celin yang gemetar.

Setelah Celin turun, Dikta menstandarkan motornya, lalu dia ikut turun dan melepas helmnya. Setelahnya tangannya itu memegang lengan Celin, menariknya kasar lalu mendorongnya hingga menabrak pintu. Suasana yang sepi, membuat Dikta leluasa melakukan hal semacam itu.

"Leon, kamu kenapa?" tanya Celin dengan wajah sendunya.

"Lo mau apa dari Zoeya?" tanya Dikta balik dengan alis yang terangkat. Kedua tangannya sekarang terlipat di depan dada.

Celin mengerutkan kedua alisnya. "Apa maksud kamu Leon?" tanyanya tampak keheranan.

Dikta berdecak, tatapan tajam bak elangnya menghunus mata Celin. "Lo kirim berandalan buat dia! Maksud lo apa lakuin hal sampah kayak gitu?!"

Celin terdiam, berusaha mencerna apa yang yang Dikta ucapkan. Dengan mata berkaca-kacanya, Celin balas menatap Dikta. Berharap mantan pacarnya itu akan luluh karenanya.

"Jawab sialan! Lo mau apa dari Zoeya? Hah? Nggak cukup lo jadi cewek rendahan? Lo mau jadi kriminal juga?!"

Sakit sekali. Hati Celin seakan dihantam ribuan batu yang dilemparkan. Kenapa bisa mulut Dikta begitu kejam menghinanya? Dia tak melakukan apa-apa, tapi kenapa bisa Dikta malah menuduhnya dengan kejam seperti itu?

My Bad Neighbor (END)Where stories live. Discover now