MBN 07

6.3K 490 36
                                    

Zoeya menatap datar temannya yang sedang heboh merusuhi kumpulan pengossip di koridor sekolah. Rasanya ia ingin menenggelamkan diri sendiri saat sadar kalau ia dengan lapang dada berteman dengannya.

"Mirip tante-tante girang," gumam Zoeya dengan nada penuh keprihatinan.

"Lebih mirip sama monyet! Ngatain gue monyet, padahal sendirinya yang lebih mirip monyet." Alkana yang ada di samping Zoeya juga ikut memberikan komentarnya. Ah, dia juga malu saat melihat kelakuan temannya itu.

"Gue malu, tapi gue nggak bisa balik badan dan jalan duluan ninggalin Ica," ucap Zoeya mengeluarkan isi hatinya.

Alkana mengangguk membenarkan, dia juga merasakan hal yang sama dengan Zoeya. "Gue juga," tuturnya.

"Kayaknya Tasya harus bersyukur dianugerahi teman macam kita," papar Zoeya seraya menoleh ke samping. Ke arah Alkana yang juga sedang menoleh padanya.

"Dahlah, ngurusin manusia-manusia macam kalian bikin naik darah mulu! Intinya gossip itu enggak benar, Zoya teman gue nggak mungkin kayak yang lo lo pada omongin. Yeu, kenal juga kagak, ngejujge paling depan! Dasar ibu-ibu!" Itu adalah kalimat panjang terakhir sebelum Tasya berbalik badan dan melangkah cepat ke arah Zoeya dan Alkana.

"Marah-marah perut gue makin keroncongan. Gas ke kantin lah," ucap Tasya seraya meraih tangan dua temannya, menyeret dua orang itu agar mengikuti langkahnya.

"Makannya nggak usah marah-marah, Ca. Gue nggak apa-apa juga," ucap Zoeya yang hanya dibalas dengan cengiran tak jelas Tasya.

Saat ketiga gadis itu melewati gedung perpustakaan, dari arah berlawanan terlihat Dikta yang tengah menaiki sketboard dengan dua temannya yang menyusul di belakang. Dari jauh pemuda itu sudah menatap Zoeya dengan mata tajamnya. Kebetulan Zoeya sekarang sudah berani, membuat gadis itu balas menatap Dikta penuh permusuhan. Lagipula dia tak sendiri sekarang, jadi kalau Dikta macam-macam dua temannya pasti akan membantunya.

Dikta melaju cepat dengan skateboardnya hingga dia nyaris melewati Zoeya. Zoeya hendak ke pinggir, namun dia kalah cepat dengan Dikta. Tanpa menghentikan laju skateboardnya, Dikta meraih pergelangan tangan Zoeya, memegangnya erat hingga Zoeya nyaris saja terjatuh di belakang kalau dia tak segera lari mengikuti arah laju papan luncur Dikta.

Kedua teman Zoeya berbalik, menatap punggung Zoeya yang kian menjauh dibawa Dikta. Mereka berdua saling berpandangan, kemudian sama-sama menimbulkan senyum aneh mereka.

"Stop! Stop! Stop! Jangan ikutin Leon sama Zoya." Tasya mencegat Velo dan Angkasa yang saat ini baru saja akan melewati mereka.

Dua pemuda itu menatap Tasya bingung. Mereka tentu saja kenal siapa Tasya, namun tetap saja mereka merasa aneh dengan permintaan gadis itu.

"Leon teman gue, apa urusannya sama lo?" tanya Velo dengan satu alis yang naik.

Tasya mencebikan bibirnya. "Jangan aja udah. Biarin mereka berdua kali-kali," ucapnya yang mendapat dukungan Alkana.

Meski tetap heran, Velo dan Angkasa memilih untuk menurut. Lagipula capek juga mereka mengikuti Dikta yang tak tentu tujuannya.

"Yaudah, deh," ucap Angkasa yang diangguki Velo.

Sedangkan di tempat lain, tepatnya di koridor blok fasilitas praktik sekolah, Dikta masih terus melajukan skateboardnya dengan kecepatan di atas rata-rata. Tangannya masih mencekal lengan Zoeya, membuat Zoeya juga masih setia menggerakan kakinya mengikuti ritme laju skateboard Dikta. Lelah memang, namun kalau ia memaksakan berhenti, ia pasti akan terjatuh karena tenaga Dikta yang kuat.

"Minggir lo semua!" Dikta berteriak kencang saat di koridor itu ada beberapa orang yang sedang berjalan sembari berbincang.

Tak mau berurusan dengan orang paling nakal di SMA Cakrawala, para murid itu segera menyingkir, memberikan jalan agar Dikta bisa leluasa untuk lewat.

Tatapan mereka jatuh pada Zoeya, mereka menatap prihatin pada gadis itu yang tampak tersiksa. Namun mereka hanya bisa merasakan itu, karena mau bagaimanapun, membantu Zoeya tak akan pernah bisa. Kalau bisa pun mereka tak mau melakukannya, karena itu sama saja mereka cari gara-gara dengan Dikta. Berbahaya!

Saat di depan sana jalanan sudah buntu, Dikta akhirnya berhenti mendorong skateboard dengan kakinya, pemuda itu bersiap untuk menghentikan laju sketboardnya sebelum dia menabrak tembok di depan sana.

Kini keduanya sudah berhenti, cekalan Dikta pada Zoeya pun sudah terlepas. Zoeya membungkuk, kedua tangannya bertumpu pada lututnya. Napas gadis itu terenggah-enggah, jelas sekali menandakan kalau dia sangat lelah.

Beberapa saat berlalu, akhirnya napas Zoeya sudah lebih baik. Gadis itu menoleh pada Dikta yang masih bermain-main dengan papannya di tempat.

"Lo apa-apaan sih?!" tanya Zoeya dengan nada tingginya.

Dikta balas menatap Zoeya datar. Kemudian dia menjawab, "Cuma mau peringatin lo buat nggak usah bilang siapa-siapa soal kejadian kemarin."

Tanpa diminta, Zoeya juga sangat tak mungkin menceritakan kejadian kemarin. Dikta ini sangat percaya diri sekali. Dia kira Zoeya akan dengan senang hati bercerita pada temannya kalau dia dibawa Dikta ke markas geng terkenalnya gitu? Huh, membayangkannya saja Zoeya tak akan bisa.

Zoeya terkekeh hambar, menertawakan sikap Dikta yang seperti itu. "Tanpa lo suruh, gue juga nggak mau kali sebarin kejadian memalukan itu," ucapnya.

Dikta bergidik. "Bagus deh kalau gitu," ucapnya seraya kembali melajukan papan skate miliknya ke arah mereka datang tadi. Meninggalkan Zoeya sendiri di ujung koridor buntu dan sepi. Namun, ini lebih baik daripada berlari mengikuti Dikta seperti tadi.

Baru saja beberapa meter Dikta pergi, pemuda itu kembali berhenti, menoleh ke belakang dengan wajah songongnya. "Satu lagi, lo jangan besar kepala karena ditolongin dan dibelain Bang Karei, dia cuma kasihan sama cewek lemah kayak lo!" ucapnya lalu kembali pergi.

Sedangkan Zoeya hanya bisa menatap kepergian Dikta penuh kebencian. Pria itu kurang ajarnya sudah di level raja iblis. Karei dan Dikta sungguh berbanding terbalik, padahal mereka sama-sama anggota geng motor berandalan.

"Hari ini gue beneran benci sama Dikta," ucap Zoeya seorang diri.

Beberapa detik kemudian suasana di tempat ini tiba-tiba berubah tak enak. Bulu kuduk Zoeya seakan berdiri semua. Gadis itu menoleh ke kanan, kiri, lalu belakangnya, merasa diawasi oleh sepasang mata yang entah di mana asalnya.

Zoeya menelan ludahnya susah payah, dia mengusap lehernya, lalu ancang-acang untuk berlari kencang.

"Tolong ampuni gue, gue di sini karena terpaksa. Tolong, ya, jangan ganggu gue," ucap Zoeya sebelum akhirnya dia melesat pergi.

Ia lupa kalau ujung koridor ini yang merupakan lab bahasa terbengkalai memang kerap kali menyumbang cerita menyeramkan. Katanya di sini ada penghuninya yang membuat suasana terasa mencekam. Dasar Dikta! Bisa-bisanya dia meninggalkan Zoeya di tempat angker semacam ini.

----🛹🛹🛹----

Entah kenapa kalau ujung koridor yang buntu itu selalu menyeramkan buatku. Dulu aja mantan kelas tujuhku yang ada di ujung sekolah, berasa horor banget. Untung udah lulus. Heu heu heu.
Kritik, saran, vote, sama comentnya selalu aku tunggu loh miskah-!

16.07.2022

----TBC----

My Bad Neighbor (END)Donde viven las historias. Descúbrelo ahora