Part 25 : Heran

32 8 0
                                    

Saat ini Zia tengah berjalan menuju ke rumah setelah mengunjungi makam ibunya.

Seperti kebiasaannya, Zia selalu membeli siomay terlebih dahulu sebelum dirinya sampai ke rumahnya.

"Bang! Beli dong! kek biasa, ya," tutur Zia tersenyum semangat.

"Siap Neng Jiaa!" sahut penjual siomay itu dengan semangat. Panggil saja dia, Bang Ajib.

"Btw gue Zia, bukan Jia," ucap Zia dengan wajah datarnya.

Penjual siomay itu terkekeh pelan. "Udah kebiasaan manggilnya Neng Jia," sahutnya dengan cengiran tak berdosanya.

Zia hanya memutar kedua bola matanya malas, kemudian mengamati mimik wajah dari penjual siomay itu.

"Lagi capek, ya, Bang?" tanya Zia mengernyit.

"Yang namanya jualan yaa nggak mungkin lah kalo nggak capek, Neng," sahutnya tetap pada senyumannya.

Gadis itu mengangguk paham.

"Abis berkunjung, ya, Neng?" tanyanya dengan tangan yang sudah aktif membungkus siomay itu.

Ya, Bang Ajib memang sudah tahu sejak lama kalau Zia sudah ditinggal oleh ibunya. Dirinya pun paham dengan sikap Zia yang kadang membuat banyak orang geleng kepala saking tak menyangkanya.

Terkadang kurangnya sebuah kasih sayang memang mempengaruhi segala tindakan bagi seorang yang membutuhkan perhatian.

"Udah tau nggak usah nanya," sahut Zia datar membuat penjual siomay itu sedikit mengulum senyum hambar.

Kadang-kadang sikap Zia juga berubah-ubah dalam waktu yang singkat, entah itu karena lawan bicaranya, atau karena topik pembicaraannya.

"Makasih, Bang," tutur Zia seraya menerima bungkusan siomay yang diberikan oleh Bang Ajib.

"Nih uangnya, kembaliannya ambil aja, buat beli makan hari ini," lanjut Zia mengulurkan satu lembR uang berwarna merah muda itu.

"Wah ... ini mah lebih banyak banget, Neng," ucap Bang Ajib dengan tampang tak enak hati jika harus menerima uang kembalian itu.

Zia berdecak malas. "Udah, nggak usah sok nggak enakan, lagian kasian Papa gue yang udah lembur-lembur kerjanya biar dapet banyak duit malahan hasilnya cuma gue simpen, kalo kayak gini 'kan ada gunanya," sahut Zia membuat Bang Ajib menganga.

-BNY-

"Zia nggak mau, Pa," tolak Zia malas.

Hendra menghela napas berat. "Pokoknya kali ini nggak ada penolakan, mulai sekarang kamu nggak boleh berangkat sekolah cuma jalan kaki atau naik taksi."

Zia berdecak kesal. "Yaudah, kalo Zia pergi-pergi, Papa yang antar-jemput Zia," tutur Zia yang menatap Hendra malas.

"Zia ... udah untung loh ya, Papa bisa nyempetin waktu buat bareng sama kamu, Papa juga bagi-bagi waktu buat kaliaan," tegur Hendra dengan tatapan lelahnya pada Zia.

"Kalian?" Zia mengernyit.

Beberapa detik kemudian, Hendra mengangguk. "Iya, kalian. Kamu, dan pekerjaan Papa," sahutnya.

Zia kembali berdecak kesal. "Tapi Papa nggak pernah adil. Kenapa Papa selalu memprioritaskan pekerjaan Papa dari pada ngebahagia-in Zia? Zia juga butuh kasih sayang, Pa. Pokoknya Zia nggak mau, ya, kalo Zia punya sopir."

"Nggak adil gimana sih, sayang ... Papa kayak gini juga demi kebahagiaan kamu dimasa depaaan,"

"Uang bisa dicari lagi, Pa. Tapi perihal kasih sayang nggak akan bisa diganti dengan hal yang bisa dicari," sahut Zia membuat Hendra tertegun.

BEFORE NEMBAK YOU || Selesai✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang