"Kakak nggak ada salah, kok," papar Zoeya.

Meski masih ada yang mengganjal dalam hatinya, Karei melengkungkan bibirnya, tersenyum lebar pada gadis yang duduk di sampingnya ini.

"Udah mau magrib, kak, aku belum mandi. Boleh, izin ke kamar dulu?" tanya Zoeya. Dia jujur, karena lama bermain bersama Dikta, tubuhnya jadi lengket sekarang. Meskipun suhu di luar rendah, tapi tetap saja dia merasa tak enak kalau belum membersihkan tubuhnya.

"Oh, iya, nggak apa-apa. Gue sekalian mau pamit juga. Tadinya, sih, mau ngajak lo ke suatu tempat, tapi kayaknya lo kecapean," balas Karei seraya membangkitkan tubuhnya.

Zoeya ikut bangkit juga, gadis itu tersenyum kaku, ah, rasanya dia tak enak hati. Entah kenapa dia merasa jadi orang kejam karena membuat Karei menunggunya lama dan saat Zoeya sampai mereka hanya mengobrol sebentar. Oh, tolong maafkan Zoeya.

----🛹🛹🛹----

Di ruangan utama markas Stark, Dikta mendudukan dirinya di atas skateboard miliknya. Di tangannya ada gelas berisi minuman beralkohol ternama yang dibeli salah satu anggota Stark.

"Yon, lo tiap pagi kenapa jarang ke markas sekarang?"

Salah satu anggota yang sedang memegang minuman serupa dengan Dikta melemparkan pertanyaannya.

Dikta menggerak-gerakkan gelas di tangannya, kemudian meminumnya sedikit. "Gue sibuk! Bukan urusan lo juga," jawabnya tak ramah.

Orang itu hanya mencebik, Dikta memang susah untuk diajak mengobrol. Dirinya tak lagi membuka suara, dia lebih memilih untuk menghabiskan minumannya.

Sedangkan Dikta, pemuda itu menyimpan gelas minumannya yang masih belum habis, dia kemudian bangkit berdiri, menaiki skateboardnya dan meninggalkan ruangan utama. Kepergiannya itu jelas ditatap oleh beberapa anggota Stark, mereka tampak heran dengan perilaku Dikta beberapa hari ini. Keheranan mereka semakin menjadi kala mereka menyadari kalau Dikta hanya minum sedikit hari ini. Uh, tidak seperti Dikta yang mereka kenal saja.

Dikta menghentikan skateboardnya, menginjak ujung benda itu, hingga membuatnya naik ke atas, dan bisa Dikta raih. Pemuda itu mendekap skateboard di sisi tubuhnya, kemudian naik ke atas tangga guna menuju atap bangunan yang tingginya luar biasa. Namun dia tak memperdulikan itu, malam ini dia sedang ingin merasakan hembusan angin di atas sana.

Beberapa saat kemudian, kakinya berhasil menapak di atap. Hembusan angin dingin langsung menyapa kulit wajahnya. Beruntung jaket tebal Stark melindungi tubuhnya, membuatnya jadi tak terlalu kedinginan. Pria itu membawa kakinya menuju ujung atap yang tanpa pembatas. Dia lalu mendudukan dirinya dengan kaki yang menjuntai ke bawah tanpa sedikitpun merasakan ketakutan. Ia sudah sering melakukan hal serupa.

Dirinya memposisikan skateboard yang ia bawa dipangkuannya, kemudian memperhatikan benda itu yang sudah bersamanya sejak ia masuk SMA. Ini adalah skateboard ke 10 yang ia miliki sejak ia mulai mengenal benda itu tujuh tahun lalu.

Memperhatikan skateboard, membuatnya teringat pada seseorang. Tetangganya yang entah kenapa lebih sering bersamanya. Dikta juga heran kenapa bisa dia mengingat orang itu. Berpindah, ingatan pemuda itu berpindah pada gadis lainnya, kini ia malah mengingat gadis yang lainnya yang juga sempat menaiki papan skatenya. Mantan pacarnya yang sudah memanfaatkannya. Kalau diingat, Dikta sama sekali tak pernah menaruh curiga pada gadis itu sebelumnya, semua tingkah Celin memang tak ada yang mencurigakan. Gadis itu perhatian padanya, memperlakukan dirinya selayaknya pacar yang istimewa. Hm, ia sekarang bingung dengan perasaannya, apa dirinya masih mencintai Celin?

Memori Dikta mengingat semua momennya dengan Celin, momen indah yang ia habiskan selama 1 tahun lamanya. Dia mengingat ucapan manis Celin, rengekan manja gadis itu, dan juga sikapnya kala kesal pada dirinya. Semua terputar jelas, sangat jelas. Hingga akhirnya momen menyakitkannya bersama Celin juga tergambar, momen kala dia melihat gadis itu sedang bersama pria lain yang ternyata pacar pertamanya. Ah, mengingatnya dada Dikta jadi bergemuruh lagi. Tidak, dia tidak sakit hati, hanya saja kemarahan yang ia rasakan. Bisa-bisanya dia tak sadar telah dijadikan selingkuhan dalam waktu yang lama. Rahangnya mengeras, kedua tangannya juga mengepal di atas skateboard. Baru saja dia akan memukul benda dipangkuannya itu, sekelebat bayangan seorang gadis yang sedang tersenyum manis secara tiba-tiba menetralkan amarahnya.

"Zoya," gumam Dikta dengan suara rendahnya.

----🛹🛹🛹----

AAAAAAAAA. MOHON MAAP KALAU FEELNYA NGGAK ADA! AKU AGAKNYA ANEH PAS NULIS PART INI. HIKSEU.
Dikta merenung sambil memikirkan mantan di ujung rooftoop, aku takutnya dia kesal dan berujung menjatuhkan diri ke bawah. Uh, kalau itu terjadi, bayangkan betapa sedihnya Tante Indri. Huhuhu, untung aja aku nggak sejahat itu buat bikin Dikta loncat.
Btw, kenapa bisa, ya, senyuman Zoya meredakan amarah Dikta? Jangan-jangan senyuman Zoya mengandung mantra lagi?!
Kritik, saran, vote, dan komentar selalu aku nantikan, loh, miskah-!

21.07.2021

----TBC----

My Bad Neighbor (END)Where stories live. Discover now