61 || Terungkap Sudah

Start from the beginning
                                    

Apa, benar?

"Dara, wastafelnya penuh."

Teguran itu berhasil membuatnya tersentak pelan dan spontan mematikan aliran air dari keran wastafel. Ia menolehkan kepala, mendapati Dio yang menatapnya dengan sebelah alis terangkat dan gelas di tangan kanan.

"Ngapain?"

"Mau nganter gelas kotor."

"Oh, taro sini."

Dio menaruh gelasnya di wastafel. Bersandar di meja pantry, ia bersedekap sembari memerhatikan Dara yang kembali mencuci piring. Sebenarnya ia sudah ada di sini beberapa menit sebelum akhirnya memutuskan untuk menegur cewek tersebut. Ia juga sempat melihat bagaimana tetangganya tersebut melamun hingga tak sadar wastafel sudah penuh dengan air.

"Lo sakit?"

"Hah?" Dara sedikit menoleh dan menggelengkan kepala. "Enggak."

Dio menghela napas pelan. "Gue aja sini yang cuci."

"Eh."

Tanpa menunggu persetujuan apapun, Dio menaruh gelas yang tadinya ada di tangan Dara. Ia juga melepas kedua sarung tangan dari tangan cewek tersebut dan memakaikannya ke kedua tangannya. Dan tanpa mengatakan apapun, Dio menggeser tubuh tetangganya tersebut, kemudian mengambil alih pekerjaan yang harusnya dilakukan oleh Dara.

"Gue aja, deh. Lo tadi 'kan udah capek ngangkatin belanjaan," pinta Dara hendak mengambil kembali pekerjaannya, namun lirikan Dio membuatnya berhenti bergerak. Cowok itu memang pendiam, tapi kadang bisa sangat mengintimidasi. "Ya udah deh, gue ke depan aja."

"Eh, jangan. Itu meja lap-in aja."

Dara mengangkat kedua alis dan melihat ke arah yang ditunjuk Dio. Ia mengangguk pelan kemudian mengambil lap bersih dan bergerak membersihkan meja tersebut.

"Sorry, gue gak sengaja marah tadi."

"Hah?" Dara berhenti sejenak untuk mencerna maksud Dio, kemudian mengangguk setelah ingat di luar kafe. "Eh, iya. Gapapa, kok. Gue yang salah tadi, pergi gak ngasih tau."

"Lo tadi obrolin apa aja sama dia?"

"Yo, Pak Pon emang dari dulu gak suka sama kelas ini apa gimana?" Bukannya menjawab, Dara justru kembali bertanya.

Dio mengangguk tanpa menghentikan kegiatannya. "Kita diam aja kadang doi berulah. Kenapa?"

"Percaya gak sih, Pak Pon suka bandingin IPA 2 sama IPS 5?"

"Oh," Dio mengangguk kecil, "jadi mereka iri."

Dara mendelik pada Dio. Cowok itu terlalu to the point. "Ya, begitulah."

"Ya udah. Itu salah mereka, kenapa juga mau buang-buang waktu iri sama yang lain kalo waktu mereka bisa dipake buat ningkatin kelebihannya," terang Dio mengingat bagaimana Dara selalu menyalahkan dirinya, meskipun sebenarnya itu bukan salahnya.

"Wah," Dara berdecak kagum. "Dio, coba deh jangan terlalu cuek atau dingin gitu sama orang. Banyak yang takut sama lo tau."

"Ngapain juga."

"Lo mah songong gitu, tar pas gede gak punya temen gue mampusin. Yang lain kan gak selamanya juga bareng lo. Apalagi ntar pas udah lulus, gue liat kita semua punya minat yang beda-beda. Gue juga nanti mau masuk kampus yang beda sama lo. Masa' dari kecil samaan mulu," Dara mencibir di akhir. Dari dulu mereka memang selalu satu sekolah. Beberapa kali mereka sekelas, kebanyakan tidak sekelas karena memang dari dulu dirinya selalu ada di kelas unggulan, sedangkan tetangganya tersebut ada di kelas biasa.

"Emang mau masuk mana?"

"Kenapa emangnya? Mau ngikut?"

"Iya."

You've reached the end of published parts.

⏰ Last updated: Sep 19, 2023 ⏰

Add this story to your Library to get notified about new parts!

utopia (segera terbit)Where stories live. Discover now