55 || Tolong, ya?

80.5K 16K 7.4K
                                    

oke, aku saranin baca part sebelumnya dulu ya ehehehehhehehehehheheheheh




















Dara tidak bisa fokus.

Sudah nyaris setengah jam mereka berkutat dengan berbagai peralatan tapi sama sekali tidak membuahkan hasil. Otaknya tidak fokus setelah mengalami kejadian tadi. Ardi, Farzan, keduanya benar-benar memecahkan fokus Dara.

"Ra, kenapa, dah? Kayak frustrasi gitu."

Dara menoleh ke Ardi. Ia tersenyum tipis dan menggelengkan kepala. Kemudian ia memalingkan wajahnya ke depan, menatap yang lain dengan kedua alis nyaris menyatu. "BTW, kalian kok bisa ada di sini juga? Janjian, ya?"

Semuanya serempak menoleh ke arah Dara yang sudah menodongkan tatapan curiga.

Dara tidak menaruh kecurigaan apapun ketika Ardi mengusulkan untuk pergi ke kafe dekat rumah Farzan. Mau ke tempat Jena juga tidak bisa karena ia pikir yang lain akan mengambil posisi di sana. Ternyata hal yang tidak terduga terjadi. Kenampakan yang pertama kali didapat ketika melewati pintu masuk adalah teman-teman yang lain, sudah anteng duduk dengan dua meja disatukan, sembari menyibukkan diri masing-masing. Meskipun demikian entah kenapa Dara malah merasa mereka memang sudah menunggu kehadirannya.

"Kagak, Ra. Kebetulan doang ini mah," sahut Andra kelewat santai.

Dara memicingkan kedua mata, ketara tak percaya dengan perkataan Andra barusan. "Terus, kok bisa semuanya di sini? Aneh tau."

"Ya emang ini kafe yang sering kita datengin," kali ini Alfa membalas kemudian menyeruput minumannya.

"Hah?"

"Lo masih gak tau, ya, Ra. Sebenernya tongkrongan kita itu ada beberapa. Nah kafe ini salah satunya," terang Ersya sambil menunjuk ke atas. "Kalo di tempat Jena karna makanannya gratis, kalo di sini karena makanannya...," ia menyuruh Dara mendekat dan memelankan suaranya, "...gak enak."

Reflek mulutnya terbuka. Alasan macam apa. "Lah terus kok ke sini?"

"Internetnya mengalir lancar macam pipa rucika, Ra. Lo liat tuh si Repan udah download berapa bahan dosa," sahut Ardi sambil menunjuk Revan yang sibuk dengan ponselnya.

"Wanjay, jepang."

"Anj---gue lagi main game," Revan lantas mendelik pada si-kompor-Farzan.

"Belok kanan, Pan. Depan lo ada truk. Kanan bego, kanan---DONGO ITU KIRI, YAELAH KALAH KAN," pekik Ersya kesal karena akhirnya Revan kalah.

Revan berdecak dan kembali berdelik pada Ersya. Berada di antara dua manusia yang kadang mendadak jadi kompor ini benar-benar merusak pendengarannya. Yang satu kalau ngomong suka sembarangan, yang satu volume suaranya tidak bisa dikontrol, Revan lelah lama-lama mau banting meja saja rasanya.

"Dra, maen hompimpah ayok. Yang kalah makan nuklir."

"Terus yang menang makan atom, ye."

Ardi terdiam sebentar. Ia kemudian merangkul Andra dengan wajah serius, membuat cowok itu reflek menjauh dan menutupi dada dengan kedua tangannya.

"Aduh aku deg-degan banget mau digrepay-grepay."

"Astagfirullah bujang perawan."

"Bujang perawan konsepnya gimana bego," cibir Ersya sembari menoyor kepala Ardi. Heran, kelakuannya kelewat random.

"Ya si Andra kan pagi bujang, malam perawan."

"Sembarangan, ajege," sahut Andra menampar bagian belakang leher Ardi.

utopia (segera terbit)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang