43 || Lagi-lagi IPA 2

65.8K 13.8K 2.3K
                                    

"Mereka curang."

"Kalo kalah terima aja, gak usah ngata-ngatain orang yang main sportif."

"Halah sportif bapak kau, udah jelas-jelas maennya curang."

Dara melirik Ardi kemudian mengelus lengannya. "Udah, berhenti."

Ardi berdecak dan kembali diam walaupun sebenarnya ia masih geram ingin melayangkan bogemannya pada ketua kelas IPA 2 itu.

"Bapak denger sendiri, kan? Mereka curang, Pak," desak Dara pada Pak Jeno yang sedari tadi menanyai penyebab keributan ini.

"Bentuk kecurangannya apa?" tanya Pak Jeno memastikan.

Dara memalingkan pandangannya ke arah teman-temannya, meminta bantuan untuk menjelaskan apa yang terjadi tadi di lapangan.

"Tadi dia nginjek garis tengah, padahal itu pelanggaran tapi gak dinotis sama wasitnya," papar Ersya menunjuk salah satu anak IPA 2 yang tadi ikut bermain.

"Bola kena lengannya tadi, tapi dia diem aja kayak orang dongo yang tolol," Alfa ikut menunjuk cowok di kelompok IPA 2 sembari menjelaskan bentuk kecurangan yang dilakukan.

"Heh, jamet. Gak usah sok polos lo. Gue tadi liat lo megang jaring dengan santainya tapi juga wasit malah bodoamat. Lo kata itu jaring emak lo?" ungkap Ardi dengan cowok yang kebetulan tepat di sampingnya.

"Dih, ada bukti lo?" tanya Eja sewot.

"Lo kata kita gak punya mata?"

"Pak, wasitnya juga dipanggil, dong! Jelas-jelas wasitnya gak becus di sini!" protes Dara ikut emosi.

"Ada apa ini? Kenapa anak-anak saya babak belur kayak gini? Orang yang gak punya akal mana yang buat anak-anak saya yang baik-baik jadi begini?!"

Dara memejamkan kedua natanya erat. Selain anak kelasnya, kini dirinya harus menghadapi wali kelasnya juga. Dari perkataannya tadi, sepertinya wali kelas dan anak kelasnya sama saja tidak ada bedanya. Ini semakin menyulitkannya.

"Kalian! Anak-anak nakal! Sampah sekolah! Mau jadi apa kalian, hah?! Kerjaannya bikin anak orang susah aja!" cerca Pak Pon sembari menunjuk-nunjuk IPS 5. Ia sudah berdiri di samping Pak Jeno dengan wajah marahnya.

"Ini guru haram darimana lagi," desis Alfa geram.

"Sampah sekolah?" ulang Dara tak percaya. "Bapak tau apa, sih?"

"Ohh, ini Dara yang katanya panutan sekolah itu? Kok bisa masuk ruang kepsek, Nak?" tanya Pak Pon sinis.

Ah, rasanya Dara ingin bertindak kurang ajar lagi.

"Mana wali kelas kalian? Si Tegar yang sok itu? Kabur gara-gara liat tingkah kalian? Cih, pengecut," ejek Pak Pon dengan wajah songongnya.

"Kalo gak tau apa-apa mending diem," balas Revan dingin. "Kalo salah malu sendiri nanti."

Mendengar itu, Pak Pon tertawa sinis dan menatap Revan remeh. "Emang saya salah? Mana wali kelas kalian? Ada gak?"

Dara terdiam panik. Memang benar, wali kelas mereka tidak ada di sini. Seharusnya beliau mendampingi mereka saat ini. Tetapi, ketika matanya menangkap raut wajah yang dingin pada Revan, sepertinya ada yang diketahui oleh cowok tersebut.

"Pak Jeno, saya mau mereka dihukum karena udah buat anak-anak saya babak belur begini," tuntut Pak Pon pada Pak Jeno. Wali kelas IPA 2 itu seperti memaksa kepala sekolah untuk menuruti permintaannya.

"Apa-apaan?" dengan raut wajah panik Dara menatap Pak Jeno yang masih diam. "Pak, kita gak salah! Kita korban juga di sini!" ia menunjuk teman-temannya seraya mengadu panik, "Teman saya juga babak belur, Pak! Gak adil cuman kami yang dihukum!"

utopia (segera terbit)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang