28.

985 172 74
                                    

"Kalian habis dari mana dan kenapa tangannya Vivi?!" Shani meletakkan kedua tangannya di pinggangnya, menatap ke arah Vivi dan Viny yang baru saja pulang.

Wajar saja kalau Shani sedikit marah, semenjak ia meminta Viny untuk mencari Vivi, ia sama sekali tidak mendapat pesan dari Viny apakah sudah bertemu dengan Vivi atau belum. Setelah hampir 4 jam tidak ada kabar, tepat jam 9 malam, akhirnya Viny sudah pulang sambil membawa Vivi. Shani yang sudah menahan amarahnya sejak tadi langsung saja meledak saat melihat tangan kanan Vivi yang dibebat perban.

"Dan apa-apaan ring basket itu?!" Bentak Shani sambil menunjuk ring basket yang dipegang oleh Viny.

Viny terima saat ia dimarahi oleh Shani, memang ini kesalahannya sendiri. Ia lupa untuk mengabari Shani setelah menemukan Vivi di dekat rumahnya Theo. Tadi ia mampir ke rumah sakit terlebih dahulu untuk memeriksakan tangan kanan Vivi dan lutut Vivi yang terluka. Ia juga mampir ke bengkel untuk mengganti kaca jendela mobil Shani. Setelah itu ia membelikan Vivi burger karena Vivi belum makan sejak dari sekolah. Uang bulanannya sudah raib hanya dalam beberapa jam saja.

"Kak Shani--"

Viny menyentuh pundak Vivi, "Biar gue aja."

Shani melipat kedua tangannya ke depan dada, "Apa? Mau jelasin apa?!"

Viny menelan ludah susah payah, dibentak seperti itu membuat nyalinya menjadi ciut. "Eng, anu, tadi aku, em, sama Vivi--"

"--yang jelas!"

"Tadi aku ketemu Vivi di depan rumah om Theo trus aku ngajak Vivi masuk ke dalam mobil trus Vivi cerita dan ngeluarin uneg-unegnya trus Vivi marah sama om Theo trus Vivi mukul kaca samping mobil pake tangan kanan trus aku ke rumah sakit buat ngobatin tangan Vivi trus aku ke bengkel buat ganti kaca mobil kamu trus aku beliin Vivi burger karena Vivi belum makan trus kita pulang." Ucap Viny dalam satu tarikan napas.

"Oh ya, ring basket itu dari rumahnya om Theo." Imbuh Viny.

Shani beralih menatap Vivi, "Lututmu kenapa?"

"Om Thomas tadi ke sekolah bilang kalo dia bukan papahku trus om Thomas ngasih kado trus waktu aku tanya dari siapa om Thomas bilang kalo aku bakal tahu sendiri kalo udah buka kadonya trus aku ke skatepark deket apartemen dan buka kadonya dan ternyata isi kadonya itu skateboard trus aku ketemu Aiko dan kita ngobrol trus aku main skateboard buat ngetes skateboard baru trus aku jatuh karena roda skateboardnya kendor trus aku pergi ke makam trus ketemu om Marcel trus om Marcel ngasih tahu semuanya trus om Marcel ngajak aku ketemu papah atau om Theo trus aku ngambil ring basket trus aku ketemu kak Viny." Jelas Vivi yang juga sama diucapkan dalam satu tarikan napas.

Viny dan Vivi seperti sedang mengikuti lomba rap, bibir mereka bergerak sangat cepat dan mereka harus selesai bercerita sebelum napasnya habis dan mereka dimakan bulat-bulat oleh Shani.

Shani menghembuskan napas kasar, ia berjongkok di depan Vivi dan melihat ke arah lutut Vivi. Entah kenapa anak jaman sekarang lebih suka melukai diri mereka sendiri, pasti Vivi pulang sambil membawa minimal satu masalah dan sekarang rasanya semua masalah ditumpahkan sekaligus.

"Sakit?" Tanya Shani, ia menegakkan tubuhnya dan melihat tangan kanan Vivi.

Vivi menatap Shani, kepalanya mengangguk, "Sakit."

"Makanya jangan apa-apa diselesain sama emosi."

"Maaf."

"Udah sana ke dalem, temenmu udah nungguin, jangan lupa ganti baju." Ucap Shani.

"Iya, kak." Viny membuka pintu apartemen lalu masuk ke dalam apartemen, menyisakan Viny sendirian dengan Shani.

Viny menatap Shani, ia tersenyum kikuk, "Aku minta maaf, Shan. Harusnya aku-"

AlmostWhere stories live. Discover now