20.

949 164 30
                                    

Viny berjalan cepat menuju ruangannya Vivi, secepat yang ia bisa, dan kalau dibandingkan orang biasa berjalan, dirinya masih kalah cepat. Berjalan dengan satu tongkat sebagai tumpuan sangat tidak menyenangkan, ia sering kali kesusahan saat melakukan sesuatu, terutama saat berak.

Viny sangat mengingat setiap ucapan Chika semalam dan ia pikir Vivi harus tahu tentang hal itu. Tentang apa yang sebenarnya terjadi, ia tahu konsekuensi kalau ia mengatakan perasaannya Chika dan melarang keras hubungan mereka berdua, pasti Vivi akan menanyai alasan dan akhirnya semuanya terbongkar.

Tidak apa-apa, itu lebih baik daripada membiarkan perasaan mereka berdua semakin berkembang dan semakin tidak terkendali.

Semalam Viny sudah mencoba untuk menjelaskan setiap kebenaran kepada Chika, tapi memang dasarnya sifatnya Chika itu keras kepala, jadi buang-buang waktu saja menceramahi Chika.

Chika mengangkat tangannya dan menyentuh dadanya, "Aku pikir aku udah mulai suka."

Viny mengambil tongkatnya, ia berjalan menghampiri Chika, "Siapa?"

Chika menoleh, "Vivi."

"Gak, itu gak bisa." Bantah Viny cepat.

Shani mengangguk setuju, ia mengusap pipi Chika dengan lembut, "Kamu tahu, kan, kalo itu gak bisa."

"Aku tahu, kak. Tapi aku gak bisa ngilangin perasaanku dan aku gak mau."

Viny mengerutkan keningnya bingung, "Kenapa kamu gak mau? Ini semua gak bener. Gak seharusnya kamu punya perasaan kayak gini. Kalian itu--"

"-aku tahu, kak. Aku tahu." Potong Chika, ia menatap Viny dan Shani secara bergantian. "Awalnya aku pikir ini cuma perasaan biasa, tapi semakin lama semakin besar dan gak bisa aku kontrol."

"Chik, ini gak bener." Ucap Shani.

Chika mengangguk untuk kesekian kalinya, "Ya, tapi ini rasanya nyaman. Setiap kali liat wajah Vivi, aku selalu ngerasa benci dan tenang disaat yang bersamaan. Aku tahu kalo Vivi bakal selalu ganggu aku, tapi aku juga tahu kalo apapun yang terjadi Vivi akan ngelindungi aku. Aku gak mau ngelepasin perasaan ini, aku gak mau. Dan aku juga gak mau jadi pacarnya."

Viny menaikkan satu alisnya ke atas, "Trus apa yang kamu mau?"

Chika mengangkat kedua bahunya ke atas, "Aku gak tahu. Aku cuma pengen sama dia setiap waktu. Aku pengen denger cerita tentang harinya dan aku menceritakan tentang hariku. Aku pengen megang tangannya dan bercanda bareng. Tapi aku gak mau jadi pacarnya."

"You love her?" Tanya Shani.

Chika menggeleng, "No. I don't love her. I just miss her when she's not around, think about her all the time. But, i don't love her."

Satu hal yang sekarang Viny tahu tentang Chika adalah tukang denial yang keras kepala. Semalaman Viny tidak bisa tidur karena terus memikirkan cara untuk mencegah Chika dan Vivi bersama, tapi tetap saja ia tidak bisa memutuskan jalan keluarnya. Otaknya seperti dipaksa berhenti dan lebih mengutamakan perasaan seseorang.

Viny berdecak sebal, "Ck, ah, Chik. Lu bikin gue serba salah terus."

Viny sudah sampai di depan ruangannya Vivi, ia menarik gagang pintu Vivi dan langsung masuk, "Cebol."

Di ruangan itu tidak hanya ada Vivi saja, tapi ada Lidya dan juga beberapa laptop berjajar di atas kasurnya Vivi. Viny menutup pintu dan menghampiri Lidya, ia tidak mengerti apa yang sedang dilakukan Vivi dan Lidya.

"Ada apa, Lid?" Tanya Viny.

Lidya menegakkan tubuhnya, ia mengambil satu berkas yang ada di atas meja dan ia berikan kepada Viny, "Penembakan bis, penembakan kamar mandi, jatuhnya Chika dari halte, 3 kasus itu satu pelaku."

AlmostWhere stories live. Discover now