13.

1K 164 34
                                    

"Mungkin aku bodoh." Gumam Vivi, ia membalik kertas soal UTS milik Chika dan membandingkan dengan miliknya.

Chika menoleh, ia menghela napas panjang lalu menunjuk ke soal nomer 15, "Ini ada di buku cetak, semalem kamu kerjain juga. Kenapa tadi gak bisa jawab?"

"Otakku mendadak gak bisa jalan. Tadi pagi aku liat berita kalo si laki-laki yang nyandera bis kita, semalem kabur, dan sampe sekarang belum ketemu."

"Ini minggu ujian lho." Ucap Chika, "Baru hari kedua, kamu harusnya fokus sama ujian ini."

"Gimana kalo laki-laki kemarin bakal ngelakuin hal yang sama kayak kemarin? Gimana kalo dia ngelakuin sesuatu yang lebih berbahaya?"

Chika merebut kertas soal ujian lalu ia pukulkan ke kepala Vivi, "Itu urusannya polisi, bukan urusan kita. Kemarin kita cuma beruntung aja, hampir aja kemarin kita mati semua."

"Oh ya, kenapa kamu bilang 'terserah kamu'? Padahal Ara sama Mira sama-sama bilang 'jangan'."

"Mustahil naruh bom di pistol dan bikin pemicu di tuas penariknya. Kamu kalo nyentuh peluru sedetik setelah ditembak, pasti peluru itu rasanya panas. Kalo emang ada bom, harusnya bakal meledak waktu nembak pertama kali. Jadi aku mikir gak mungkin ada bom."

"Trus kenapa kamu gak ngehentiin aku waktu tahu peluru di pistol itu kosong?"

Chika memberikan kertas ujian itu kepada Vivi, "Cuma nebak-nebak aja."

"Nebak gimana?"

"Satu pistol Glock 19 itu kebanyakan isi pelurunya 15, tapi kalo sejak awal udah ada sisa 1 peluru di pistol itu, jadi pistol itu punya 16 peluru. Nah, itu kita cuma beruntung aja."

"Kamu percaya sama aku." Ucap Vivi, ia membalik kertas ujian itu.

"Hah?"

"Di saat yang lain gak percaya sama aku, temen sekelasmu bahkan temen deketku sendiri gak percaya sama aku. Cuma kamu, satu-satunya orang yang percaya kalo aku bisa ngelakuin itu."

Vivi menoleh, ia tersenyum tipis, "Dan itu bikin aku lega."

Chika tertegun dengan sorot mata teduh milik Vivi dan senyum tipis penuh ketulusan. Rasanya seperti mata Vivi menarik tubuhnya dan memaksanya untuk tenggelam di bola mata Vivi. Ia tidak tahu mengapa, tapi semakin lama ia menatap mata itu, ia semakin tidak bisa mengontrol dirinya sendiri.

"Aku gak percaya." Ucap Chika, "Aku bilang terserah itu karena aku tahu kalo pistol itu gak ada bomnya dan mungkin masih ada satu sisa peluru. Beruntungnya pelurunya cuma nyerempet pahanya Fiony."

Vivi tersenyum, ia mengangguk, "Aku juga tahu kok."

"Tahu apa?"

"Masih terlalu dini buat kamu jatuh cinta, jadi aku bakal nunggu sedikit lebih lama."

Vivi melompat-lompat kecil masuk ke dalam apartemennya, ia sangat bahagia hari ini. Tentu saja bukan karena ia sudah mengalami kejadian yang membuat sebagian besar teman sekelasnya Chika menjadi trauma, ia bahagia karena ia merasa kalau Chika mulai terbuka kepada dirinya dan itu sebuah kemajuan.

Selama hampir 1 bulan tinggal bersama membuat jarak antara mereka berdua semakin terkikis, dinding penghalang juga perlahan rapuh. Vivi bisa merasakan hal itu, mungkin ia perlu waktu sedikit lebih lama lagi sampai akhirnya Chika mengakui perasaan kepada dirinya.

Vivi membuka pintu apartemennya, "Aku pulang."

Viny melirik jam dinding yang tergantung di dinding, "Lu bolos, ya? Dari kemarin pulang sebelum tengah hari."

Vivi menatap malas ke arah Viny, "Harusnya gue yang bilang gitu ke elo, kak. Lo bolos kerja, ya? Biasanya lu pulang tengah malam."

"Animasi yang gue urus udah selesai, surat resign juga udah gue kasih ke pimpinan. Gue udah keluar."

AlmostKde žijí příběhy. Začni objevovat