27.

1K 183 80
                                    

Vivi berdiri di sebuah makam bertuliskan Robin Bailey, sudah hampir 10 tahun ia tidak mengunjungi makam seseorang yang dulu ia anggap sebagai mamahnya, entah sekarang wanita ini menjadi mamahnya siapa. Perasaannya cukup kacau hari ini sampai akhirnya membawa kakinya ke tempat sunyi nan senyap ini.

Vivi melirik jam tangannya, ia kembali menatap nisan di depannya, "Udah sore, hampir mau maghrib. Jadi aku gak akan lama-lama di sini."

Vivi berjalan ke depan sambil membawa papan skateboardnya yang sudah patah menjadi dua, ia memperlihatkan papan skateboardnya. "Om Thomas, yang baru aku tahu itu papahnya Chika, ngasih kado isinya papan skateboard. Dibelakangnya ada tulisan, untuk anakku, semoga kamu menyukainya. Itu dari papah aku, kan? Laki-laki yang beberapa kali datang ke rumah waktu aku kecil."

"Seharian aku mikir, kenapa sih harus kayak gini? Kenapa susah banget buat hidup normal kayak yang lainnya?" Vivi tertawa getir, kepalanya menggeleng pelan, "Aku harus manggil Anda dengan sebutan apa? Mamah? Memangnya Anda benar-benar mamah saya?"

"Ya, Robin memang mamahmu."

Vivi menoleh ke belakang, keningnya berkerut, "Papahnya Ara? Katanya Ara, om lagi ke luar negeri buat perjalanan bisnis."

Laki-laki itu menggeleng, ia berjalan menghampiri Vivi, "Om pergi buat maksa Thomas pulang ke Indonesia, biar jelasin semuanya ke anak-anak."

Vivi menghela napas panjang, "Om kalo mau nyari Ara, om salah tempat."

"Om nyari kamu."

Vivi menunjuk dirinya sendiri, "Aku?"

"Ya. Kamu, siapa lagi orang yang ada di tempat kayak gini, sore-sore lagi. Emang kamu gak takut kalo ada sesuatu yang tiba-tiba muncul?"

"Becandanya serem, ah, om." Kesal Vivi, ia berjalan cepat keluar dari area pemakaman sambil membawa skateboardnya.

Marcel tertawa kecil melihat tingkah Vivi, tapi tiba-tiba ia mendengar suara tawa lain dan membuatnya menjadi terdiam. Buru-buru ia menyusul Vivi, berlari kecil keluar dari pemakaman ini.

Vivi melipat kedua tangannya ke depan dada, melihat papahnya Ara berlari ke arahnya, "Senjata makan tuan, senjatanya lebih besar dari tuannya."

"Presiden pun juga takut sama begituan." Ucap Marcel sambil sesekali tertawa.

"Jangan ketawa, ih, om." Vivi bergidik ngeri, ia mengusap kedua lengan tangannya bergantian. "Hawanya udah gak enak."

"Yuk pindah dari sini."

Vivi mengangguk, ia melihat ke sekeliling area pemakaman, "Om, gak bawa mobil?"

"Enggak."

"Emang kita mau ke mana?"

"Ke rumahmu." Marcel menoleh, ia menunjuk inisial TS di papan skateboard yang sedari tadi di pengang oleh Vivi.

"Itu bener?"

"Kamu udah tahu?"

Vivi mengangguk pelan, "Ya."

Marcel tersenyum, ia memasukkan kedua tangannya ke dalam saku celananya, "Mamahmu itu orangnya unik dan cantik, sampe direbutin dua orang. Om mau ikutan tapi udah keduluan papahmu."

"Apa yang sebenernya terjadi? Mamah overdosis obat, papah gak pernah nemuin aku, kak Viny ngangkut aku, dan sekarang om Thomas tiba-tiba datang dan secara gak langsung bilang aku sama Chika itu bukan saudara kembar."

"Kenapa kamu keliatannya gak seneng? Chika sama bukan saudara kembar jadi kalian berdua bisa lanjutin hubungan kalian."

Vivi menghentikan langkahnya, tangannya terangkat dan menyentuh dadanya, "Aku gak mau cinta. Aku mau keluarga. Selama bertahun-tahun aku sendirian, gak punya siapa-siapa yang bisa aku anggep keluarga. Sesaat aku pikir aku masih punya keluarga waktu aku tahu Chika itu saudara kembarku, tapi om Thomas dateng dan semuanya jadi mimpi buruk."

AlmostWhere stories live. Discover now