Chapter 1

92.3K 3K 111
                                    

Haiii!

Kalian baca pas jam berapa?

---

Happy reading🖤

"Papa mau kamu menjadi penerus Papa!" Suara bentakan dari seorang ayah memenuhi ruangan yang dipenuhi dengan beberapa hiasan aesthetic. 

Remaja laki-laki yang merupakan anak pria itu menggeleng cepat. "Aku nggak mau, Pa! Cita-citaku dari kecil itu psikologi! Bukan menjadi penerus Papa di perusahaan!"

"Papa menyekolahkan kamu mahal-mahal agar kamu bisa menjadi penerus Papa, bukan menjadi psikologi!" Seorang perempuan dengan dress santainya menghampiri, mengelus dada si ayah agar bisa sabar dan tidak memperpanjang pertengkaran. Namun, percuma saja. Pria itu menepis tangannya. 

"Jangan menjadi pembangkang seperti Mamamu! Papa tidak mau tahu, kamu harus menjadi penerus Papa! Ini demi kebaikan kamu! Sudah cukup kamu membangkang dengan berpacaran!" 

Alva hendak berbicara, tetapi ibu paruh baya tadi menghampirinya lalu memohon untuk mengakhiri pertengkaran mereka di pagi ini. "Sudah, Nak. Jangan dibalas lagi," katanya lembut membuat laki-laki remaja itu mengangguk dengan napas memburu. 

Rossa kembali menatap ke depan, tepatnya menatap suaminya. "Sudah cukup kamu menjadikan anak kita robot!"

Lagi-lagi bayangan kejadian itu terlintas di benaknya. Alvandra mengusap wajah gusar.

Di detik berikutnya, suara ketukan pintu terdengar bersamaan dengan suara seorang ibu memanggil nama anaknya. Ia berdiri lalu membuka pintu bercat hitam itu. 

"Kok nggak turun sarapan?" tanya Rossa seraya menatap anaknya dengan sebelah alis yang ia angkat. 

"Ini baru mau turun, Ma. Ayo," balas Alvandra seraya mengaitkan tangannya dengan tangan sang ibu. Mereka turun ke lantai bawah beriringan. 

Sampai di tujuan, keduanya duduk di kursi meja makan yang dipenuhi banyak sarapan di sana. Alvandra mengedarkan pandangan melihat makanan-makanan tersebut dengan alis mengerut. "Kok banyak banget, Ma?" 

"Mama tau, mood kamu buruk dari semalam. Di kantor kerjaan numpukkan? Makanya Mama sama Bibi masak banyak." Rossa terkekeh di akhir kalimatnya.

Alvandra lantas menggeleng dan terkekeh pelan. "Nggak segini juga kali, Ma. Siapa yang mau ngabisin  makanan sebanyak ini, coba? Apalagi kita di rumah ini cuma bertiga." 

"Udah, soal itu gampang. Sekarang makan aja dulu." Setelahnya, mereka benar-benar memakan sarapan dengan tenang. Hanya suara dentingan sendok dan garpu yang terdengar. Ini adalah sebuah kebiasaan keluarga mereka, tak berbicara saat makan. 

Beberapa menit kemudian, suara letakkan gelas kosong masuk ke indera pendengaran mereka. Yang bertanda, kegiatan sarapan pagi ini telah selesai. Alvandra berdiri lalu mencium punggung tangan ibunya, pamit untuk segera ke kantor. 

Rossa tersenyum sambil mengusap bahu anaknya. "Mama tau, berat buat kamu ngerelain cita-cita kamu gitu aja. Tapi laksanain aja dulu, ya? Takdir Tuhan yang terbaik, mungkin ini yang terbaik buat kamu. Ikhlas jalani semuanya, oke?" 

Merelakan cita-cita yang diimpikan sejak kecil demi orang tua, begitulah yang dirasakan oleh Alvandra. Sakit. Namun, mau bagaimana lagi? Lagipun, ini adalah permintaan alm. ayahnya. Walaupun pria itu selalu mengekangnya, tetapi dia tetap sayang. 

Alvandra (END)Where stories live. Discover now