Bab 19 - Tiga Hari Tanpamu

Start from the beginning
                                    

Baru ingin mengetuk pintu ... mata Fredy menyipit ketika mendengar suara yang tak biasa dari dalam sana. Perlahan, telinganya sedikit mendekat pada daun pintu, menajamkan pendengaran. Seketika itu juga mata Fredy membelalak sempurna.

"Laok kali si Christ ni, ah!" umpatnya.

"Aaarrrgh!" Fredy mengacak rambutnya kasar, merasa mendapat kesialan bertubi-tubi.

Tidak ingin beranjak kemana-mana, Fredy pun memutuskan untuk menunggu sang pemilik kamar keluar.

Fredy menghempaskan tubuhnya di kursi teras, duduk bersandar dengan kaki menyilang di atas meja. Pemuda itu menyulut sebatang rokok, guna meredam pikirannya yang sedang merana dan meronta.

Hening. Suasana siang ini tampak sepi. Wajar, karena memang penghuni kos rata-rata adalah seorang pekerja dan mahasiswa. Sebagian juga belum kembali dari pulang kampung.

Di sela menghisap rokok, sesekali Fredy mengeluarkan umpatan kekesalan. Bukan karena kemarahannya pada Mia, tetapi suara pekikan seorang wanita yang diikuti desahan bersahutan makin jelas tertangkap indera pendengarannya.

Apa boleh buat, mau pergi pun ia sudah terlanjur malas beranjak.

Fredy menghisap rokoknya dalam-dalam. Tampak beberapa kali pemuda itu menggelengkan kepala, mencoba menghalau pikiran yang mulai ikut berimajinasi liar.

Namun, detik kemudian sesungging senyum miring penuh arti terbit dari bibir pemuda itu, menyiratkan ada sesuatu yang terlintas di benaknya.

***

Selama tiga hari, Mia dan Fredy perang dingin, tak saling berkomunikasi. Mia terlampau segan untuk menghubungi pemuda tersebut, merasa bersalah. Untung ada Fakhri yang selalu siap setiap saat, memberikan dukungan jarak jauh.

Mia tak mau membuang waktu. Masa gencatan senjata antara dia dan Fredy, tetap dimanfaatkan dengan baik untuk belajar lebih dalam tentang agamanya. Begitu pula dengan Fredy, memperdalam pengetahuan agamanya dari salah satu kenalan Tulang di Malang.

Malam hari, Fredy tiba-tiba sudah tiba di tempat kos Mia.

[Aku di teras kos.]

Pemuda bertubuh gempal itu mengirimkan pesan pada Mia yang sangat dirindunya. Mia bergegas ke teras begitu membaca satu kalimat singkat dari seseorang yang ia nantikan beberapa hari ini.

Mia tersenyum melihat pemuda tampan pujaan hati berdiri di dekat pintu gerbang kos.

"Masuk, Mas."

"Aku tunggu di motor saja. Kau ganti baju, kita pergi jalan-jalan," jawab Fredy tanpa basa-basi.

"Mau ke mana, toh?"

"Tak usah banyak nanya. Aku merindumu, Bidadariku. Buruan," tandas Fredy.

Tak mau berbantah lebih lama, Mia segera kembali ke kamar, mengganti kaos yang ia kenakan dan segera menyambar tas santai miliknya di atas meja belajar.

Fredy tersenyum melihat kekasihnya itu cepat sekali kembali ke hadapannya.

"Pasti kau kangen sekali sama Abang. Cepat kali ganti baju. Sudah gak tahan ya, pengen pergi sama pemuda tampan ini," goda Fredy.

Mia hanya mencebik dan bergegas naik ke jok motor, lalu memeluk tubuh pemuda itu. Tak perlu menjawab, gadis itu memang sangat merindukan kehadiran Fredy. Aroma tubuh seorang kekasih memang selalu menjadi candu.

Tak beda jauh dari peuyeum Bandung, aroma tubuh Fredy tetap saja membuat Mia merasa ada yang kurang jika tak berjumpa dan menyesapnya. Parfum alami buatan Gusti, tak ada yang mampu menyaingi.

Berdua bercanda di atas motor, suasana yang sangat mereka rindukan.

"Aku minta maaf ya, Mas. Bukan maksudku membuat kamu marah apalagi cemburu." Mia mencoba memberikan klarifikasi, tak ingin hubungan mereka memburuk lagi.

"Tak apa, Bidadariku. Aku minta maaf juga, terlalu emosi. Jauh darimu, lebih menyiksaku. Bahkan jika kau harus mendua, selagi tak meninggalkanku, aku rela."

Mia tersenyum mendengar jawaban kekasihnya. Dia merebahkan kepala di punggung Fredy, memeluk lebih erat.

Tiga hari terasa tiga windu, tanpamu.

Tiga hari terasa tiga windu, tanpamu

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.


Elegi Dua HatiWhere stories live. Discover now