26

32.3K 1.6K 16
                                    

“Aduh, pengantin baru yang sudah unboxing hari ini balik. Eh, baliknya seketika glow indah di pandang, aura pengantin baru memang berbeda” Ledek Ica yang langsung memeluk tubuhku dan sebelah tanganny mengambil alih tas ku untuk di bukanya.

Udah ledek orang, terus sekarang langsung main embat tas orang lagi. Kebiasaan Ica, urat malunya sedang di gadai. Dan lupa hingga sekarang belum ditebus.

“Bagaimana? Udah ada isi belum calon bayi?” tanya Nela, dengan spontan memegang perutku.

Aku memundurkan tubuhku, "baru aja kemarin adonannya lengkap, jadi ya nunggu dulu" balasku.

Piti yang berada di sampingku tertawa mendengar pengucapan adonan dari mulutku. Sedikit lucu memang, ya tidak mungkin juga secara gamblang aku jelaskan apa yang dimaksud Nela.

Suasana kelas masih sama seperti sebelumnya, hanya saja berbeda dari diriku saja yang sudah menikah. Beberapa teman-temanku yang lain mengucapkan kembali atas pernikahan ku, dan tidak banyak dari mereka yang langsung mendo'akan yang terbaik.

Masih ada beberapa dari jurusan sebelah, yang tidak menyangka aku menikah dengan mas Sakha. Ah, hal itu masih saja mengusik fikiran ku. 

Aku memajukan kursi tempat dudukku untuk memulai kelas pagi ini, teringat selama seminggu aku meninggalkan kampus sudah pasti banyak beban yang tertinggal disini,
“ Pasti banyak banget tugas ya, aku  pengen cuti aja sih rencananya setahun. Biar gak nanggung” ledekku.

Kegiatan Ica yang tengah fokus dengan tas berisi oleh-oleh tersebut, langsung membalik arah untuk menatapku, spontan Ica langsung menyilangkan kedua tangannya, "gak, ish mana boleh gitu. Kita masuk barengan anjir, lulusnya barengan juga. Mentang mentang lo udah nikah, lo main seenaknya.” pungkas Ica tidak terima.

“Kalau lo hamil, ya mending cuti sih Sil. Kan itu aturannya” jelas Piti mengingatkan.

“Balik lagi sih Sil, kalau dokter Sakha udah setuju. Ya, kenapa tidak. Gue aja nih ya, kalau ada yang mau nikahin gue, mending nikah aja deh. Capek kuliah, mau beli pesawat aja” ujar Nela ngelantur di pagi ini.

"Eh, masak gak ada temannya dokter Sakha yang nitip salam ke gue? Padahal gue udah dandan cetar membahana hari itu." Sambung Nela.

Padahal Nela menyandang status jomblo, baru dua bulan. Itu hanya status jomblo, tidak termasuk dengan lelaki yang menemani dirinya setiap malam sleep call. Heran, dari banyaknya yang mencoba untuk mendekati anak itu lagi malah Nela yang tak kunjung membuka hatinya.

"Terus kandang buaya lo, mau lo apakan, Nel?" Pertanyaan yang mewakili dari Piti.

"Setuju."

"Gak ada lolos seleksi gue. Sil, gue mau sama dokter pokoknya."

"Eh, kalau itu gue juga mau." Serentak kedua insan Ica dan Piti mengatakan hal tersebut.

Lah, mereka kira aku biro jodoh. Teman dokter Sakha? Hanya beberapa yang aku kenal, itu pun kami hanya berkenalan tidak lebih.

“Kapan-kapan, kalian main kerumah ya.” aku mengalihkan topik pembicaraan, permintaan mereka sulit untuk aku bantu. Ya, mending mereka minta tolong untuk dibelikan seblak pasti aku bisa bantu. Tapi, untuk kali ini maaf banget inimah gak bisa.

Dengan sigap Ica langsung memelukku dari belakang, "Oh, dengan senang hati cantik. Siepin makanan yang enak ya.” setidaknya mereka melupakan pembahasan biro jodoh tersebut. Masalah makanan, aku bisa ambil brownis di toko Ibu.

"Eits, jangan brownis Ibu ya." Sambung Nela, baru saja pemikiran tentang brownis tersebut terbesit di kepalaku. Dan sekarang harus putar otak lagi, hendak menyiapkan mereka apa.

Suamiku Dokter ( Tahap Revisi)Where stories live. Discover now