Bab 18 Badai Besar

Start from the beginning
                                    

Mia terdiam sejenak. Melihat watak Fakhri, memang sepertinya tidak mungkin pemuda itu bicara macam-macam.

Dasar emak-emak rempong, keluh Mia dalam hati.

Mia kemudian menceritakan tentang kecemburuan pacarnya pada Fakhri. Semua cerita ditanggapi dengan sabar oleh pemuda tersebut, sembari menahan rasa nyeri di dada.

Untung saja Mia tidak bisa melihat ekspresi wajah Fakhri yang tersenyum kecut. Pria mana yang tidak cemburu, jika gadis pujaan hati bercerita tentang pria lain.

Fakhri tetap berusaha menanggapi dengan baik, bahkan mencoba memberikan solusi pada Mia untuk menghilangkan kemarahan Fredy.

Hatiku meronta, menggeliat menahan teriak. Aku terluka, andai saja kau memahaminya.

Mia berbincang dengan asyik, sampai tak terasa hampir satu jam dia menelepon Fakhri.

"Wis, Mas. Hati-hati di jalan. Aku mau telpon Mas Fredy dulu. Assalamu'alaikum."

"Wa'alaikumus salam. Jangan lupa, salat, ngaji dan terus belajar agama, ya," pesan Fakhri.

"Siap, Bos." Mia mengakhiri panggilan teleponnya.

Astaga! Mia berteriak dalam hati.

Terlihat beberapa panggilan tak terjawab dari Fredy. Rupanya pemuda yang sedang merajuk itu mencoba menelepon Mia saat gadis tersebut sedang asyik berdiskusi dengan Fakhri.

[Hebat. Pacaran terooooossssssss!!!!]

Sebuah pesan dikirimkan oleh Fredy setelah beberapa kali mendapati kekasihnya sedang berada dalam panggilan telepon lain.

Buru-buru Mia mengetik pesan balasan. Tidak ingin kesalahpahaman berbuntut panjang. Baru mengetik beberapa kata, sebuah ketukan pintu menghentikan jari jempolnya bergerilya.

Mia beranjak dari tepi ranjang, menyibak korden melihat siapa yang datang. Mata gadis itu membesar mendapati seseorang di luar sana sedang berkacak pinggang.

Fredy!

Dengan cepat Mia memutar handle pintu ....

"Mana handphone kau?" pinta pemuda itu dengan sorot mata tajam, mengulurkan tangan kanan.

Mia belingsatan, bingung apa yang harus ia lakukan, antara menyerahkan atau menahan ponsel yang masih tergenggam.

Mampus! Pasti Mas Fredy tambah marah, kalo sampe lihat log panggilan keluar, rutuk Mia dalam hati.

"Cepat, mana!" todong Fredy mendesak.

Ragu, Mia mengangkat tangan, menyerahkan telepon genggamnya. Pasrah.

Dengan sigap Fredy menyambar benda yang ada di hadapannya. Tanpa berkata apapun, lekas jari-jarinya bergerak mengutak-atik benda pipih tersebut.

Daftar panggilan, tujuan utama Fredy.

Sementara Mia hanya menunduk, menggigit bibir bawah, menunggu reaksi kekasihnya itu.

Rahang Fredy mengeras, gerakan tangannya sedikit meremas melihat nama panggilan terakhir yang berada di posisi teratas.

Masih diam, tanpa memberikan respon apapun, Fredy meraih tangan Mia dan memberikan gawai itu kembali pada pemiliknya.

"Aku bisa jelasin, Mas," ucap Mia meraih tangan kekasihnya saat pemuda itu berbalik badan, menahan. Ia tahu kali ini Fredy sangat marah, tampak raut wajah yang sudah merah padam.

Fredy sedikit menengok ke belakang. "Tak ada lagi yang perlu dijelaskan. Semua sudah jelas," ucapnya dingin.

"Tapi, Mas ... kamu sudah salah pah–," ucapan Mia terputus ketika Fredy mengibaskan genggamannya lalu pergi.

Dia bilang salah paham? Sudah jelas aku yang marah, tapi kenapa si kampret itu yang justru dihubungi, pikir Fredy meracau sambil terus berjalan menuju motor yang terparkir di luar sana.

Ternyata beberapa saat yang lalu pemuda itu tidak benar-benar pergi. Seperti biasa, ia hanya pura-pura ngambek, rindu ingin dirayu Mia. Fredy menghentikan kembali motornya hanya sampai di luar pagar, berharap kekasihnya akan mengejar.

Dengan pikiran carut marut, Fredy memutar stang motor lalu memacu kuda besinya itu dengan kecepatan tinggi.

Harapan bertemu kekasihnya untuk melepas rindu setelah hampir sebulan tidak bertemu, tapi malah kejutan demi kejutan tak terduga yang ia terima.

Apa ini pertanda hubunganku akan berakhir begitu saja? Fredy semakin menambah kecepatan seperti orang kesetanan.

Rasa kecewa hadir karena harapan yang terlalu tinggi. Pedih hati bukan karena orang yang dibenci, tapi justru yang sangat kita cintai. Dilukai musuh mungkin hanya sesaat ricuh. Disakiti kekasih, sungguh teramat pedih.

 Disakiti kekasih, sungguh teramat pedih

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.


Elegi Dua HatiWhere stories live. Discover now