Keputusan

3.9K 357 0
                                    

"Yah buat apa dipertahanin kalau kamu saja tidak mau memberi dia waktu menjelaskan dan pengertian?. Sudah, jalan yang paling benar saat ini memang mengakhiri semuanya"

Omongan bang Wahyu tadi siang masih terngiang ditelingaku. Apa mungkin ini jalan yang paling benar?. Tapi aku belum siap untuk kehilangan bang Adit.

"Ko melamun Nin?" etek Diza mengelus lenganku. Saat ini kami sedang dirumah Fahmi. Bang Wahyu menyeret aku kesini tadi sore.

"Gak ada tek" aku menggelengkan kepala.

"Jangan sampai kamu buat keputusan yang bakalan kamu sesali dikemudian hari nak. Kalau memang kamu masih bingung, kalian ngomong secara baik-baik. Hubungi Adit nak, jangan diamkan."

Aku memeluk etek Diza dengan erat. Tidak, aku tidak menangis. Rasanya air mataku sudah habis selama seminggu terakhir ini. Usapan lembut dikepalaku rasanya sangat nyaman, pelukan etek sama hangatnya dengan pelukan mama. Ah aku jadi rindu mamah.

"Kalau kamu memang belum siap ngomong sama dia, biar etek yang bicara nanti. Gimana?" Aku melepaskan pelukan lalu menatap etek Diza.

"Biar Hanin aja nanti yang coba bicara sama bang Adit tek. Hanin yang akan selesaikan masalah ini"

"Bagus kalau begitu" etek tersenyum kemudian memelukku kembali.

"Mana Hanin!?" pelukanku pada etek akhirnya terlepas mendengar teriakan seseorang yang baru saja masuk kedalam rumah.

"Ya Allah Hanin!. Kau kemana aja seminggu ini heh?. Aku bolak-balik kerumah tapi kau gak ada. Memang gak ada otak kau yah!"

Fahmi datang-datang sudah heboh merepet padaku. Badanku digoncang-goncang dengan kuat.

"Heh bisa mati ponakan mamak nanti kau buat!" etek menarik paksa Fahmi dariku.

"Biarin aja mak. Memang gak ada otak ponakan mamah satu ini. Suka kali buat orang khawatir. Sini kau!"

Aku menurut saja mendekat padanya. Aku kira dia akan memukul ku atau apalah, ternyata dugaanku salah. Dia malah membawaku kedalam pelukannya.

"Sesekali memang kau perlu di ruqiah Nin. Apa kubilang sama kau malam itu?. Kalau ada masalah cerita sama ku kan?" aku mengangguk didalam dekapannya. "Tapi kenapa kau malah ngilang bukannya datang samaku?"

Aku hanya bisa terkekeh mendengar keluhan Fahmi. Tak jauh beda dengan etek Diza, dia juga tersenyum melihat Fahmi yang khawatir bangat samaku.

"Gue minta maaf Mi, gue yang salah"

"Iya kau memang salah dan gak ada yang bilang kalau kau itu benar" dia melepas pelukan lalu menatap tajam padaku.

"Kemana aja kau seminggu ini?"

"Gak kemana-kemana, dirumah doang" matanya membola mendengar jawabanku.

"Lalu kenapa kau gak bukain pintu setiap kali aku gedor-gedor dari luar"

"Malas aja bukain pintu"

"Astaga Hanin" Fahmi menjambak rambutnya sendiri. "Memang betulan gak ada otak kau yah" ucapnya gemas.

"Otak gue ada dan kalau boleh jujur otak gue lebih pintar dari otak lo" jawabku kesel.

"Liat tuh mah ponakan mamah. Bandal kali kalau dibilangin!" tanpa pikir panjang etek langsung menoleh padaku cukup lama.

"Ko mamah malah ngeliatin Hanin kayak gitu sih?" beo Fahmi.

"Lah tadi kau yang nyuruh mamak buat liatin Hanin, kenapa sekarang malah nanyak?"

"Astagfirullah. Sabarkan hati hamba ya allah. Astagfirullahaladziimm"

Dengan langkah lemas Fahmi meninggalkan ruang tamu. Kesel melihat mamahnya. Aku juga ikutan ketawa.

PARIBAN (End)Where stories live. Discover now