Yang Aku Takutkan

3.9K 382 0
                                    

ADITYA POV

"Ha ha ha abang bercanda kan?"

Aku tidak tau harus menjawab apa lagi. Melihat wajah kaget Hanin membuat lidah ku kelu untuk sekedar berbicara.

"Abang serius dek" diam. Hanin diam. Lama sekali dia menatapku tanpa mengeluarkan kata sepatah pun.

Ini yang aku takutkan. Sebenarnya kepindahan ini sudah aku ketahui sejak seminggu lalu, namun aku enggan memberitahukan Hanin.

Bukan karena apa, aku hanya takut akan reaksinya. Dan betul saja, dia sangat terpukul ketika aku memberitahukan soal kepindahanku.

"Dek jawab jangan diam aja" aku memegang tangannya, meremasnya sedikit kuat. Aku ingin memberitahukan bahwa aku juga sama seperti dia, belum siap akan perpisahan kami nantinya.

Hanin menarik napas lalu membuangnya. Dia melakukan itu berkali-kali. Aku hanya memerhatikan saja, dia sedang mencoba menenangkan diri.

"Kapan abang berangkat?" tanya nya dengan mata yang sudah memerah.

"Lusa" jawabku lemah.

"Kenapa baru bilang sekarang? hiks..." dia bertanya dengan diiringi tangis yang membuatku semakin gak karuan.

"Jawab bang kenapa baru bilang sekarang?" tanya Hanin sambil memukul-mukul lenganku. Kalian tau kan dia itu suka sekali memukul badanku, dan itu sakit sekali. Tapi aku selalu membiarkannya, seperti saat ini.

"Abang gak tau gimana caranya memberitahu kami dek, abang bingung" jawabku sambil menunduk.

"Bodoh!. Abang bodoh!. Kenapa hal sepenting ini baru dikasih tau sama Hanin sekarang?, kalau Hanin tau kan hiks Hanin hiks ......"

Aku menariknya kedalam pelukanku. Aku benar-benar gak sanggup melihat wajah sedihnya. Hatiku rasanya sakit mendengar tangisannya.

"Abang minta maaf dek. Ini salah abang"

Hanin terus-terusan bergumam tak jelas didalam pelukanku, tangisnya juga semakin menjadi. Aku makin gelagapan sendiri mendengarnya, takut juga nanti rumah rame sama tetangga gara-gara suara tangisnya.

"Jangan nangis terus dek, abang kan disana cuman sebentar. Cuman setahun dek, bukan selamanya" seruku menenangkannya.

Hanin melepas pelukannya padaku. Mendongak lalu menatap wajahku tajam. Aku sampe menelan saliva susah melihat mata tajamnya.

"A-abang kira hiks setahun hiks itu sebentar hiks " jawabnya dengan sesenggukan.

Aku sebenarnya mau ketawa melihat hidungnya yang kembang kempis dari atas sini. Posisinya tuh dia meluk aku yang lagi duduk di sofa, sementara dia duduk dilantai. Jadi otomatis yang dia peluk itu pertku kan, nah pas dia mendongak yang pertama aku lihat tuh hidungnya yang kembang kempis karena sesenggukan.

Astaga lupakan. Padahal Hanin sedang sedih, bisa-bisanya aku malah melucu kayak gini.

"Setahun itu sebentar sayang, cuman dua belas bulan ko" jawabku setenang mungkin.

"Abang tuh yah, gak tau banget gimana perasaan Hanin saat ini. Bisa-bisanya abang bercanda disaat Hanin lagi sedih" jawabnya sambil bibir mengerucut, kayaknya bakalan nagis lagi nih.

"Abang gak becanda loh, serius kan satu tahun itu dua belas bulan" aku gak salahkan yah?.

Dia beranjak dari duduknya lalu menjauh dariku. Memilih duduk diatas karpet depan tv. Disana ia memeluk lututnya lalu menangis kembali.

Haduhh malah ngambek. Bakalan susah ini. Niatnya tadi cuman mau pamit, malah ditambah acara ngambek. Poor you Adit.

Aku berjalan pelan lalu ikut duduk didepan nya.

"Udah yah, jangan nangis lagi. Abang gak tenang berangkatnya nanti kalau kamu nangis kayak gini"

Aku menangkup wajahnya dengan kedua tanganku. "Mau sejauh apapun abang nanti, abang akan tetap sayang sama adek. Jadi jangan nangis terus yah"

Dia mengangguk pelan lalu kembali memelukku.

"Nanti kalau disana harus sering-sering hubungi Hanin yah!" aku mengangguk lalu mengiyakan.

"Jangan selingkuh dari Hanin" lagi-lagi aku mengangguk.

"Kalau sampe aku tau abang punya selingkuhan, bakalan aku potong burung abang nanti. Liat aja"

Sontak saja tubuhku menegang mendengar penuturan Hanin. Kalau nanti dipotong gimana caranya aku berkembang biak?. Ah sadis sekali memang pariban satu ini.

"Iya abang janji dek gak bakalan aneh-aneh. Kalau nanti aneh-aneh, abang rela kalau kamu nanti yang motong ekhem abang"

Dia mendorong aku dari pelukannya. "Itu mah maunya abang kan?, dasar mesum!"

Maak salah lagi aku rupanya.

"Kan tadi adek yang bilang kan" aku membela diri.

"Iya berarti abang memang ada niatan mau sekingkuh dari Hanin kan?"

Allahu Akbar. Tolong au Tuhan. Doaku dalam hati.

Sabar Adit, ini demi kebaikan hubunganmu dengan Hanin.

"Iya gak bakalan dek, sumpah. Abang bakalan setia sama kamu, apapun yang terjadi nanti"

"Beneran!?" tanyanya dengan mata menyolot.

"Beneran dek. Kalau kamu mau gak percaya. Ayo, malam ini juga kita ke KUA"

"Ngapain abang ke KUA?" tanya nya tak santai.

"Yah mau nikahin adek lah" jawabku dengan tersenyum jahil.

"Dih gak mau. Lagian mana ada KUA yang buka malam-malam kayak begini" jawabnya dengan malu-malu.

"Demi kamu dek, abang bakalan mohon-mohon sama mereka biar buka sekarang"

"Dih gombal" jawabnya dengan wajah memerah.

Aduhhh calon istri aku kalau lagi blushing tuh gemesin banget. Jadi pengen terkam, eh? sadar Dit belum sah.

"Jadi abang di ijinin nih yah?" tanyaku dengan hati-hati.

"Ya mau bagaimana lagi. Ini kan perintah dari atasan abang. Hanin juga gak mungkin kan ngehalangi kerjaan abang?" tannya nya dengan wajah sendu.

"Jangan sedih lagi dong, adek gak cakep loh kalau sedih kayak gitu" rayuku padanya.

"Bodo amat!. Cakep gak cakep, yang penting abang udah cinta mati"

"Tau aja kamu" jawabku sambil mencolek dagunya.

"Tapi kamu juga janji yah dek, jaga hati dan mata kamu selama abang gak ada disini" tambahku lagi padanya.

"Iya iya, lagian siapa yang juga yang mau sama Hanin selain abang" jawabnya dengan dahi mengkerut.

"Banyak dek!. Itu salah satunya si Lutfy guru yang disekolahan kamu" protesku tak terima.

"Dih sok tau abang"

"Yah taulah. Dari cara dia natap kamu aja abang udah tau dengan jelas dek, pokoknya...." belum sempat aku selesai ngomong udah dia potong duluan. Kebiasaan memang.

"Intinya Hanin cuma cinta sama abang!"

Adududuhh kan meleleh ini hati mendengarnya. Emang boru Regar ini paling bisa buat jantung aku jedag jedug gak jelas.

















Terima kasih
NurDyh ❤

PARIBAN (End)Where stories live. Discover now