Bab 11 - Pesonamu

Start from the beginning
                                    

"Oh." Fakhri ber-oh ria, mengerti. Setelah itu ia turun meninggalkan Mia sendiri di dalam mobil kemudian melenggang masuk menuju tempat wudhu khusus laki-laki.

Lima belas menit kemudian Mia melihat Fakhri menuruni anak tangga, keluar dari masjid.

"Subhanallah ... ganteng banget," gumam Mia memuji pemuda yang berjalan mendekat ke arahnya. Wajah yang berseri-seri dengan rambut sedikit basah di puncak kepala menambah aura ketampanan Fakhri.

Hening ... mobil kembali melaju.

"Lho, kok kita ke sini, Mas?" tanya Mia saat mobil Fakhri terparkir di depan sebuah toko.

"Tadi bukannya kamu bilang mau beli buku?" jawab Fakhri mengingatkan.

Mia nyengir, mengingat tujuan awal ia mengajak pemuda itu pergi. "Cuma alasanku aja sih, sebenernya ...."

Fakhri menggeleng, ingin sekali ia mencubit hidung gadis itu, gemas. Namun, apalah daya kata 'bukan mahram' membuat pemuda itu senantiasa menjaga batasannya.

"Udah nanggung ini ... ya udah, yuk, masuk aja. Kita lihat-lihat dulu siapa tahu ada yang cocok."

"oke, lah." Mia mengangguk setuju. Nggak ada salahnya juga, pikirnya.

Keduanya pun masuk beriringan dengan tetap memberi jarak. Langkah mereka berpencar ketika sudah berada di dalam. Dengan cepat Mia berjalan menuju ke rak area khusus novel, sementara Fakhri melipir ke bagian sejarah islam.

Hampir setengah jam sibuk sendiri-sendiri, Fakhri mengedarkan pandangan mencari keberadaan Mia. Tidak butuh waktu lama, dengan cepat Fakhri menangkap sosok gadis berhijab warna nude itu masih berdiri di tempatnya semula.

Pemuda itu segera berjalan mengitari beberapa rak yang menyekat. Saat jarak semakin dekat ia menangkap pemandangan yang tak biasa. Sejenak Fakhri celingukan memperhatikan keadaan sekitar, cukup ramai. Segera ia mempercepat langkah menghampiri gadis yang berdiri di ujung sana dengan posisi membelakangi.

"Mi, aku minta kamu balik badan."

Mia terkejut saat suara bariton itu berada tepat di belakangnya.

"Eh, ada apa, Mas?" Mia berbalik badan dengan mimik wajah kebingungan.

"Di baju kamu ada noda. Jangan kemana-mana, tetap di sini ... tunggu sebentar."

Dengan wajah terpelongo, Mia penasaran dengan apa yang dikatakan pemuda yang baru saja meninggalkannya menuju pintu keluar.

Sekilas Mia menengok ke samping bawah sembari tangan kanannya menarik ujung baju bagian belakang. Betapa kaget bercampur malu, ia melihat noda berwarna merah sebesar bola pingpong tergambar jelas di baju tunik berwarna pink dusty miliknya.

Seketika Mia menutup wajahnya dengan buku yang ia pegang, malu. Bukan hanya dengan Fakhri, tapi juga dengan pengunjung lain yang bisa jadi juga melihatnya. Tak hentinya mulut Mia meracau lirih merutuki kebodohannya.

"Miaaaa ... o'on banget sih! Kenapa tadi gak pake yang panjang ada sayapnya," sesal Mia.

"Tutupi pake ini," titah Fakhri ketika kembali, mengulurkan sweater warna hitam yang ia bawa.

Mia membuka wajahnya yang kini sudah memerah seperti tomat, menahan rasa malu, kemudian menuruti perintah Fakhri.

"Ayo, Mas, kita pulang sekarang," ajaknya setelah mengikat kedua lengan sweater itu melingkari pinggangnya.

"Siniin bukunya biar aku bayar dulu."

"Udah, nggak usah." Dengan cepat Mia menarik lengan Fakhri agar segera pergi dari tempat itu.

"Maafin aku, Mas ... udah ngerepotin. Gara-gara aku baju kamu jadi kotor," ucap Mia, menahan malu.

"Udah, nggak papa. Kan, nanti bisa dicuci," ujar Fakhri sembari tersenyum.

Baru lima menit kendaraan Fakhri melesat, kembali pemuda itu membelokkan mobilnya menuju ke area parkir sebuah pusat perbelanjaan.

"Kok, kita ke sini, Mas? Anterin aku pulang dulu, yuk?" tanya Mia yang diakhiri rengekan.

"Iya, habis ini aku antar pulang, tapi tunggu sebentar ... ada yang harus aku beli." Tanpa menunggu persetujuan dari Mia, Fakhri bergegas turun dari mobil. Dengan langkah tergesa-gesa pemuda itu masuk menuju bangunan besar tersebut.

Setengah jam berlalu, Fakhri kembali sambil membawa paper bag. "Maaf, kalo tidak sesuai dengan selera kamu. Ukuranya pun hanya mengira-ngira, tapi insha Allah cukup," ujarnya, memberikan paper bag berukuran sedang tersebut pada Mia.

Tanpa menjawab, Mia langsung memeriksa isi dari benda yang kini sudah berpindah ke tangannya.

"Makasih, Mas," ucapnya melihat sebuah gamis teronggok di dalam sana.

"Kamu nggak malu beli barang seperti ini?" tanyanya lagi, mengernyitkan kening. Ada rasa tidak percaya sekaligus sedikit tergelitik dengan dua benda berikutnya, sekotak pembalut dan sekotak celana dalam.

"Buat apa malu? Toh, aku nggak kenal juga dengan mereka." Fakhri mengedikkan bahunya tak acuh.

Mia membuang muka, menyembunyikan senyum, terpesona. Selain Fakhri sosok lelaki yang menyenangkan dan sangat menghormati lawan jenis, ternyata pemuda itu juga bisa bersikap demikian manis dan perhatian.

Sekelabat Mia teringat akan ucapan Fredy saat sedang mengobrol bersama Christian dan Merry. "Aku rela melakukan apa saja untuk bidadariku ini, asal tidak disuruh beli roti khusus itu, bisa jatuh harga diriku sebagai pejantan tangguh," seloroh Fredy waktu itu. Jauh berbeda ... untung sayang, batin Mia.

"Ya sudah. Kita cari pom bensin dulu, nanti kamu bisa ganti di sana. Setelah itu kita makan, baru pulang," pungkas Fakhri sejurus kakinya menginjak pedal gas.

Uhui. Mia mulai terseponah nih, ye. Wkwkwkwk.... Jangan lupa vote ya kk. Biar jempolnya masuk surga nanti. Amin.

 Amin

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.
Elegi Dua HatiWhere stories live. Discover now