Bab 10 - Sebuah Kesepakatan

Mulai dari awal
                                    

"Kenapa harus marah?" Dengan santai Fakhri balik bertanya diiringi tawa kecil yang berderai. "Setiap orang berhak menentukan pilihan hidupnya masing-masing, Mi. Aku tidak bisa memaksa, karena dirimu sendiri lah yang jauh lebih mengerti mana yang bisa membuatmu bahagia."

Susah payah Mia mengumpulkan tenaga menata ucapannya agar tidak menyinggung perasaan Fakhri, tapi kenyataannya pemuda itu justru bisa menebak bahkan menanggapinya dengan santai dan bijak.

Seulas senyum kelegaan terbit dari bibir manis Mia. "Makasih, Mas. Sudah mau mengerti posisiku."

"Mencintai bukan berarti harus memiliki. Aku ingin mencintai dan dicintai karena Allah, bukan karena nafsu. Sebab tujuanku menikah adalah untuk ibadah. Dengan melihatmu bahagia meski bukan denganku, itu sudah lebih dari cukup ... buatku turut bahagia."

Kata-kata bijak yang dilontarkan Fakhri membuat Mia tercenung. Rasa bersalah menghinggapi hati gadis tersebut. Dia tidak menyangka, ternyata pemuda itu tulus mencintainya. Namun, lagi-lagi hati tak mampu untuk diajak berkompromi, tetap saja nama Fredy yang bertahta di hati.

"Tapi, masa iya ... baru dua hari ketemu lagi setelah sekian lama, kamu langsung jatuh cinta?" Mia bertanya, menyangkal kenyataan yang diungkapkan pemuda di sampingnya, tidak ingin dihantui rasa bersalah.

Fakhri kembali mengumbar tawa ringan sebelum menjawab pertanyaan Mia. "Kamu tahunya baru dua hari, tapi aku merasakannya sudah lama. Lucu memang, tapi itu kenyataan."

"Sejak masih di Kairo, aku sering tanya kabar kamu dan segala hal tentang kamu pada Arman. Tapi, ya, gitu ... aku memilih mencintaimu dari jauh. Dan jangan tanya kenapa cinta ini bisa tumbuh meski tak pernah saling sapa dan temu. Aku pun tidak tahu karena dia datang tidak membawa alasan," jelas Fakhri mengungkapkan perasaannya.

Mungkin aku terlalu pendiam. Mencintaimu dalam diam dan diam-diam mencintaimu.

"Sekali lagi aku minta maaf, nggak bisa membalas perasaanmu," gumam Mia marasa tak enak hati.

"Jangan minta maaf terus, entar aja dijamak pas lebaran," goda pemuda itu mencairkan suasana. "Oh ya, kenapa nggak jujur saja sama kedua orang tuamu?"

Mia menggeleng lemah. "Ada perbedaan yang menghalangi, Mas."

"Beda suku?"

"Bukan hanya itu, kita juga beda keyakinan. Itulah sebabnya aku nggak berani jujur sama Bapak dan Ibuk. Aku ingin mengulur waktu dengan melanjutkan kuliah S2 sambil meyakinkan Fredy agar mengikuti keyakinanku."

"Oke, aku ngerti. Tapi menurutku, alangkah baiknya jika suatu saat nanti Fredy memang diberikan hidayah, itu bukan karena dia mencintaimu. Namun, memang benar-benar keyakinan yang tumbuh dari dalam hatinya. Aku boleh tanya?"

"Silakan."

"Sudah sejauh mana kamu meyakinkan Fredy?"

"Belum pernah, sih. Cuma terkadang sekadar iseng-iseng, aku ajak dia untuk masuk ke islam."

"Hanya mengajak saja itu tidak akan mempan, Mi, tapi contohkan dari tindakan, perbuatan, tutur bahasa dan segala hal positif yang mencerminkan seorang muslim yang baik. Kemungkinan dia tersentuh akan jauh lebih besar," tutur Fakhri memberi saran.

Mia mengangguk membenarkan semua ucapan Fakhri. Pantas saja selama ini pemuda itu tidak pernah menggubris ajakannya. Malah Fredy sering kali membalas dengan ejekan, tentang Mia yang malas beribadah.

"Kamu juga pasti sudah mengerti, kan, apa hukum seorang muslimah menikah dengan lelaki non muslim?" tanya Fakhri menegaskan. Mia pun hanya membalas dengan anggukan.

'Dan janganlah kamu nikahkan orang (laki-laki) musyrik (dengan perempuan yang beriman) sebelum mereka beriman.' (QS. Al-Baqarah ; 221)

"Tapi aku juga bingung bagaimana cara menolak perjodohan ini, Mas? Aku takut mengecewakan Bapak sama Ibuk."

"Ya sudah, begini saja ... sementara kita terima saja perjodohan ini sambil mengulur waktu. Dan jika nanti kamu sudah berhasil meyakinkan Fredy, biar semua menjadi urusanku. Aku yang nanti akan membatalkan semuanya."

"Kamu ... serius, Mas?"

"Aku serius, Mi. Kita jalani dulu perjodohan ini. Jika memang nantinya Fredy adalah takdirmu, maka aku akan mengalah dan pergi dengan sukarela. Kita sama-sama belum tahu apa yang akan terjadi di masa depan. Jika ternyata dia bukan jodohmu, izinkan aku menjadi imam bagimu, dan mencintaimu Lillahi Ta'ala."


Ahai, Bang Fakhri bisa aja. Wkwkwkwk... Lumayan ye, kalo nggak jadi ama Fredy, bisa lo embat. Waseeeeek ....

Jangan lupa vote ya kk. Lope lope all.

 Lope lope all

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Elegi Dua HatiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang