Opera Berdarah (Story Series...

By EnfysRN

28.3K 6.5K 1.3K

Kecintaan enam remaja pada gelapnya kasus kriminal pada akhirnya menimbulkan sebuah petaka: kutukan kematian... More

Prolog
Opera Berdarah
Mereka Yang Pantas Dijemput Kematian
Bukankah Kau Seharusnya Tidak Bisa Melihatku?
Menyaksikan Kematian
Kutukan
Pola Kematian
Mereka Yang Terseret Kematian
Case 1 - Garam dan Merica
Mimpi
Pembunuhan Ruang Tertutup
Garam dan Merica
Case Closed - Pola Kematian Yang Sesungguhnya
Case 2 - Ikan Tanpa Kepala
Orang Yang Tidak Bisa Memancing
Sepuluh Detik
Senar dan Jendela
Perangkap Psikologis
Ikan Tanpa Kepala
Case Closed - Peringatan Sang Kematian
Pengumuman
Case 3 - Kuyang
Analisa Psikologis
Anak Orang Kaya
Petunjuk Pertama
Cilok
Rencana
Sarung Tangan
Penyakit
Delapan Puluh Tujuh
Gila Kehormatan
Naskah
Sedikit Lagi
Merah
Kamar Mayat
Kuyang
Lantai Empat
Queen Sekolah Vinhale
Imajinatif
Satu Lawan Satu
Chaos
Breaking News
Teman
Case Closed - Pertolongan Yang Mendadak
Survey
Case 4 - Dia yang Berdiri di Bawah Hujan
Mainkan Lagi
Kode
Emilia
Awal Mimpi Buruk Mereka Yang Selanjutnya
Bersiap
Rumah Nomor 335
Pipa
(Ekstra) Kaleidoskop 2021
Jari Tangan Manusia
(Ekstra) Giveaway Novel Six Elves
Gilda
Sebuah Alasan Untuk Bertahan
Salah Satu dari Sekian Banyak Kartu
Kura-kura Merah dan Jamur Api
Putri
Dara Ayundari - Bagian Pertama
Dara Ayundari - Bagian Kedua
(Ekstra) Giveaway Novel Six Elves
Telinga dan Tendangan
Tiga Ekor
Pulang
Mereka yang Berdiri di Bawah Hujan
Jalan Keluar

Persiapan

442 107 15
By EnfysRN

Meskipun Easterham hanya kota kecil terselip di perbatasan Sumatera Selatan, tetap saja hiruk-pikuknya tak kalah kencang dengan Jakarta atau kota besar lainnya. Obat utama penat arus kehidupan manusia? Tentu saja relaksasi ketenangan alam. Bukan melulu piknik atau jalan-jalan, sambil menikmati hobi pun tetap bisa—memancing misalnya.

Sebuah penginapan di ujung terluar Easterham menawarkan kenikmatan ini. Paket lengkap berupa penginapan super nyaman di tengah alunan alam, kolam ikan yang bebas dipancing sesuka hati, lengkap pula dengan restoran mewah khas bumbu rempah pedesaan. Menghabiskan akhir minggu di tempat ini jelas merupakan cita-cita mereka yang monoton menjalani hari, sebuah agenda yang diharapkan menyembuhkan hati agar siap menghadapi senin.

Bukan—tapi bukan itu tujuan kenapa Dolphy mengajak lima temannya datang. Memancing hanyalah tujuan palsu, sebuah alasan yang dipakai untuk menutupi fakta mengerikan: misteri opera berdarah akan berlanjut tepat di tempat mereka berada sekarang.

Jumat malam, kursi opera kembali muncul di atas panggung, menampakkan koordinat baru lokasi tempat pembunuhan akan terjadi: sebuah penginapan sekaligus restoran di seberang Panti Jompo Kembang Kamboja. Restoran ala pedesaan, asri letaknya di tepi sawah—akan menjadi saksi bisu kematian seseorang tepat di Sabtu malam.

Tentu Dolphy tidak menyimpan informasi ini untuk dirinya seorang saja, sang kapten tak lupa ia jadikan orang pertama kabar ini bermuara. Naufal menyambut agenda Dolphy dengan afirmasi cepat, tapi tujuan mereka jadi beda dengan semula: kalau kita tahu tempat kejadian perkara, kenapa tidak kita coba hentikan pembunuhannya? Jadilah mereka datang sejak siang, enam jam sebelum waktu yang diramalkan. Sementara Aji, Dj, Ilman dan Adyth bergembira dengan batang pancing dan kolam, Naufal dan Dolphy sibuk mengamati bangunan dengan dalih menikmati pemandangan. Sebisa mungkin, mereka ingin hanya mereka berdua saja yang tahu kalau pembunuhan akan terjadi sebentar lagi di tempat itu.


"Restoran di lantai satu, penginapan hanya ada di lantai dua, lalu—ini, kolam ikannya ada di sebelah selatan restoran. Timur berbatasan langsung dengan jalan raya, sementara utara dan barat hanya ada sawah luas yang baru selesai di bajak. Emmm—sebentar, untuk apa aku membuat ini tadi ya?" Dolphy mengetuk meja berulang kali dengan pena, kesal karena denah yang ia buat tidak membuahkan kesimpulan apa-apa. "Oh hampir saja aku lupa, ventilasi! Kita tidak boleh lupa dengan itu, Fal. Roni kan berhasil membunuh lewat celah ventilasi, siapa tahu pelaku yang sekarang juga punya cara yang sama, bukan? Ventilasi ya, hmmm ... di ruangan ini hanya ada satu, mepet dapur. Lalu—"

Naufal yang duduk tepat di depan, mencabut paksa pena itu dari genggaman Dolphy. "Aku paham resah yang kau rasakan, kawan, tapi kau tidak akan dapat apa-apa kalau gelisah macam itu," melirik sebentar ia ke arah jam tangan. "Sekarang pukul delapan, satu jam lagi dari waktu yang diperkirakan, betul?"

"Dan kita belum punya persiapan apapun!" tangan Dolphy mengangkat, diletakkan di atas kepala, sekuat tenaga kemudian menjenggut rambutnya yang kecoklatan. "Astaga—kalau begini terus, kita datang kemari hanya untuk melihat kematian lagi!"

Mendesis pelan si Naufal, memberikan peringatan pada temannya untuk mengecilkan volume suara. Meskipun kondisi saat itu restoran sedang sepi, tetap ada dua orang duduk di meja ujung berlawanan tempat dengan mereka berdua. Kalau sampai terdengar, tentu saja akan mengundang curiga.

"Tenanglah sedikit, Phy!"

"Tenang bagaimana? Seseorang akan terbunuh sebentar lagi!" Dolphy menundukkan kepala, dagunya menempel di meja. "Pusing kepalaku, Fal. Aku benar-benar tidak cocok untuk urusan beginian."

"Wajar saja kau pusing, kawan, makhluk itu kan menyebut hal ini sebagai kutukan. Kalau membawa kenikmatan, anugerah dong namanya!" Naufal sambut sikap Dolphy itu dengan tertawa.

Jelas saja tawa itu langsung bersambut tatapan tajam. "Bisa-bisanya ya kau santai dalam kondisi seperti ini."

Prok! Naufal menepuk tangannya sekali tepat di wajah Dolphy. "Aku santai karena paham betul gelisah tidak akan menghasilkan apapun—malah akan membawaku pada kesulitan dan kecerobohan," telunjuknya mengangkat ke arah dua orang pegawai penginapan di dekat meja kasir restoran. "Hanya ada satu cara untuk memastikan pembunuhannya tidak terjadi: semua orang yang ada di tempat ini harus ada dalam pengawasanmu. Sejak awal datang, aku sudah tanyakan pada petugas penginapan. Empat orang tamu atas nama Anto, Edi, Samuel, dan Daka—ditambah dua orang pegawai itu, jumlahnya tepat enam orang. Ah, sebuah keberuntungan, bukan? Jumlahnya sama persis dengan kita! Kalau sudah begitu, apalagi strategi yang paling tepat selain menjaga satu orang satu? Dua orang kan sedang memancing di luar, biarlah dijaga oleh mereka berempat. Kita cukup duduk di sini, memperhatikan empat orang ini—memastikan keempatnya tetap tenang sampai jam sembilan menjelang."

Dua pegawai yang bertugas sedang memainkan ponsel dengan tekun, sementara dua orang tamu laki-laki yang duduk di seberang tampak bahagia saling melempar gurauan. Setidaknya itu yang terjadi sampai seorang pria gemuk bertopi hijau masuk, duduk dia menghempaskan pantat ke kursi kayu dengan wajah penuh nestapa.

"Sudah puas? Dapat berapa kau, Anto?" tanya temannya.

"Nihil! Sudah di kuras mungkin kolamnya itu! Masa iya dari jam enam satu kali pun tidak ada yang menggigit kail?"

"Ikan pula kau salahkan, kemampuanmu itu mungkin yang memang tidak tajam."

"Kalau aku sendiri yang tidak dapat, okelah berarti aku yang tak punya bakat. Lah, ini Samuel pun sama!"

"Cari alasan saja kau ini. Kalau Alba masih hidup, sepuluh atau lima belas ekor mah pasti dapat."

Raut wajah pria yang dipanggil Anto itu makin muram. Tidak ada balasan, tidak lagi dia niat membela diri. Tertunduk saja menatap meja seolah ditarik bola matanya oleh tali tak terlihat.

"Makan malamnya kita pesan dari restoran saja kalau begitu," sahut seorang lagi yang tadi tidak ikut berdebat. "Kita pesan gurame bakar untuk empat orang, bagaimana?"

"Aku makan di kamar saja," jawab Anto sembari bangkit berdiri. "Tolong katakan pada pelayan agar meletakkan makan malamku di depan pintu."

"Dasar—dari dulu tidak pernah berubah," Daka mengiringi kepergian Anto dengan geleng-geleng kepala. "Hilang mood hanya karena gagal memancing, macam bocah saja tingkahnya itu."

"Sepertinya aku juga tidak ikut makan, Ka," Edi bangkit berdiri, tertatih berjalan menuju tepi jendela dibantu sebuah tongkat ketiak. "Mendung nih! Aku harus cepat pulang agar tidak kehujanan," Edi menjulurkan kaki kanannya yang berbalut perban tebal. "Lukanya masih terbuka, kalau basah bisa bonyok dan bernanah."

"Kau tidak bawa mobil?"

"Mobilku kan masuk bengkel seminggu lalu."

"Menginap sajalah kalau begitu!"

"Tidak bisa, Ka, istriku ulang tahun besok. Aku mau menyiapkan kejutan untuk dia," kata Edi dengan tersenyum. "Kau tahu kan wanita zaman sekarang—kalau hari spesialnya tidak dirayakan, bisa mengamuk mereka. Tidak bisa pamer di sosial media, bakal jadi bahan gunjingan teman-teman katanya."

"Istrimu itu orang yang merepotkan, ya?" Daka mengulurkan tangan, tanda pamit pada Edi yang sudah sempurna mengenakan jaket.

"Tetap saja hidupku lebih baik daripada kau yang masih bujang," balas Edi yang kembali tertawa. "Sudah ya, titip salam untuk Sam!"

Panjang umur—begitu pintu keluar restoran menutup, Samuel masuk dengan embernya yang kosong. Celingak-celinguk sebentar, lantas duduk di sebelah Daka tanpa bicara. Ia sepertinya sudah paham ke mana dua yang lain tanpa harus dijelaskan. Mulutnya baru terbuka setelah perutnya tak sengaja berbunyi kencang. "Kau sudah pesan makan malam, kan?"

Daka mengangguk. "Tapi cuma kita berdua saja yang makan—Edi pulang duluan."

"Anto?"

"Biasa, meringkuk di kamar sampai besok pagi—mungkin."

Samuel mengangkat bahu, sebuah ekspresi yang menunjukkan kalau dia tidak lagi heran. "Aku mau mandi dulu sebentar ya sebelum makan!"

"Ah, Sam!" teriak Daka tepat saat Samuel hendak naik tangga. "Bangunkan Anto saat kau turun—ajak dia makan! Siapa tahu moodnya tiba-tiba kembali, kan?"

"Hey, Fal! Dia naik tuh!" Dolphy menepuk pelan lengan Naufal sebagai teguran.

"Biarkan saja, toh kejadiannya masih satu jam lagi. Kalau sampai dekat jam sembilan mereka berdua belum juga turun, barulah kita naik dan periksa," jawab Naufal dengan mata terkunci ke arah Adyth dan Aji yang berlari sambil tertawa masuk ke dalam restoran, beriring Dj dan Ilman di belakang mereka—tengah mengumpat berteriak kasar, basah kuyup baju keduanya.

Adyth dan Aji bergegas masuk dan membungkuk di belakang Naufal, sementara Dj dan Ilman berhenti tepat di langkah pertama mereka masuk restoran karena langsung Dolphy hadang. "Wow, wow, kawan—berenang di mana kalian?! Tunggu di sini! Aku ambilkan handuk dan baju ganti dulu untuk kalian!"

"Aku tidak tahu kalau tempat ini juga menyediakan kolam renang, aku kira hanya ada kolam ikan!" lanjut Naufal setengah terbahak.

"Baiknya kau lemparkan dua orang dibelakangmu itu kemari, Fal, biar sekalian aku ajarkan mereka cara menyelam di kolam ikan!" terlihat betul nafsu amarah Dj saat dia berkata demikian.

"Oh, paham aku," Naufal menepuk meja. Tawa masih belum reda, terbaca betul orang ini hendak kembali menghina. "Kalian gagal memancing dengan kail, lalu memutuskan untuk menyelam dan menangkap langsung dengan tangan, begitukah?"

"Lucu sekali, Fal, lucu sekali," Ilman menyeka wajahnya yang masih basah. "Kemarilah! Sekalian kau yang kuajarkan menangkap ikan dengan tangan!"

Mendengar ancaman itu, Naufal malah makin terbahak. Ah, kalau saja sang kapten tahu apa yang akan terjadi satu jam kemudian—jangankan terbahak, menggurat senyum pun dia takkan kuat.



Continue Reading

You'll Also Like

999K 63.3K 64
[WAJIB FOLLOW TERLEBIH DAHULU SEBELUM MEMBACA] ~ADA INFO TAMBAHAN NIH. KALAU KALIAN NGERASA SEPANJANG CERITA ADA YANG BERANTAKAN, WAJAR AJA YA. KAREN...
S E L E C T E D By mongmong09

Mystery / Thriller

318K 16.8K 31
Tentang obsesi seorang pria misterius terhadap seorang gadis yang menolongnya. ---------------------------------------------------- Raina Karlova, se...
8.2K 1K 29
[FOLLOW DULU SEBELUM MEMBACA, ADA BEBERAPA PART YG DIPRIVATE] *** π‘©π’Šπ’Žπ’‚π’π’•π’‚π’“π’‚ 𝑺𝒆𝒄𝒓𝒆𝒕 π‘¨π’ˆπ’†π’π’• (𝑩𝑺𝑨) merupakan organisasi rahasia se...
99.2K 6.4K 64
Berawal dari hobi membaca novel tentang Gus. Khalisa Syairah Khaulah memutuskan untuk pindah ke pesantren. Jika kebanyakan dalam cerita yang dia baca...