Opera Berdarah (Story Series...

By EnfysRN

28.3K 6.5K 1.3K

Kecintaan enam remaja pada gelapnya kasus kriminal pada akhirnya menimbulkan sebuah petaka: kutukan kematian... More

Prolog
Opera Berdarah
Mereka Yang Pantas Dijemput Kematian
Bukankah Kau Seharusnya Tidak Bisa Melihatku?
Menyaksikan Kematian
Kutukan
Pola Kematian
Case 1 - Garam dan Merica
Mimpi
Pembunuhan Ruang Tertutup
Garam dan Merica
Case Closed - Pola Kematian Yang Sesungguhnya
Case 2 - Ikan Tanpa Kepala
Orang Yang Tidak Bisa Memancing
Persiapan
Sepuluh Detik
Senar dan Jendela
Perangkap Psikologis
Ikan Tanpa Kepala
Case Closed - Peringatan Sang Kematian
Pengumuman
Case 3 - Kuyang
Analisa Psikologis
Anak Orang Kaya
Petunjuk Pertama
Cilok
Rencana
Sarung Tangan
Penyakit
Delapan Puluh Tujuh
Gila Kehormatan
Naskah
Sedikit Lagi
Merah
Kamar Mayat
Kuyang
Lantai Empat
Queen Sekolah Vinhale
Imajinatif
Satu Lawan Satu
Chaos
Breaking News
Teman
Case Closed - Pertolongan Yang Mendadak
Survey
Case 4 - Dia yang Berdiri di Bawah Hujan
Mainkan Lagi
Kode
Emilia
Awal Mimpi Buruk Mereka Yang Selanjutnya
Bersiap
Rumah Nomor 335
Pipa
(Ekstra) Kaleidoskop 2021
Jari Tangan Manusia
(Ekstra) Giveaway Novel Six Elves
Gilda
Sebuah Alasan Untuk Bertahan
Salah Satu dari Sekian Banyak Kartu
Kura-kura Merah dan Jamur Api
Putri
Dara Ayundari - Bagian Pertama
Dara Ayundari - Bagian Kedua
(Ekstra) Giveaway Novel Six Elves
Telinga dan Tendangan
Tiga Ekor
Pulang
Mereka yang Berdiri di Bawah Hujan
Jalan Keluar

Mereka Yang Terseret Kematian

453 111 13
By EnfysRN

Saat mereka berlima sampai, gerbang sekolah sudah setengahnya ditutup satpam. Meliuk mereka masuk sambil tertawa bahagia karena lepas dari jerat terlambat. Hari-hari mereka sudah cukup keruh dengan kejadian gaib yang menimpa, ceramah dari guru BP tentu bukan sesuatu yang akan menyenangkan telinga.

Namun, bukannya buru-buru masuk kelas, mereka malah berbelok menuju kantin untuk sarapan. "Percuma kita belajar kalau perut lapar; tidak akan masuk, hanya membuat pusing kepala." Begitu alasan Adyth untuk membujuk teman-temannya kabur dari kelas yang pertama.

"Selamat pagi, Bu Thapen!" sapa Ilman pada ibu kantin paling terkenal di sekolah mereka.

Bu Thapen yang saat itu sedang mengelap meja, tersenyum simpul menahan tawa. "Sepanjang semester ini saja, aku sudah ditegur enam kali oleh kepala sekolah karena ketahuan menyajikan makan pada kalian di jam pelajaran. Tidak ada kapok-kapoknya ya kalian ini."

"Lah apa hak kepala sekolah melarang orang jualan?" komentar Dj setelah mencomot gorengan panas dari dalam lemari kaca. "Kami kemari kan untuk makan, bukan merokok atau main kartu. Masih bagus tidak minggat keluar sekolah."

"Nah, mulut macam itu yang kadang buat guru geram. Wajar saja kau murid teratas di daftar hitam."

"Dan perut macam kami inilah yang buat warung kau tetap buka," Dj balas menyindir sambil tertawa.

"Indomie goreng lima porsi ya, Bu! Punyaku pakai cabai rawit!" ujar Adyth sambil duduk di kursi paling pojok, singgasana mereka. Kursinya bukan bangku kayu macam yang lain, diganti oleh mereka dengan sofa bekas penuh tambalan. Lokasi ini dipilih Six Elves karena tertutup saat dilihat dari arah ruang guru, spot sempurna kalau mereka hendak nongkrong kabur dari kelas.

"Ada apa?" tanya Naufal saat sadar hidung Aji sedang mekar menguncup seperti mencium sesuatu.

"Bau busuk."

"Paling Ilman menginjak kotoran kucing."

"Enak saja!" Ilman bersungut, meskipun ujung-ujungnya diperiksa juga oleh dia alas sepatunya.

"Bukan, ini bukan bau kotoran. Ini seperti ... bangkai."

Tertegun sejenak teman-temannya Aji. "Mungkin hanya perasaan kau saja, Ji. Bekas sugesti kejadian semalam." Naufal coba menenangkan karena wajah Aji mulai terlihat gusar.

Menggeleng tegas dia membantah Naufal. Aji yakin betul bau yang dia cium bukan imajinasi, ini sungguhan! Makin lama malah makin buruk, tak tahan dia berdiam kalau terus begini. Bangkitlah Aji dari duduk, berjalan ia keluar kantin untuk mulai mengendus arah datangnya bau.

"Haa—lihatlah teman kita itu," Dj mengomentari Aji yang kini sedang tegak di depan pintu gedung olahraga. "Mengendus ke kanan dan kiri—makin lama tingkahnya makin mirip anjing pelacak milik polisi." Setelah masuk Aji ke dalam gedung, makin gatal mulut Dj mengeluarkan hinaan. "Berani taruhan yang dia cium itu paling bau busuk seragam tim futsal."

Mereka berempat lantas menunggu dengan tidak sabar—menunggu Aji keluar dengan wajah menekuk karena kesal yang dia temukan tidak sebesar ekspektasi awal. Akan tetapi, sampai Bu Thapen mengantarkan sarapan pagi pun Aji tak kunjung kembali.

"Kalian makanlah duluan—biar aku saja yang memanggil Aji."

Yang tegak bukan Ilman seorang, tiga yang lain juga ikut pergi menyusul. Khawatir—Aji biasanya langsung kembali begitu menemukan apa yang dia cari. Entah berbuah kekecewaan atau penemuan besar, Aji pasti langsung memberikan laporan—tidak pernah ia lama teliti seorang diri.

"Woy, Ji! Di mana kau? Sudah dapat apa yang kau cari?!" teriak Adyth saat mereka melihat lapangan utama kosong.

"Di sini kau rupanya!" Dj menemukan Aji tengah duduk di lantai menghadap ke arah ruang ganti pria. Wajahnya pucat—tampak betul menyiratkan kengerian berat atas apapun yang dia lihat. Mendekat empat temannya untuk mencari tahu apa gerangan yang membuat Aji begitu ketakutan. Ah—Aji ternyata tidak sendirian.

Seorang siswa berseragam lengkap, tegak sempurna di hadapan Aji, tanpa menapakkan kaki. Tubuhnya yang kurus di tahan dengan tambang tebal mengikat leher. Lidahnya terjulur keluar beriring liur dan bau busuk yang sekarang terasa betul masuk ke dalam hidung mereka berlima.

"Shit, Ji. Kau selalu saja menemukan hal yang tidak menyenangkan."

Yakin betul mereka kalau orang itu sudah tewas. Beralih Naufal mengamati hal lain: identitas. Seragam yang dikenakan betul milik sekolah mereka, dengan name tag bertuliskan Ari Sunandar.

"Adyth, Ilman, pergilah ke gerbang depan," Naufal memberi perintah tanpa sedikit pun mengalihkan pandangan pada temuan mereka pagi itu. "Beritahu satpam sekolah, kemudian teleponlah polisi oleh kalian. Bimbing mereka kemari tanpa menimbulkan kegaduhan. Duh—ini perkara berat, kawan. Kuharap tidak ada kaitannya dengan makhluk gaib yang kita lihat semalam."

✵✵✵

"Baru itu yang aku dapat, kawan. Mungkin karena kasusnya baru semalam, informasi yang terkuak memang baru sejengkal. Untuk kasus lain yang menurutku mencurigakan, baru akan aku dalami setelah sarapan. Akan aku kabari secepatnya—mungkin nanti sore."

"Terima kasih, Phy. Untuk urusan begini, kau memang selalu bisa diandalkan."

"Oh, aku tidak dipanggil jenius tanpa alasan, bukan?"

Naufal tertawa mendengar kalimat penutup penuh keangkuhan itu. Terang saja Dj yang melihat langsung berkomentar. "Tawamu itu—kau dapat jawaban apa dari Dolphy?"

"Dolphy menemukan hal penting. Kau ingat orang yang tewas di parkiran mobil semalam? Dia ayahnya Ari Sunandar ini." Sekali lagi Naufal menatap mayat tergantung di dekat mereka dengan penuh rasa iba. "Ya, kematian yang kita tengok semalam dan bunuh diri anaknya pagi ini kemungkinan punya kaitan. Bukan cuma itu—kematian ayahnya Khoirudin, dan semua yang tercatat tanggal kematiannya di bangku opera, dicurigai Dolphy sebagai susunan rapi sebuah skema kriminal luar biasa."

"—atau sebuah kutukan," Aji ikut nimbrung setelah menemukan tenaga untuk kembali bicara. "Ingat yang dikatakan makhluk gaib semalam? Kita akan terus-menerus melihat kematian. Mungkin ini baru awal, Fal—awal dari kutukan mengerikan itu."

Naufal hendak membantah Aji, tapi tak jadi dilakukan karena pintu gedung olahraga keburu dibuka. Adyth dan Ilman masuk bersama tim penyidik kepolisian, yang langsung sibuk dengan tugas masing-masing.

"Sudah kuduga," ujar salah satu polisi berseragam lengkap dengan lencana. Tubuh tegap itu, tahi lalat di pipi kanan itu—dia Anwar, Kasatreskrim Polresta Easterham. "Saat aku mendengar kabar kalau ada mayat di sekolah Vinhale, pikirku—ah, pasti ada kaitannya dengan enam sekawan. Benar saja, kalian memang remaja tukang cari gara-gara."

Menepi dulu mereka berlima ke arah pintu masuk agar tidak mengganggu pekerjaan penyidik. "Oh, kami anggap itu sebagai pujian, Pak; sebuah pujian yang diberikan atas kemampuan kami yang lebih hebat dari kalian dalam mengendus masalah."

Bukannya marah, kalimat Naufal malah membuat Anwar tertawa. Alasannya jelas karena Six Elves tidak lagi dianggap sebagai remaja SMA biasa. Berkali-kali enam sekawan membantu polisi dalam pemecahan kasus, termasuklah kasus besar pembunuhan adik-beradik Gormen di akhir tahun lalu.

"Jadi, kalian sudah dapat sesuatu untuk memudahkan kami bekerja?"

"Korban bernama Ari Sunandar, dilaporkan menghilang dari rumah tiga hari yang—"

"Oh, ayolah, Nak—aku mengharapkan sesuatu yang lebih menarik! Kau harusnya tahu kalau kami lebih tahu mengenai informasi itu!"

"Ah, kau benar—hal macam itu pasti kalian sudah tahu. Bagaimana kalau aku memberitahukan informasi rahasia yang kami seharusnya tidak tahu? Seperti kabar Pak Murianto, ayahnya teman kami yang tergantung ini—yang ditemukan tewas ditusuk di basement pusat perbelanjaan pada tengah malam lalu."

Hilang sudah seri kemenangan dari wajah Anwar, berganti tatapan serius nan tajam. "Kalian tahu sesuatu?"

"Belum—tapi kami pasti akan cari tahu," jawab Naufal. "Kami ada urusan pribadi dengan kasus yang sedang kalian tangani itu." Begitu Anwar hendak membuka mulut, Naufal langsung melanjutkan, "Tenang, tenang! Tentu kami tidak akan ikut campur terlalu dalam urusan kepolisian. Seperti biasa, kami hanya akan jadi bantuan tambahan bagi kalian semua."

"Oh, dan bantuan apa yang kalian tawarkan kali ini?"

"Analisa dari sudut pandangan yang berbeda," Naufal menyandarkan pinggang ke dinding gedung olahraga. Diliriknya Aji sedang mendikte setiap detail TKP kepada Ilman yang mencatat dengan cepat lewat ponsel. "Pada awalnya, kami menduga kematian Ari dan ayahnya ini saling berkaitan, Pak—dan praduga itu berubah menjadi kepastian begitu aku melihat wajahmu yang berubah tajam saat mendengar nama Murianto disebutkan. Kau pasti sudah dapat informasi—sudah dapat kesimpulan awal motif kematian ayahnya si Ari Sunandar ini."

"Begitu dapat informasi penemuan mayat Murianto, istrinya langsung kami panggil ke markas untuk dimintai keterangan. Detik ini kita bicara, wanita itu masih duduk menangis di ruang Satreskrim Polresta. Kau benar—kami menemukan informasi penting: Ari Sunandar yang kabur dari rumah tiga hari lalu, merupakan anak haram hasil perselingkuhan sang istri. Inilah alasan kenapa Ari dan ayahnya tidak pernah akur. Malah tak terhitung berapa kali keduanya saling pukul dan memupuk kebencian. Dengan motif kuat inilah kami mengira kalau Ari pelakunya. Melihat kondisi sekarang pun, tepat rasanya menyimpulkan kalau betul Ari membunuh dan segera setelah itu, ia datang kemari untuk menghabisi nyawanya sendiri."

"Kau terlalu cepat menyimpulkan, Pak," Adyth menyela. "Kalau memang Ari berniat bunuh diri setelah membunuh Pak Murianto, untuk apa repot-repot datang ke tempat ini? Tengah malam pula. Melompat saja dari atas jembatan, benturkan kepala ke bawah—selesai."

"Kalau betul Ari benci bapak tirinya, untuk apa dia bunuh diri? Bunuh diri itu hanya untuk orang yang tertekan, yang merasa penuh dosa. Kalau amarahnya puas dia lampiaskan, harusnya dia tertawa!" Dj menambahkan.

"Lagi pula, kalau benar Ari bunuh diri setelah melakukan pembunuhan semalam, tidak mungkin mayatnya akan mengeluarkan bau busuk," Aji ikut memberikan pendapat. "Ini bau mayat yang sudah tewas lebih dari dua puluh empat jam—ya, pastilah Ari sudah lebih dulu bunuh diri."

"Ngomong-ngomong, apa yang membuat Ari kabur dari rumah, Pak?"

Anwar tidak langsung menjawab, berpikir ulang dia seolah sedang memilah-milah kata. "Kalau dari informasi si ibu, Ari bukan kabur—ia diusir oleh Pak Murianto," ucap Anwar akhirnya. "Alasannya—perkelahian. Namun, kali ini bukan perkelahian biasa. Ibunya bilang Ari marah setelah tahu fakta kalau ayah kandungnya sudah tiada, tewas dibunuh orang suruhan Pak Murianto. Anak itu mengamuk, tapi kalah telak saat berkelahi dengan bapak tirinya. Setelah menang itulah Pak Murianto mengusir Ari agar tidak kembali menampakkan wajahnya ke rumah itu," Anwar menghela nafas, seolah berat hendak melanjutkan. "Ibumu masih tinggal di sini bukan karena aku masih cinta, tapi karena aku masih butuh pembantu! Kalau kau tidak berguna untuk aku, pergi kau dari rumah ini! Dasar anak haram! Begitu kira-kira kalimat yang dilontarkan Pak Murianto pada Ari sebelum ia pergi."

"Kalau benar demikian yang terjadi—fair to say: secara tidak langsung, Pak Murianto-lah yang membunuh Ari."



Continue Reading

You'll Also Like

194K 5.6K 50
[Budayakan VOTE Sebelum Membaca] The Billionaire Prison [Love is Difficult] Sungai Thames, London. 📌 "Bersihkan semua, jangan sampai ada yang tertin...
698K 61.7K 45
Diterbitkan oleh Penerbit LovRinz (Pemesanan di Shopee Penerbit.LovRinzOfficial) *** "Jangan percaya kepada siapa pun. Semua bisa membahayakan nyawam...
MONSTERS? By rachel

Mystery / Thriller

4.7K 563 30
" Aku membutuhkan darahmu sayang, untuk hidup ku " - monsters. *** Di malam hari, banyak manusia yang menghilang karena muncul suara seruling yang t...
9.1K 1.3K 44
DANMEI TERJEMAHAN