Tidur lelap Monica harus kembali terganggu oleh sinar yang kini sengaja di biarkan masuk karna Adele yang membuka tirai.
"Selamat pagi bu.. " Sapa Adele
Monica menyipitkan sedikit matanya lalu terkejut melihat Adele di sana. Ia langsung duduk di atas kasurnya.
"Saya siapa?" Tanya Monica
Adele menatap Monica bingung. Ia tak tau mengapa Monica bersikap seperti itu. Ia bisa masuk ke apartement atas izin Richard dan memang di perintahkan Richard untuk membangunkan Monica.
"Ibu Monica..."
Monica menghela napasnya lega. Ia melihat ke arah tubuhnya sendiri. Untuk sesaat Ia berfikir Ia kembali menjadi Risa. Ia pasti sudah mulai gila tidak bisa membedakan kenyataan dan mimpi karna harus mempelajari banyak hal yang berhubungan dengan pekerjaanya. Jadi pemimpin sungguh tak semudah yang Ia kira. Ia heran mengapa saat itu Risa bisa melakukannya.
"Pak Richard meminta saya untuk menyusun jadwal bu Monica.." Ucap Adele dan menyerahkan Ipad kepada Monica.
Monica melirik Adele curiga. "Saya bukan Risa kan?"
"Apa ibu mau saya panggil Risa?"
"Tidak..tidak jangan.." Ucap Monica dan mengambil Ipad dari Adele.
Monica memejamkan matanya melihat jadwalnya yang cukup padat.
"Tau begini aku jadi ibu rumah tangga yang baik saja.." Gerutu Monica. Ia pun turun dari kasurnya dan memberikan Ipadnya kepada Adele.
"Apa ada yang mau saya jelaskan bu?"
"Tidak usah.. Saya mau mandi." Ucap Monica dan berjalan menuju kamar mandi.
...
...
Entah sudah ke berapa kalinya Monica melenguh kesal. Ia meletakan kepalanya di atas tumpukan File yang sudah Ia pelajari berhari-hari namun tak juga Ia mengerti.
Monica menatap lurus pada tembok putih yang ada di ruangannya. Menjadi pemimpin sungguh tak se keren yang Ia pikirkan. Semua pekerjaan ini menjenuhkan. Tidak ada satu pun yang menyenangkan. Ia justru rindu menjadi pegawai biasa. Di suruh ini dan itu. Paling tidak ada aktivitas lain yang bisa Ia lakukan. Jika Ia salah Ia hanya perlu di marahi bukan terbebani seperti ini.
Monica membalikan wajahnya ke arah Dimas dan Adele.
"Apa kalian punya cita-cita?" Tanya Monica.
Adele dan Dimas yang sedang bekerja pun menghentikan pekerjaanya.
"Saya ingin jadi astronot dulu.." Ucap Dimas
"Lalu kenapa kerja di kantor?"
"Euhm..ke adaan. Tapi saya suka bekerja di sini.." Ucap Dimas
Monica mengangguk perlahan. Ia menatap pada Adele.
"Kalau kamu?" Tanya Monica
Adele terlihat berfikir. "Jadi guru.."
Monica langsung mengangkat kepalanya dengan semangat.
"Aku juga..." Ucap Monica antusias
"Wah.. Dunia mengajar pasti sangat menyenangkan. Menantang dan berbeda. Setiap tahun bertemu anak yang berbeda-beda. Karakter yang berbeda-beda. Pasti menyenangkan.." Ucap Monica dan merebahkan dirinya pada kursi super nyamannya.
Adele tak mengatakan apa-apa lagi hanya melanjutkan pekerjaanya. Monica pun tak lagi berniat mengganggu. Ia mengambil ponsel dan menghubungi Richard.
Sudah tiga kali Ia mencoba namun tidak juga ada jawaban. Monica meletakan kembali ponselnya.
"Dasar pembohong..katanya akan mengangkat telfon ku kapan pun.." Rajuk Monica.
Ia pun bangkit dari kursinya, berjalan menuji kaca jendela besar yang memamerkan kepadatan sang ibu Kota.
Monica mengusap kaca itu, wajahnya yang muram tiba-tiba saja tersenyum. Jika di pikir lagi hidupnya perlahan menjadi kehidupan Risa. Monica mengingat saat ia menjerit dan membangunkan Richard. Persis seperti pertama kali Ia menemukan Richard di atas tempat tidurnya. Keberadaan Adele dan Dimas. Kebiasaan Adele yang membangunkannya. Bahkan Ia yang harus merindukan Richard karna Richard yang berada di singapur.
Bukankah tidak ada yang berubah? Bahkan meski Ia memilih kembali menjadi Monica, Ia tak bisa menyelamatkan ibunya. Akan sangat sempurna jika di tengah kebahagian ini ada ibu yang bersamanya.
Lalu dimana Esme? Mengapa sama sekali tak pernah menujukan diri? Apakah sebenarnya Esme itu masih tetap ada dan Ia hanya tak bisa melihatnya.
"Apa begitu Esme?" Tanya Monica lirih.
Wanita cantik di sebelahnya. Tersenyum dan mengangguk. Ia ada di sana hanya Monica tak bisa melihatnya.
"Sejak awal kamu tau akan begini kan? Aku tak benar-benar memiliki pilihan"
Esme hanya menatap Monica entah dengan tatapan apa.
"Apa bisa bertemu dengan mu sekali lagi?"
Esme masih hanya terus menatap Monica. Jika Ia menemui Monica sekarang Ia akan benar-benar pergi untuk selamanya.
***
Sepotong es krim di sodorkan tepat di depan wajah Lusi. Lusi yang sedang berada di cafe dan membaca ipadnya tentu saja mengalihkan perhatian.
"Hai.." Sapa Willy
Lusi menatap Willy kesal dan kembali membaca Ipadnya.
"Es krim strawberry ini sangat enak loh.."
Lusi tak menyauti.
"Ayolah coba sedikit.." Ucap Willy
Lusi meletakan Ipadnya cukup kencang membuat beberapa pasang mata menatap ke arah mereka.
"Kamu sengaja membuat ku kesal kan!"
Willy menggelengkan kepalanya. "Aku ingin makan es krim dengan mu"
"Aku tidak ingin berurusan lagi dengan kamu dan keluarga mu" ucap Lusi dan meninggalkan tempat itu. Willy pun mengekori Lusi.
"Ayolah.. Makan ini.." Ucap Willy dan menyodorkan es krimnya namun Lusi menampiknya hingga terjatuh.
"Euhmm tunggu ya.. Aku belikan lagi.." Ucap Willy dan berlari meninggalkan Lusi.
Lusi melenguh kesal dan berjalan pergi. Namun tak lama kemudian Willy telah kembali di sampingnya menyodorkan es krim.
"Aku bilang kan tunggu.. Mall ini cukup lebar tau" ucap Willy
"Aku bilang aku tidak mau melihat mu.."
"Baik.. Kalau begitu ambil ini" ucap Willy, Ia mengambil tangan Lusi meletakan Es krim kemudian Ia pindah ke belakang Lusi.
"Kamu tidak bisa melihat ku.." Ucap Willy.
Dengan geram Lusi menghentikan langkahnya dan membalik tubuhnya.
"Apa setelah kaka mu yang memainkan ku. Kamu ingin mempermainkan ku juga?!"
Willy membalik tubuhnya memunggungi Lusi.
"Aku memang suka bermain.. Tapi kalau kamu tidak suka bermain aku tidak akan memaksa hanya saja tolong cicipi es krim itu" ucap Willy
Lusi menarik kerah baju Willy agar menghadapnya.
"Kamu tuh lagi apa sih?"
"Katanya ngga mau liat aku.. "
"Will!"
"Iya.." Jawab Willy dan tersenyum menggemaskan. Yang tentu saja membuat Lusi kesal Ia melemparkan es krim pada wajah Willy. Lalu berjalan meninggalkan Willy.
"Aku belikan yang baru.." Ucap Willy dan berlari pergi membeli es krim lagi.
Karna takut Willy akan kembali mengejar dan menemuinya. Lusi pun mempercepat langkahnya. Ia turun ke lantai bawah. Lalu menuju parkiran mobil.
Betapa kesalnya Lusi saat melihat Willy sudah berada di dekat mobilnya. Ia pun memutar arah.
"Eh tunggu.." Kejar Willy
Lusi terus berjalan hingga Willy berhasil menghadangnya.
"Kamu apa sih!"
"Memberimu es krim"
Lusi kembali melempar es krim willy. "Aku bilang ngga mau ya ngga mau..! Apa kau tuli! Apa menurut mu hidup ku lelucon..? Apa menurut mu ini lucu? Aku tidak mau es krim.. Aku tidak mau.. Aku membenci mu" ucap Lusi dan mulai terisak. Ia terus memukuli Willy dan tak sedikit pun willy menolak pukulan itu. Tangis Lusi pun pecah. Pukulan Lusi pun perlahan mereda.
"Apa memainkan hati seseorang adalah hobi mu? Apa sangat membahagiakan melihat ku seperti ini? Apa tidak puas kalau belum melihat ku menangis."
Lusi berjongkok di tempatnya. Ia menangis dengan tersedu-sedu. Mengeluarkan segala rasa sakit yang coba untuk Ia tahan. Willy ikut berjongkok. Ia mengusap kepala Lusi namun Lusi menampiknya.
"Kenapa kalian jahat pada ku?.. Apa Salah ku? "
Willy menghela napasnya membiarkan Lusi Yang menangis. Entah ini wanita ke berapa Yang harus Ia tenangkan sebab ulah kakaknya. Semoga Ia tak akan perlu melakukan lagi.
"Aku sering sekali melihat wanita menangis.. Tapi menurut ku kamu yang paling cantik.." Ucap Willy dengan polosnya di tengah isakan Lusi.
Lusi menatap tak percaya kepada pria di hadapannya.
Willy tersenyum lagi. "Tapi meskipun cantik..jangan menangis lagi ya.."
Isakan Lusi tiba-tiba saja berhenti. Ia terus menatap willy dengan mata sembabnya. Willy mengeluarkan sapu tangan dan memberikannya kepada Lusi. Lusi membuangnya begitu saja. Willy pun mengeluarkan sapu tangan yang lain. Lusi kembali membuangnya dan tentu saja Willy mengeluarkan yang lain.
Lusi menggigit bawahnya menahan kesal sekaligus takjub pada pria di hadapannya. Ia tak terlalu mengenal pria itu. Selama ia bersama Richard bahkan Willy nampak tak suka dan cenderung menjauhinya.
"Ini sapu tangan terakhir ku.. Apa kamu mau membuangnya juga? Kalau Iya aku akan minta orang ku untuk membeli semua sapu tangan yang ada di mall ini."
Lusi tak mengatakan apapun. Ia sungguh kehabisan kata menghadapi Willy.
Willy menyodorkan sapu tanganya kepada Lusi. Lusi belum melakukan apapun namun tiba-tiba saja Willy melenguh kesakitan.
"Aah..ahh.." Ucap Willy dan langsung duduk di tempatnya lalu meluruskan kakinya.
"Kaki ku kram..ahh.. Tidak keren sekali" ucap Willy
Namun hal itu justru membuat Lusi nyaris saja tersenyum.
"Ahh.. Sakit sekali.." Ucap Willy
Lusi menggelengkan kepalanya. Ia pun berdiri dan berjalan kembali ke arah mobilnya.
"Eh.. Mau kemana.. Tunggu aku.. Jangan curang.." Ucap Willy dan mencoba untuk berdiri namun kesulitan.
Dengan tertatih Willy tetap menyusuli Lusi.
"Kau benar-benar tega.. Biasanya wanita lain akan menolong ku kalau sudah kesakitan.."
"Kaka mu lebih menyakiti ku"
Willy mengangguk. "Baiklah.. Apa artinya kita impas..?"
Lusi menghentikan langkahnya. Ia menoleh kepada Willy.
"Kamu bandingkan rasa sakit hati ku dengan kram kaki mu itu?"
Willy mengangguk.. "Euhm.. Bukankah sama saja. Di awal akan sangat sakit. Kamu akan merasa seperti tidak sanggup berjalan tapi akhirnya kamu akan tetap bisa berjalan. Bahkan bisa berlari,semua akan baik-baik saja. Itu hanya kekhawatiran sesaat mu saja. Everything gonna be oke.. " ucap Willy dengan tenang. Lusi terdiam mendengar ucapan Willy.
Willy mengambil tangan Lusi lalu meletakan sapu tangan di sana. "Ini bukan milik ku. Aku baru beli dan sengaja aku beli untuk mu..lihat masih ada label harganya. Ini tidak mahal tapi ini sebagai ucapan maaf ku karna kaka ku melukai mu." Ucap Willy.
Lalu Ia mengeluarkan satu marshmallow berbentuk hati kepada Lusi.
"Dan ini sebagai ucapan terimakasih ku. Aku tau kamu bisa melakukan hal yang sangat buruk kepada kakak ku tapi kamu tidak melakukannya. Kamu sengaja menarik saham mu dan membuat sedikit masalah pada perusahaan keluarga ku. Itu hanya karna kamu tidak ingin kakak ku terlalu merasa bersalah."
Lusi terkejut mendengar semua ucapan Willy. Ia bahkan menatap Willy tanpa berkedip.
"Terimakasih lusi.. Kamu benar-benar wanita Yang baik. Kamu pasti akan bertemu pria Yang jauh lebih baik." Ucap Willy
"Aku pergi dulu ya.. Lain kali kalau kamu sudah tidak marah dengan ku akan aku belikan kamu es krim.." Ucap Willy dan kemudian melambaikan tangannya. Berjalan mundur meninggalkan Lusi.
"Ahh..ya.. Aku benar-benar tidak bohong. Kamu wanita paling cantik yang pernah aku lihat ketika menangis. Tapi tetap jangan menangis lagi ya.." Ucap Willy yang kini benar-benar meninggalkan Lusi.
Lusi terdiam di tempatnya Ia menunduk menatap sapu tangan dan juga marshmallow yang di berikan Willy.
Lusi membuka sapu tangan berwarna pink itu dan menemukan sebuah tulisan singkat.
Dear : Lusi
Jangan khawatir,besok matahari akan bersinar lagi.
Willy
Perlahan bibir Lusi membentuk senyuman tipis. Hatinya masih terasa sakit. Ia mungkin masih marah pada Richard. Namun Ia tak bisa membohongi dirinya sendiri kalau apa yang di lakukan willy sedikit menghibur hatinya.
***
Kaca Mobil Willy di ketuk. Willy menurunkannya lalu tersenyum melihat Magisa yang sudah datang. Ia membuka pintu mobil dari dalam membiarkan Magisa masuk.
"Masuklah.." Ucap Willy
Magisa pun duduk di samping Willy dan memasang safe beltnya.
"Kaka ngga harus ngejemput aku" ucap Magisa
"Its oke.. Lagi juga aku tidak ingin di hukum oleh kaka ipar mu itu." Ucap Willy yang sedang mengoleskan sesuatu pada pundaknya.
"Terus sampai kapan kaka mau antar jemput aku gini?"
Willy mengedikan bahunya. "Sampai ke adaan mu membaik kalau Kata Ka Richard"
"Aku baikk.."
"Menurut ku sih belum.. " jawab Willy
Magisa hanya menghela napasnya. Kemudian Ia kembali menatap Willy.
"Itu kenapa?"
"Sedikit sakit.. Cukup kencang juga pukulan Lusi" ucap Willy
Magisa menatap kagum pada Willy. "Apa kaka selalu begitu? Menemui semua wanita yang di putuskan Ka Richard?"
Willy menganggukan kepalanya.
"Kenapa?"
"Wanita itu kalau marah menyeramkan.. Kalau tidak segera aku tangani. Pasti akan membuat masalah yang lebih besar.." Ucap Willy
"Jadi itu yang kaka pikirkan ke Ka Lusi?"
Willy menggeleng. "Sebenarnya tidak juga. Kadang aku juga merasa kasihan dengan mereka. Kenapa mereka harus bertemu kakak ku dan patah hati" ucap Willy
Magisa menganggukan kepalanya. Ia tak bertanya lagi.
"Kamu mau makan dimana?" Tanya Willy yang sudah selesai dengan kegiatannya.
Magisa terlihat berfikir. "Aku tau tempat makan yang enak.. Ajak ka Denis ya "
Willy tersenyum dan mengangguk.
"Kenapa senyum kaya gitu..?"
"Tidak.." Jawab Willy
"Kenapa ngga?"
Willy menoleh ke arah Magisa, tangannya Ia letakan di belakang kursi Magisa.
"Menurut mu kenapa coba?"
"Mana aku tau.."
"Yakin?" Goda Willy
"Aku tidak suka dengan ka Denis.. Ya aku cuma mau ngajak aja. Lagian ka Denis udah sering bantuin aku"
Willy mengangguk. "Aku juga tidak mengatakan begitu.. " ucap Willy dan kemudian memundurkan mobilnya.
"Isshh.." Rajuk Magisa dan melipat tangannya. Willy tak meledek lagi. Ia hanua fokus mengendarai mobilnya.
"Eh by the way.. Emang cowok harus gitu ya kalau mau mundurin mobil?"
Willy mengangguk. "Biar lebih mempesona.." Saut Willy
Dan Magisa hanya menggelengkan kepalanya lalu memainkan ponselnya.
***
Selamat berbuka puasa ... 😌😌😌
#temanberbuka hadir...
Q*A yuk..
Buat kalian yang mau tanya apapun bisa letakan pertanyaanya di sini yaa 😇