Opera Berdarah (Story Series...

By EnfysRN

28.3K 6.5K 1.3K

Kecintaan enam remaja pada gelapnya kasus kriminal pada akhirnya menimbulkan sebuah petaka: kutukan kematian... More

Prolog
Opera Berdarah
Bukankah Kau Seharusnya Tidak Bisa Melihatku?
Menyaksikan Kematian
Kutukan
Pola Kematian
Mereka Yang Terseret Kematian
Case 1 - Garam dan Merica
Mimpi
Pembunuhan Ruang Tertutup
Garam dan Merica
Case Closed - Pola Kematian Yang Sesungguhnya
Case 2 - Ikan Tanpa Kepala
Orang Yang Tidak Bisa Memancing
Persiapan
Sepuluh Detik
Senar dan Jendela
Perangkap Psikologis
Ikan Tanpa Kepala
Case Closed - Peringatan Sang Kematian
Pengumuman
Case 3 - Kuyang
Analisa Psikologis
Anak Orang Kaya
Petunjuk Pertama
Cilok
Rencana
Sarung Tangan
Penyakit
Delapan Puluh Tujuh
Gila Kehormatan
Naskah
Sedikit Lagi
Merah
Kamar Mayat
Kuyang
Lantai Empat
Queen Sekolah Vinhale
Imajinatif
Satu Lawan Satu
Chaos
Breaking News
Teman
Case Closed - Pertolongan Yang Mendadak
Survey
Case 4 - Dia yang Berdiri di Bawah Hujan
Mainkan Lagi
Kode
Emilia
Awal Mimpi Buruk Mereka Yang Selanjutnya
Bersiap
Rumah Nomor 335
Pipa
(Ekstra) Kaleidoskop 2021
Jari Tangan Manusia
(Ekstra) Giveaway Novel Six Elves
Gilda
Sebuah Alasan Untuk Bertahan
Salah Satu dari Sekian Banyak Kartu
Kura-kura Merah dan Jamur Api
Putri
Dara Ayundari - Bagian Pertama
Dara Ayundari - Bagian Kedua
(Ekstra) Giveaway Novel Six Elves
Telinga dan Tendangan
Tiga Ekor
Pulang
Mereka yang Berdiri di Bawah Hujan
Jalan Keluar

Mereka Yang Pantas Dijemput Kematian

645 134 10
By EnfysRN

"Sedang apa kau?"

Pertanyaan Naufal disambut lama bunyi ketukan keyboard. Tiba waktunya serius, Dolphy memang tidak bisa kau ganggu sampai selesai betul semua perintah di dalam otaknya.

"Memanfaatkan jam kosong," Ia berbalik, meletakkan laptopnya di meja sang kapten. "Jujur, aku masih penasaran dengan tempat yang kita datangi kemarin. Ini semua data yang berhasil aku kumpulkan—sebagian besar dari perpustakaan daerah. Nenek Rui benar, dulu gedung opera itu bagai menara Eiffelnya Easterham. Tutup tahun 1995, satu tahun setelah beroperasinya bioskop pertama di Easterham. Alasannya ya sama seperti yang Nenek Rui bilang: kalah saing. Aku juga menemukan foto-foto pertunjukan terakhir mereka, ada juga daftar penonton lengkap dengan nomor kursi tempat mereka duduk. Sepertinya memang tempat itu benar-benar punya sejarah besar."

"Syamsul Fari, Ahmad Fandani, Pandawa Husin, Bambang Eka—oh oke, sepertinya yang nonton semuanya orang kita," ujar Dj setelah membaca daftar penonton pertunjukan terakhir di laptop Dolphy. "Kupikir karena opera identik dengan Eropa, setidaknya ada satu-dua nama bule nyangkut."

"Keren juga ya kalau pertunjukan opera itu masih ada sampai sekarang! Kota kita bisa jadi destinasi wisata nih," kata Ilman sambil terbahak.

Sedang asyik-asyiknya halu, tiga orang kelas dua masuk ke dalam kelas mereka membawa kardus air mineral. Semua penghuni kelas 3.1 langsung duduk di kursi masing-masing, Naufal bahkan sampai membangunkan Adyth. Kalau sudah ada anak OSIS masuk kelas bawa-bawa kardus, jelas kalau mereka sedang akan minta sumbangan duka cita. Meskipun tak menyumbang banyak, setidaknya kau harus sedikit menunjukkan bela sungkawa dengan memberikan perhatian, bukan?

"Selamat pagi, kakak-kakak. Kami di sini perwakilan dari OSIS ingin mengumpulkan sumbangan duka cita atas meninggalnya Haji Ahmad Fandani, orang tua dari Khoirudin kelas 2.2. Maka dari itu apabila ...."

Lanjutan kalimat adik kelasnya tidak lagi di dengar Naufal. Ia kembali membuka laptop Dolphy, scroll sana-sini, matanya bergulir ke kanan dan kiri.

"Fandani ... Fandani ... Fan—oh, yang benar saja!" 

"Kenapa, Fal?" tanya Adyth dengan mata yang masih setengah membuka.

Menggeleng dia, lantas tersenyum lebar seperti penggali harta yang baru menemukan gunung emas. Kita menemukan hal menarik, jawabnya penuh arti. Oh, sekiranya enam sekawan tahu apa yang akan terjadi kemudian, sungguh lebih baik bagi mereka untuk tetap diam dan berperilaku normal saja. 

✵✵✵

Sepulang sekolah, barulah dijelaskan oleh Naufal kecurigaan yang dia dapat. Ya, sang kapten berpikir kalau wafatnya Pak Haji ini ada hubungannya dengan angka aneh di panggung opera bekas yang kemarin mereka datangi. Meski tidak begitu mengerti, lima yang lain menurut saja. Benar atau salah prasangka itu, setidaknya lebih baik daripada sekedar pulang menonton TV atau tidur sampai tenggelam matahari.

Akan tetapi, bukan gedung opera yang jadi tujuan awal. Terlebih dahulu mereka ingin dapat informasi dari keluarga korban. Satu atau dua hal saja, yang bisa jadi awal pembuka rasa penasaran mereka.

"Betul yang ini rumahnya?"

"Seratus persen yakin."

"Kok sepi, ya?" gumam Dolphy yang baru selesai memarkir mobil.

"Itulah kenapa aku tadi tanya apa betul yang ini rumahnya. Mana ada rumah orang meninggal ditutup rapat seperti itu."

"Haji pula," tambah Adyth saat mereka sudah sampai teras. "Paling tidak kan harusnya ada pengajian atau apa gitu."

Rumah itu memang terlihat—normal. Bagian depan rumah berhias tanaman mungil, tumbuh cantik di dalam pot warna-warni. Ada pula beberapa kursi rotan tempat penghuni bisa bersantai menikmati teh hangat di sore hari—yang sekarang dipakai oleh Dj dan Adyth karena malas mereka berdiri. Namun justru kondisi normal begini bisa berubah arti menjadi mencurigakan kalau situasinya tidak mengenakkan. Benar, pilihan Naufal untuk datang ke tempat itu merupakan keputusan yang benar; mereka pasti punya informasi penting yang bisa digali.

Sebelum mengetuk pintu, menoleh dulu si Naufal ini kepada teman-temannya. "Kita datang kemari untuk mencari informasi. Ingat! Tidak akan dapat apa-apa kita kalau bicara kalian hanya menghina."

"Tanpa masuk pun kau pasti kepikiran satu," Dolphy ikut berkomentar. "Seburuk-buruknya masyarakat kota ini, kalau ada yang meninggal pasti dilayat, rumahnya pasti ramai. Ya, kecuali orang yang meninggal itu punya penyakit menular, teroris, atau kriminal jahat yang berdosa pada—"

Penjelasaan yang sebetulnya bernuansa hinaan milik Dolphy itu terpotong oleh suara pintu depan yang berdecit membuka. Adik kelas mereka berdiri menatap dengan bingung. 

"Maaf, ada apa ya?"

"Kau Khoirudin?"

Khoirudin diam membatu. Bergantian ia menatap Six Elves satu persatu, berusaha mengingat-ingat dosa apa yang pernah dia lakukan sampai-sampai geng paling ditakuti satu sekolah datang mencarinya sampai depan pintu.

Naufal tersenyum ramah. "Mungkin kau tidak kenal dengan kami berenam ya? Kami kakak kelasmu dari kelas 3.1."

"Tentu saja aku kenal kalian, semua orang pasti kenal," jawab Khoirudin cepat. "Ada yang bisa aku bantu?"

Sembari mengulurkan secarik kartu mengkilat, Dolphy berkata, "Ayahmu terdaftar sebagai nasabah polis asuransi jiwa di perusahaan ayahku. Untuk pencairan dana, harus ada yang datang dan mengajukan beberapa pertanyaan sebagai validasi. Jadi ya—karena kau adik kelas aku, biar proses validasinya gampang dan cepat cair, aku sendiri yang datang ke sini. Anggaplah sebagai bentuk duka cita dari kami."

"Mari masuk kalau begitu."

Dolphy refleks menoleh pada Naufal. Sang kapten menggeleng sekali sebagai kode. 

"Ah, tidak usah. Yang ditanyakan hanya sedikit kok, formalitas doang!" kata Dolphy. Ia mengeluarkan HP, scroll-scroll sedikit lalu melanjutkan, "Nama ayahmu Ahmad Fandani bin Kurmadi, betul?"

"Betul," jawab Khoirudin.

"Lahir di Banyuwangi, 8 Mei 1958."

"Betul."

"Memiliki istri bernama Sulistiana, umur 55 tahun, dan seorang anak bernama Khoirudin, umur 16 tahun."

"Bekerja sebagai manajer di perusahaan finansial?"

"Betul."

"Meninggal 24 Januari 2013 karena serangan jantung."

Sementara Dolphy mengajukan pertanyaan berulang kali, Naufal saat itu mengamati dengan serius setiap bahasa tubuh dan perubahan suara dari Khoirudin. Tak ada yang aneh sampai Dolphy kemudian menyebutkan penyebab kematian sang ayah. Khoirudin tampak menelan ludah sebelum dengan berat menjawab betul.

"Apa ayahmu seorang diri saat jantungnya kumat?" tiba-tiba Naufal bertanya.

"Aku tidak tahu. Beliau sedang di kantor saat ditemukan meninggal."

"Kapan kau terakhir ketemu ayahmu?" tanya Naufal lagi.

Khoirudin menatap heran ke arah Naufal. "Apa pertanyaan ini ada kaitannya dengan asuransi?"

"Jawab saja pertanyaannya, kawan. Kau tidak akan senang dengan apa yang akan aku lakukan padamu kalau kau tidak menjawab," gertak Dj.

Jelas Khoirudin langsung ciut. Ia melipat bibir, lalu dengan gemetar menjawab, "Ke-kemarin pagi."

"Saat ayahmu hendak berangkat kerja?"

"Iya, benar. Saat ayahku hendak berangkat kerja."

 "Apa warna pakaian beliau saat itu?"

"Kenapa kau tiba-tiba menanyakan pakaian?"

"Oh, aku hanya ingin memastikan kebohongan yang kau utarakan barusan. Kau tidak melihatnya kemarin pagi—aku bahkan ragu kau mengetahui kabarnya akhir-akhir ini. Sakit jantung? Meninggal di kantor? Astaga, kawan—kau harus lebih lihai lagi dalam berbohong."

Mendengar kalimat itu, dada Khoirudin berasa disentak keras. Ibarat catur, ia seperti disekakmat oleh Naufal. Tidak lagi bisa menghindar, hanya bisa menurut alur dari si pemenang permainan.

"Jam berapa ayahmu dimakamkan?" Naufal kembali bertanya.

Khoirudin mundur satu langkah, tangannya mengepal. Sebuah tanda psikologis yang jelas menunjukkan kalau ia tidak akan menjawab.

"Kau bahkan tidak tahu kapan ayahmu dimakamkan? Anak macam apa kau ini?" ujar Naufal. "Aku prihatin dengan ayahmu. Ia tewas seperti lalat—tidak ada yang peduli, tak pula ada yang merasa kehilangan."

"Ya, dia memang lalat. Lalat penghisap kotoran yang pantas mati di atas tumpukan bangkai!"

"Wow ... wow ... kawan, hati-hati dengan mulutmu. Yang kau hina itu ayahmu, bukan bencong taman lawang." ejek Dj. 

"Aku tidak pernah lagi memanggil dia ayah sejak tujuh tahun lalu," jawab Khoirudin. "Saat pekerjaannya membaik, ia malah pergi berbahagia dengan wanita lain sementara aku dan ibuku harus mengais beras pada tetangga untuk makan. Apa dia peduli? Tidak, satu kali pun tak pernah ia datang kemari. Ibuku sekarang terbujur kaku di ranjang karena sakit, apa pernah ia tengok? Dan kemarin saat polisi datang memberi kabar kalau ayahku meninggal dibunuh oleh seseorang, aku sama sekali tidak kaget atau bersedih. Bagiku, ayahku sudah meninggal tujuh tahun lalu."

 "Ayahmu dibunuh?"

"Ya, baju yang sedang di pegang temanmu di sana itu baju milik ayahku saat ia terbunuh."

Aji yang saat itu memang sedang memegang selembar baju kaos yang diambilnya dari sela-sela kursi, mendadak melemparkan benda itu asal. Baju itu lalu melayang menutupi kepala Ilman yang langsung panik bukan kepalang.

"Hiiii ... hiii ... kampret kau!" pekik Ilman melempar baju itu ke lantai sementara Aji tertawa mengakak.

"Kau pun tidak tahu di mana ayahmu dimakamkan?"

"Bukan tidak tahu, tapi tidak mau tahu. Dari yang kudengar, bisnisnya itu kotor. Karena itulah sepertinya ia punya banyak musuh. Ya wajar sih—dengan istri dan anaknya pun ia jahat, apalagi sikapnya terhadap orang lain. Manusia semacam dia adalah jenis manusia yang memang sudah sepantasnya dijemput oleh kematian."



Continue Reading

You'll Also Like

999K 63.3K 64
[WAJIB FOLLOW TERLEBIH DAHULU SEBELUM MEMBACA] ~ADA INFO TAMBAHAN NIH. KALAU KALIAN NGERASA SEPANJANG CERITA ADA YANG BERANTAKAN, WAJAR AJA YA. KAREN...
S E L E C T E D By mongmong09

Mystery / Thriller

318K 16.8K 31
Tentang obsesi seorang pria misterius terhadap seorang gadis yang menolongnya. ---------------------------------------------------- Raina Karlova, se...
9K 1.3K 44
DANMEI TERJEMAHAN
1.6M 80.8K 36
SELESAI (SUDAH TERBIT+part masih lengkap) "Nek saumpomo awakdewe mati, awakdewe bakal mati pas negakke keadilan. Mergo sejatine hukum kui kudu sing r...