Hola, guys...
Aku kembali lagi bersama SnT. Masih pada tungguin SnT update, kan?
Btw, aku mau challenge diri aku sendiri buat update 1x seminggu.
Gimana kalau gagal???
Kalian maunya apa? Menurut kalian bagaimana? Pada setuju gak kalau misalnya SnT update 1x seminggu???
Comment di bawah ya, guys...
Kalau ada 50 orang yang setuju, aku akan mulai challenge-nya. Jangan lupa juga untuk klik bintang kecilnya yang ada di pojok bawah bagian kiri, ya.
Happy Reading...
______________________________________
Rafael menuang anggur ke dalam gelas, lalu meneguknya lagi. Hanya menatap wanita itu dari layar ponsel saja sudah cukup memuaskan kerinduan pria itu. Rafael tersenyum saat melihat Vic memasak sembari bersenandung. Wanita itu tampak menikmati hidupnya, tak seperti ketika dia tinggal didekat Rafael.
Rafael menggeram marah saat mengingat jika Vic tidak nyaman berada didekatnya, tetapi wanitanya dengan mudah dekat dengan seorang pria asing. Tanpa sadar tangannya terangkat dan gelas tak bersalah itu terlempar hingga hancur berkeping-keping.
Kedua mata Rafael memerah. Dia bahkan menggertakkan giginya, berusaha menahan amarahnya yang meluap-luap, atau lebih tepatnya rasa cemburu yang berlebihan.
"Aku akan menjauhkanmu dari pria itu, Vic. Tidak ada seorang pun yang boleh berdekatan atau menyentuhmu. Tidak ada seorang pun yang berhak mengusik milikku," gumamnya penuh penekanan.
👔👔👔
Vic menatap pintu flat Pierre dengan perasaan gelisah. Tidak! Dia bukan gelisah karena Pierre, melainkan karena dirinya sendiri. Sejak semalam Vic tidak dapat tidur dengan tenang. Dia selalu memikirkan cara untuk mendapatkan pekerjaan secepatnya, karena Vic tahu bahwa ini tidaklah mudah. Sampai detik ini dia masih tidak tahu siapa yang telah memberikan protokol kepada orang-orang untuk melarangnya bekerja.
Vic menarik napas panjang, lalu menghembuskannya perlahan. Dia tahu jika seharusnya dia tidak merepotkan Pierre, tetapi dia tidak punya pilihan lain lagi. Vic menekan bel flat Pierre sebanyak tiga kali dan menunggu pria itu membuka pintu.
Pintu terbuka setengah, namun hal itu sudah mampu membuat Vic gugup setengah mati. Bagaimana tidak? Pierre kini tengah berdiri dihadapannya dengan keadaan setengah telanjang. Pria itu sepertinya baru selesai mandi. Terlihat dari handuk putih yang melilit pinggulnya, memperlihatkan lekuk tubuh dan otot pria itu dan jangan lupakan tetesan-tetesan air yang membasahi bahu bidangnya.
Itu semua membuat Vic meneguk salivanya susah payah. Vic menundukkan kepalanya, berusaha menghentikan matanya yang ingin terus menatapi pemandangan indah didepan.
"Victoria?"
Vic tersentak dan refleks mendongak. Kedua matanya bertemu dengan manik hijau pria itu.
"Vic?"
"Ah, iya!"
"Apa yang sedang kamu pikirkan?" tanya Pierre bingung.
"Aku mau minta bantuan kamu," ucap Vic pelan, tetapi masih dapat didengar oleh Pierre.
"Masuklah," ucap Pierre sambil membuka pintu lebih lebar. "Tidak baik berbicara di luar dengan keadaanku seperti ini."
Vic merutuk dalam hati. Berduaan dengan Pierre dalam satu ruangan sungguh tidak baik untuk jantungnya, tetapi dia tidak mungkin melarikan diri lagi. Vic melangkahkan kakinya dengan berat hati. Dia memekik kecil saat mendengar suara pintu terkunci.
"Ada apa?" tanya Pierre heran saat melihat Vic tiba-tiba berhenti.
Vic menggelengkan kepalanya. "Tidak apa-apa."
Pierre hanya menganggukkan kepalanya. Mereka kemudian berjalan menuju ruang tamu.
"Kamu duduk di sini, ya. Aku mau pakai baju dulu," ucap Pierre lalu masuk ke kamarnya.
Vic menghembuskan napas saat pintu kamar Pierre tertutup. Dia menatap kuku-kuku tangannya dengan perasaan gelisah. Dia tidak pernah merasa seperti ini sebelumnya setiap bertemu dengan Pierre, namun kini perasaan tidak tenang selalu menghinggapinya. Vic pikir mungkin ini efek ketakutan pada seorang pria yang didapatnya dari Rafael.
Vic menggelengkan kepalanya, berusaha mengusir semua ingatan tentang pria itu. Dia tidak tahu mengapa efek pria itu sangat besar terhadapnya, membuat Vic tidak bisa menjadi dirinya sendiri. Atau memang seperti inilah dia yang sesungguhnya? Vic tidak tahu.
Tak lama Pierre keluar dari kamar. Dia sudah memakai t-shirt berwarna hitam dan celana selutut.
"Mau minum apa?" tanya Pierre setelah berdiri di hadapan Vic.
"Memangnya di sini ada apa saja?" balas Vic dengan pertanyaan juga.
Pierre terkekeh geli. "Soft drink?"
"Air mineral saja, itu lebih sehat."
Pierre mendengus sebal mendengar jawaban Vic, tetapi pria itu tetap berjalan menuju pantry. "Jadi, apa yang perlu aku bantu?" tanya Pierre setelah kembali dengan segelas air mineral dan sekaleng cola di kedua tangannya.
"Aku ingin kembali ke restoran," ucap Vic sembari meraih gelas dari tangan Pierre. Dia meneguk minumannya hingga setengah, lalu meletakkan gelas itu di atas meja yang memang tersedia di ruang tamu.
Pierre duduk di sebelah Vic. "Sepertinya sulit. Kamu tahu sendiri bagaimana sifat Mrs. Lincon dan sepertinya dia senang saat kamu tidak ada," ujar Pierre sambil meneguk cola-nya.
Vic menghela napas. "Lalu, aku harus bagaimana? Sekarang aku pengangguran dan aku perlu uang untuk bertahan hidup."
"Aku akan membantumu mencari pekerjaan, jadi kamu tenang saja."
Vic tersenyum pada Pierre. "Merci... Kamu banyak membantuku dari awal pertemuan kita."
"No problem. Inilah gunanya teman, bukan?"
Vic mengangguk setuju. "Rasanya jadi merindukan Elaine. Sudah lama kami tidak bertemu dan saling berkomunikasi."
Pierre mengerutkan kening bingung. "Dia tidak menghubungimu?"
Vic menggeleng. "Mungkin dia sibuk."
"Apa jangan-jangan dia menjauhi kamu, Vic?"
Vic menggeleng lagi. "Aku tidak tahu. Tapi, bagaimana kabarnya?"
"She's fine," jawab Pierre singkat.
"Syukurlah kalau kabarnya baik. Oh, ya! Mengapa kamu tidak ke restoran? Ini sudah telat sekali."
Pierre mengedikkan bahu. "Aku izin tadi karena ada urusan."
"Urusan apa?" tanya Vic penasaran.
"Rahasia," jawab Pierre langsung. "Oh, ya! Bukankah kamu ingin menceritakan tentang ke mana kamu pergi selama ini?"
Vic langsung menggelengkan kepalanya. "Aku belum siap untuk bercerita masalah itu sama kamu."
Pierre menghela napas kasar. "Baiklah, aku tidak akan memaksa."
"Kalau begitu, aku kembali ke flat dulu."
"Kamu tidak ingin mampir ke suatu tempat dulu? Aku bisa mengantarmu kalau kamu mau."
Vic menggeleng. "Aku sedang tidak ingin keluar."
Pierre mengangguk kecil. "Baiklah."
Vic pun berdiri, diikuti oleh Pierre. Mereka berjalan menuju pintu depan.
"Kalau sudah ada lowongan, kamu bisa langsung menghubungiku," ucap Vic saat dia sudah berada di luar.
Pierre mengangguk. "Pasti. Bila perlu aku akan langsung ke tempatmu."
Vic terkekeh geli. "Sekali lagi aku ucapkan terima kasih."
Pierre tersenyum. "Sama-sama, Vic."
👔👔👔
RV EVOLUTION. Paris—Perancis. 02:40 PM
Rafael tengah memantau Vic lewat laptop-nya. Sesekali dia tersenyum saat melihat tingkah Vic yang menggemaskan dan saat ini gadis itu tengah menonton televisi.
Terdengar suara pintu diketuk. Tak lama Charlie masuk setelah Rafael memberi perintah.
"Selamat siang, Tuan."
"Akhirnya kamu sampai juga," ucap Rafael. Kali ini dia tidak fokus pada laptop-nya lagi dan menatap Charlie serius.
"Jadi, apa yang harus saya kerjakan?" tanya Charlie sesopan mungkin.
"Duduklah, Charlie. Kamu baru saja sampai, bagaimana bisa kamu langsung meminta pekerjaan?"
Charlie menatap Rafael dengan kening berkerut. "Bukankah Tuan ingin masalah di sini segera selesai dan bisa kembali ke New York secepatnya? Saya bisa mengerjakan ini semua dalam waktu dua hari-"
"Aku berubah pikiran," potong Rafael.
Charlie terdiam, dia tidak mungkin melawan kehendak Rafael. Charlie lebih memilih untuk menunggu Rafael menjelaskan alasannya, dia tahu jika bosnya itu belum selesai berbicara.
"Aku ingin membawa Victoria ke New York, tapi aku tahu jika ini semua tidak akan mudah. Dia pasti akan menolaknya, bahkan mungkin dia langsung akan mengusirku dari flat-nya."
"Jadi, apa yang harus saya lakukan, Tuan?"
"Kamu tetap membantuku di sini, tetapi tidak perlu terburu-buru. Dan jika kamu tidak betah, kamu bisa kembali terlebih dahulu."
Charlie langsung menggelengkan kepalanya. "Saya akan tetap di sini untuk membantu Tuan."
Rafael tersenyum kecil. "Ah! Aku benar-benar ingin memilikinya."
"Saya punya solusi, Tuan. Semoga saja ini berhasil," ucap Charlie tiba-tiba.
"Apa rencanamu?" tanya Rafael penasaran.
"Nona Victoria saat ini tidak punya pekerjaan dan setahu saya tabungannya hanya sedikit. Itu pun tidak akan cukup untuk biaya sewa. Jadi, saya yakin jika Nona Victoria pasti akan mulai mencari pekerjaan."
Rafael menganggukkan kepalanya mengerti. "Kalau begitu, kita perlu membuka lowongan pekerjaan saat ini."
Charlie menggelengkan kepalanya. "Lowongan pekerjaan akan tersebar ke publik, pastilah kita harus melakukan seleksi, karena tidak akan adil jika kita langsung memilih Victoria. Lagipula sepertinya perusahaan tidak kekurangan tenaga kerja."
Rafael menghembuskan napas frustas. "Jadi, aku harus bagaimana?"
"Bagaimana jika Tuan yang menawarkan pekerjaan padanya secara langsung? Dia akan ditempatkan RV Evolution. Saya pikir dia akan mempertimbangkannya."
"Dia bekerja di sini?"
Charlie mengangguk. "Benar. Tuan mungkin bisa sedikit menggertaknya."
Rafael menyeringai saat mendapatkan sebuah ide. "Aku tahu apa yang harus ku lakukan."
"Kalau begitu semoga berhasil, Tuan."
Rafael mengangguk. "Terima kasih banyak. Kamu memang selalu dapat diandalkan."
TBC
______________________________________
Bagaimana chapter ini menurut kalian??? Kira-kira apa yang bakal dilakukan oleh Rafael???
Oh, ya! Besok aku akan menunjukkan siapa yang menjadi visual di cerita Suit and Tie.
Pada penasaran gak??? Kalau penasaran, tungguin ya...
See you...