Welcome to Chapter-10
Sudah ada yang menunggu-nunggu ini???
Maaf banget karena baru up, soalnya perlu memantapkan hati dalam mempublish SnT per chapter-nya.
Author juga sudah mempublish cerita baru. Ini merupakan cerita fanfiction pertama yang dibuat dengan akun ini dan untuk jadwal update tidak menentu, tergantung mood-nya.
Seperti biasa, jangan lupa untuk klik bintang kecilnya. ⭐
Happy Reading...
______________________________________
"Mengapa aku harus mengundurkan diri dari Le Meurice? Aku betah bekerja di sana. Lagipula aku perlu uang untuk biaya hidup dan melunasi hutangku padamu."
Rafael hanya diam dan berjalan melewati Victoria.
Victoria mendengus kesal dan meremas amplop ditangannya. Lihat saja! Dia tidak akan keluar dari pekerjaannya saat ini. Vic melangkahkan kakinya kembali ke kamar dan menutup pintu dengan kencang. Tidak memedulikan reaksi Rafael bila mendengarnya.
👔👔👔
Rafael's Penthouse. Paris-Perancis. 07:15 AM
Vic memakai sepatunya dengan cepat tanpa memedulikan tatapan menusuk yang dihadiahi Rafael pagi ini. Pria itu tengah duduk di meja makan dan menikmati sarapan yang sudah di siapkan oleh house helper.
Sebelumnya pria itu sudah mengajaknya makan bersama, tetapi Vic memilih untuk melewatkan sarapannya dibanding harus duduk bersama pria yang justru membuat nafsu makannya menurun. Dia yakin jika dia menerima ajakan pria itu, Rafael pasti akan menyuruhnya berhenti bekerja lagi.
Vic masuk ke dalam lift, ingin cepat-cepat pergi dari penthouse ini. Vic bahkan tidak berpamitan terlebih dahulu. Mengabaikan tata krama yang selalu diajarkan oleh ibunya. Karena menurut Vic, pria seperti Rafael tidak memerlukan itu semua.
👔👔👔
Kedatangan Vic disambut dengan tatapan aneh dari rekan-rekan kerjanya. Tidak seperti biasanya mereka memperhatikan Vic sampai seperti itu. Dengan segera Vic memeriksa penampilannya, tetapi tidak menemukan satu kejanggalan pun. Akhirnya dia menghela napas dan memandang Jane.
"Qu-est que tu fais?" tanya Vic. (Ada apa?)
Jane yang mendapatkan pertanyaan dari Vic justru mengerutkan kening bingung. Tak lama terlihat Mrs. Lincon keluar dari ruangannya.
"Ms. Victoria?" sebut Mrs. Lincon sembari menurunkan kacamatanya sedikit. Memastikan apa yang dilihatnya adalah benar. "Untuk apa lagi Anda kemari? Apakah ada barang yang tertinggal di sini?"
Vic semakin bingung. Dia melemparkan tatapannya pada Elaine, tetapi gadis itu justru membuang muka. Membuat Vic dengan terpaksa harus bertanya pada Mrs. Lincon. "Pardon. Apa maksud, Madame? Tentu saja saya ke sini untuk bekerja."
Mrs. Lincon terlihat menahan tawa dan sedikit membungkuk ke arah Vic. "Ne sois pas comme ça. Tidak baik mempermainkan orangtua, Victoria. Saya baru saja mendapatkan surat pengunduran dirimu beberapa menit yang lalu. Mereka semua yang berada di sini adalah saksinya." (Jangan begitu.)
Kedua mata Vic membulat dan Jane yang melihatnya segera menyahut, "ça serait vraiment con, Vic. Seorang pria berbadan kekar pagi-pagi sekali sudah mengunjungi restoran dan menyerahkan sebuah amplop atas nama Victoria Beverlly." (Itu sungguh-sungguh terjadi.)
Vic mencengkeram tali tas selempangnya dengan kuat. Rahangnya mengeras dan dengan cepat dia membalikkan badan tanpa berkata apa-apa lagi. Mengabaikan tatapan bingung dari orang-orang. Dia tahu siapa yang mengirimnya. Orang itu pasti merupakan bawahan Rafael Derizcon. Pria yang memerintahnya untuk berhenti bekerja kemarin malam.
Sesudah berdiri didepan restoran, Vic segera menghentikan sebuah taksi dan masuk kedalam. Menyebutkan alamat penthouse Rafael dan tak lama taksi pun bergerak.
"Bastard!" umpatnya sambil menggeram marah.
👔👔👔
Vic melangkahkan kakinya dengan cepat saat pintu lift terbuka. Kedua matanya menyipit kala penthouse ini terlihat kosong. Seorang house helper yang memang ditugaskan bekerja setengah hari di sini, berlari tergopoh-gopoh menghampiri Vic.
"Mademoiselle, Anda pulang?" tanya seorang ibu paruh baya yang jika ditaksir berumur sekitar 40-an.
"Di mana Rafael?" tanya Vic mengabaikan pertanyaan ibu tadi.
Ibu itu terlihat mengerutkan keningnya bingung, kemudian melirik jam besar yang berada didekat jendela ruang tamu. "Tuan Derizcon sudah berangkat ke kantor setelah Nona berangkat tadi. Ada apa? Apakah ada sesuatu yang penting?"
Vic menepuk keningnya karena menyadari kebodohannya. Tentu saja pria itu sedang bekerja sekarang dan sialnya dia tidak tahu alamat kantor Rafael. Dengan terpaksa Vic harus menunggu pria itu pulang untuk melampiaskan amarahnya.
"Sial!" umpatnya, kemudian berjalan menuju ke kamar. Mengabaikan ibu house helper yang menatapnya kebingungan. Karena Vic tahu, jika dia menjawab pasti ibu itu akan bertanya lagi dan lagi.
👔👔👔
Rafael berusaha menahan tawa melihat raut kesal Vic yang menggemaskan. Rafael tahu bahwa hal ini akan terjadi. Vic akan marah ketika tahu apa yang telah dia lakukan, maka dari itu Rafael sudah bersiap sedia dengan memantau gadis itu lewat kamera pengawas yang terpasang di penthouse-nya. Apalagi dia baru tahu bahwa gadis seperti Vic ternyata suka mengumpat. Rafael benar-benar tidak menyangka jika Victoria-nya sudah tumbuh menjadi gadis dewasa yang bar-bar.
Suara ketukan pintu membuat Rafael terperanjat dan menutup laptop-nya tanpa mematikan layarnya terlebih dahulu. Rafael memperbaiki cara duduknya sebelum memerintahkan orang di luar sana untuk masuk.
Alody masuk diikuti oleh seorang gadis berambut pirang dan juga memakai pakaian kerja yang formal.
"Hai, R!"
Rafael tersenyum simpul pada gadis berambut pirang itu, kemudian mempersilakan gadis itu untuk duduk di sofa yang terletak di ruangannya.
Alody sempat menunduk hormat pada Rafael sebelum keluar dari ruang kerja pria itu. Memberikan privacy untuk Rafael dan tamunya.
"Mengapa tidak mengabariku jika kamu sudah kembali dari Jepang?" tanya Rafael basa-basi.
Gadis itu mengibaskan rambutnya ke belakang dengan gaya angkuh sebelum menjawab. "Tentu saja aku ingin memberimu surprise."
Rafael terkekeh geli, kemudian menganggukkan kepalanya. "Kamu benar, aku cukup terkejut melihat kedatanganmu."
Gadis itu menaikkan sebelah alisnya. "Kira-kira sudah berapa tahun kita tidak bertemu, R? Kau tahu, aku merindukanmu."
"Dan kamu yang susah dihubungi. Catat itu, barbie!"
Gadis yang dipanggil barbie itu berdecak kesal dan mengerucutkan bibirnya. "Kebiasaanmu belum juga berubah, R. Berhenti memanggilku dengan sebutan itu. Kau tahu sendiri jika aku tidak suka disamakan dengan boneka tak bernyawa itu."
Lagi-lagi Rafael terkekeh, dia berdiri dan menghampiri gadis itu. "Kukira setelah kau kembali, kau akan mengecat rambut pirangmu itu, Ruby. Tetapi, ternyata kamu memang menyukai warna rambut aslimu."
Gadis bernama Ruby itu memutar bola matanya malas saat melihat Rafael mengedipkan sebelah matanya setelah mengejeknya. Rafael duduk di sebelah Ruby setelah mengambil dua kaleng coke dari kulkas yang memang tersedia di ruang kerjanya.
"Oh, ya. Sampai berapa lama kamu akan di Paris?"
Rafael mengedikkan bahunya. "Mungkin sampai masalah di sini selesai."
Ruby mengangguk-anggukkan kepalanya. "Berarti kamu tidak tinggal di hotel?"
"Ya. Aku tinggal di penthouse yang tidak jauh dari sini," jawab Rafael santai.
Ruby menyeringai, kemudian mendekatkan tubuhnya ke arah Rafael. "Bagaimana jika malam ini, kamu menemaniku ke club? Kita bersenang-senang."
Rafael mengerutkan keningnya tidak suka, kemudian menggeleng. "Kau gila!"
Ruby memasang wajah memelasnya dan menarik-narik kerah kemeja Rafael. "Ayolah, R. Ini pertama kalinya aku menginjakkan kaki di Paris dan aku ingin merasakan bagaimana club yang ada di kota ini," bujuk Ruby.
Rafael menatap Ruby tajam. Sebelum akhirnya menghembuskan napas pasrah. "Baiklah... Anggap saja ini ucapan selamat datang."
Ruby berseru senang, sembari bertepuk tangan seperti anak kecil. "Ayo minum hingga mabuk!"
TBC