WIZARD (Broken Butterfly) END

By Ghnufa_14

180K 13.5K 628

Yang bersinar di malam hari hanyalah kunang-kunang, namun yang ku lihat malam itu adalah sesuatu yang lain. b... More

Prolog
Kupu-Kupu
Kekuatan
Surat Misterius
Wizard Academy
Turnamen Penyambutan
Sekolah
Es dan Api
Menara Lex Talionis
Ujian Bersama
Rekan
Informasi
Peringatan
Pembalasan
Menara Pengorbanan
Sora
Death Master
Tangan Kanan Pemburu Underworld
Moon Gate
Teman yang menghilang
Underworld
Perjalanan Menuju Ujung Cahaya
Cahaya Terakhir
Gadis Api
Sang Penegak Pilar Cahaya
Hutan Mistis
Kastil Putih
Rahasia Dea
Merah Diatas Putih
Dunia Keabadian
Sang Penjaga Alam
Gerbang - Gerbang Dunia
Anak-anak Bayangan
Darah Terkutuk
Gerbang Neraka
Menara Pembalasan
Jiwa Yang Terlelap
Rasa Kematian Yang Manis
Pertemuan Yang Tenang
Pulau Awan
Pohon Kehidupan
Dinding Pengorbanan
Takdir Yang kejam
!!!
Para Dewi
Dinginya Hari Penuh Darah
Negeri di Penghujung Utara
Jantung Kegelapan
Rencana B
Arti Dari Sebuah Ikatan
Akhir Terbaik
Epilog
~~~
pengumuman!

Kawah Matahari

2.6K 223 8
By Ghnufa_14

Liburan tahun lalu ayah mengajakku pergi ke tempat wisata yang cukup unik, biasanya kami pergi ke pemandian air panas ketika awal musim dingin namun ayah membawa kami ke pemandian pasir panas di musim gugur. Tempat aneh yang tiba-tiba muncul di tengah kota Tokyo, aku bahkan tidak menyangka sesuatu seperti itu ada. Tapi sebagai penumpang aku hanya mengikuti jalannya perjalanan itu.

Kata ayah pasir itu dididihkan terlebih dahulu, dipanaskan mencapai suhu yang sesuai untuk tubuh. Katanya juga pasir panas itu bisa menyegarkan dan menyehatkan tubuh, cocok untuk orang yang tidak memiliki banyak waktu untuk beristirahat. Saat itu juga ku pikir di balik alasan jalan-jalan keluarga ini ada rencana lain yang khusus di inginkan ayah ku untuk liburan melepas penat bekerjanya. Tapi sekali lagi tidak masalah untukku.

Pertama kali mencoba mandi pasir hangat—berendam di sana—rasanya seperti memakan selimut tebal ketika musim panas menyengat. Aku langsung dibanjiri keringat, untung saja pasir halus itu tidak lengket di tubuh walau tetap harus membilas tubuh dengan air setelahnya. Sensasinya memang menyegarkan, nyaman, terlepas dari suhu panasnya.

Sekarang aku merasakannya lagi, kali ini gratis dan seluruh tubuhku yang ditutupi timbunan pasir. Beruntung refleks ku cukup cepat untuk menciptakan permukaan es mengelilingi ku dari pasir untuk cela bernafas, walau rasanya tetap pengap dan dinding es itu perlahan mencair dan sama sekali tidak mengeluarkan aroma sejuk. Egi masih di sampingku, memelukku dengan erat, dia berusaha menutupi wajah ku agar pasir tidak maksud ke mata dan hidung. Aku cukup kaget dengan kesigapannya menyelamatkan ku alih-alih dirinya sendiri. Kami berdua tetap selamat, berkat diri ku.

Itu awalnya, tapi kami tetap terjebak di tengah-tengah gundukan pasir. Beruntung Egi yang dapat merasakan panas sekitar mendeteksi adanya gua di dinding batu, bersungut perlahan kami menembus pasir. Dinding es tetap mengelilingi kami—walau berkali-kali aku harus menebalkannya—menuju titik cela yang dituju, pasir itu masih halus dan mudah disingkirkan, sehingga kami dapat bergerak dengan mudah di dalamnya.

Singkat cerita. Setelah perjuangan yang melelahkan, kami berhasil memasuki cela di dinding yang tidak ikut tertimbun pasir, tidak, sebenarnya setengah dari gua itu sudah tertutup pasir, tapi masih ada cela yang cukup untuk kami memasukinya. gua itu ternyata buntu, memang ada bagian menjorok ke bawah yang agak curam, Egi sudah memeriksanya namun di ujung sana adalah dinding tanah yang tebal. Jika kami berusaha membuatnya hanya akan ada tumpukan tanah lain dan mungkin tanah diatas kami akan amblas.

"kita tidak akan terkubur hidup-hidup di sini, aku janji!" seru Egi mencoba menenangkan ku, menggenggam tangan ku erat. Tapi aku tidak panik sama sekali, dialah yang panik.

Tapi aku menerima kebaikan hatinya, merosot di pinggir dinding gua yang hangat. "bagaimana kita akan keluar?"

Pemuda itu tidak bisa berdiri tegak, dia membungkuk hampir Sembilan puluh derajat. Gua ini tidaklah luas maupun tinggi. Egi menoleh ke kanan dan kiri beberapa kali, wajahnya kotor oleh pasir dan debu.

Dia menepis rambut yang menusuk matanya, berjalan pelan kembali ke ujung gua yang menjorok ke bawah. kembali ke tempat semula dan memeriksa pintu gua yang sudah ditutupi pasir. Melihatnya terus mondar-mandir, memukul dinding perlahan, memeriksa langit-langit gua yang rendah. Walau dia berusaha mencari jalan keluar, dia mungkin akan segera gila karena tidak ada cela untuk keluar dari sini. Aku tahu itu.

Karena itu ketika dia melewati ku untuk yang sekian kalinya, kutarik celananya hingga dia terduduk dengan menabrak kaki ku. bahkan untuk duduk berhadapan pun tidak mungkin, hanya menyisakan sedikit cela, aku juga tidak bisa meluruskan kaki ku. Egi akhirnya menarik dirinya duduk di sisi lain di samping kaki ku, memeluk lututnya, wajahnya mengernyit masih memperhatikan sekeliling.

"kita akan baik-baik saja! aku janji." Seru Egi pelan, menatapku dengan wajah berkerut. dia menendang dinding di samping ku agak keras. "ternyata benar! Kita tidak seharusnya mendekati gunung, jika saja David tidak bersikeras—"

"kau tidak perlu menyalahkan orang lain, David berniat membantu kita. itu baik, kita memang tidak tahu apa yang akan terjadi!" ujarku, menyapu rambut di wajah. "semua sudah terlanjur terjadi, kita hanya bisa berusaha untuk melanjutkannya!"

Wajah Egi tersentak, merunduk, seolah-olah aku baru saja menikam jantungnya.

Keheningan selalu menjadi situasi yang nyaman untuk ku, tapi keheningan kali ini terasa—sangat—menyesakkan. Aku tidak yakin apakah ini karena ruang yang sempit dan kami berada di bawah tanah, atau karena hal lain. Aku benci situasi seperti ini, canggung, biasanya aku tidak pedulian tapi kali ini aku terpengaruh.

Egi melirik ku, sejenak ragu. "apakah ada orang yang kamu sukai?"

Mata ku terbelalak. Apakah dia harus menanyakan hal itu saat ini juga? "apa yang kau katakan?!" suaraku lebih terdengar dalam dan mirip membentak, bukan maksud ku berkata begitu. Tapi Egi terlanjur merunduk kembali, menggumamkan maaf, tampak semakin tersakiti.

Kacau, benar-benar sangat kacau! Ku rasakan wajah ku memanas setiap kali mengingat pertanyaan tiba-tibanya, nah, apa lagi yang sedang ku cemaskan? Perasaan ini membuat perutku melilit. Apa sih yang terjadi pada ku?

Persetan dengan Pohon Kehidupan, aku benar-benar ingin pulang sekarang!

Ketika aku melihat pemuda itu lagi, pandangan kami bertemu. Bersamaan mengalihkan pandangan lagi, ah, aku merasa sangat aneh.

"tidak," gumamku. namun karena kami duduk berdekatan dan ruangan ini sempit, suara ku terdengar jauh lebih jelas. Egi mendongak, wajahnya aneh ketika menatap ku. perut ku mulas dan jantung ku berdetak kencang tak karuan, tapi kemudian aku menyadari dia seperti ingin mengatakan sesuatu yang tersangkut di mulutnya. "Kau ingin mengatakan sesuatu?"

Ia menghela nafas panjang, melirik ku singkat dan menggigit bibir lalu berkata. "Sebenarnya, dirimu bukan dirimu, bukan?"

Mataku melebar, spontan. Mungkin pertanyaannya sedikit membingungkan, tapi aku tahu maksudnya. "Aku tetaplah aku, tak ada yang berubah."

"Tidak." Ia berkata tegas, membuatku sedikit terkejut. Ia memiringkan posisinya menjadi menghadap ke arah ku. "Seseorang yang sangat mengenal mu yang mengatakannya."

"Tidak ada yang mengenal diriku lebih baik daripada diriku sendiri."

Ia menghela nafas. "Ada, kau mengenalnya."

Aku mengerutkan kening, merasa tidak enak dengan keadaan ini. "Siapa?"

"Roh, dari salah satu dewi."

Ini cukup membuat ku terkejut. Apa ada orang selain Ryoko yang bertemu para dewi? Jika dipikir, kalau Ryoko dapat bertemu salah satu dari mereka, yang lain juga dapat bertemu kan? Tapi kenapa harus dia?

"Dia dewi Lumay. Ia memiliki rambut coklat ikal pendek sebahu dengan mata semerah api." Tiba-tiba Egi meringis. "Ia datang ke mimpi ku dengan wajah penuh kemarahan."

Aku mengangkat sebelah alis ku, ingin bertanya tapi kutahan, ku biarkan ia menyelesaikan ceritanya.

"dia mulai datang ke dalam pikiran ku sejak aku bergabung dengan akademi. Dia langsung memperkenalkan dirinya sebagai reinkarnasi dewi Lumay, awalnya dia banyak membicarakan hal aneh. Tentang api, langit, masa lalunya." Mata Egi melirik ku. "ketika aku berkhianat dia berceloteh lebih panjang, dia sama sekali tidak memberi ku kesempatan untuk berbicara. Ku pikir jika ia sudah lelah dia akan berhenti sendiri, dan itu benar. Setelah dia berhenti, ia kembali berbicara." Egi menatap ku, kerutan di keningnya membuat ku cemas. "Dia membicarakanmu. sebenarnya dia sudah membicarakan mu sejak awal dia masuk ke pikiran ku, namun aku tidak sadar jika yang dia bicarakan itu dirimu. Dia khawatir padamu. Kau berubah. Dirimu yang sekarang sangat berbeda dengan dirimu yang dulu."

Aku menahan nafas, melirik ujung kuku yang kotor. "Semua orang dapat berubah, Egi."

"Iya, tapi perubahan mu ini terlalu besar. Dulu, kau adalah matahari yang hangat, sekarang kau adalah bulan yang dingin." Ia berkata seperti berpuisi, sejenak membuatku bergidik. "Dia yakin, dirimu yang dulu masih ada dalam dirimu yang sekarang. Terpendam jauh dalam dirimu. Aku tahu, kau pasti juga menyadarinya."

Aku sadar kalau aku berubah. Jujur aku menyesal. Aku adalah tipe orang yang selalu ingin keinginan ku terwujud. Akan ku lakukan apa pun, bahkan dengan merendahkan orang lain. Saat aku pindah, aku membuat keributan, agar aku dikirim kembali ke rumah nenek, tapi tidak pernah terwujud. Hingga suatu hari ayah memanggil beberapa orang yang ditugaskan untuk mendidik ku. Setelah pendidikan yang kudapan—sesungguhnya aku tidak begitu ingat apa yang dilakukan para pendidik itu, yang ku ingat mereka menceramahi ku tentang hal-hal yang membuat emosi ku tersulut—sifat ku berubah, tenang dan dingin. Mungkin karena emosi yang selalu ku tahan saat pemberontakan yang ku buat selama pendidikan tidak mempan pada mereka, mereka sangat sabar.

"Kau benar." Aku menatap Egi dengan tatapan dingin. "Aku bukan lah diriku yang dulu. Tapi dengan diri ku yang sekarang, aku dapat menjadi lebih kuat."

Keheningan terjadi. Pandangan kami bertemu. Aku dapat melihat ketidak percayaan dari mata merahnya. Aku tidak berharap belas kasih, membenci orang yang merasa ibah pada ku. Aku lebih suka jika orang-orang mengabaikan ku.

Mulut ku siap terbuka kembali ketika kehangatan aneh menjelajar di sekeliling. Aku tersentak, melihat Egi mengeluarkan cahaya aneh, rambutnya yang sehitam arang, dengan ujung-ujungnya yang sewarna lidah api itu membakar rambutnya menjadi warna merah. Sesuatu mendorong tubuh Egi ke dinding gua, aku berdiri, hendak meraihnya ketika tangan pemuda itu meraih lengan ku. tiba-tiba menarikku hingga menubruk dadanya.

Tubuhnya sangat panas, kulitku terbakar. Aku menarik diri ku dengan keras menjauh darinya, tapi lengannya di pundakku menahan ku dengan kuat. Aku mendongak, menatap mata merah menyalah yang sedang menyorot ku dengan tatapan aneh.

Tiba-tiba seringai mengebang di wajahnya. Tangannya terlepas dari punggung ku, dia mencengkram wajah ku, menarikku, dan mencium pipi ku. Bibirnya lembut namun sepanas timah, tangan panasnya mencengkram leher ku nyaris mematahkannya dan itu semakin terasa membakar.

Aku memukul dada Egi, mencoba menarik tubuh ku menjauh. Tiap kali aku hendak mengeluarkan kekuatan es ku, bahkan sebelum itu keluar, es itu menguap seketika. Aku hendak menggunakan kekuatan api ku, namun tekanan yang aneh mendorong api ku membakar tubuhku dari dalam.

"oh, Pira, sayang ku!"

Tubuhku terlonjak, kepala ku menatap bibir merah itu yang melengkung penuh. Tidak, itu bukan suara Egi. Suaranya terdengar aneh, seperti gabungan dari banyak suara, laki-laki maupun perempuan. mata merah menyalanya berkilat menatap ku.

"tidakkah kau merindukan ku?" ujar suara itu lagi. aku memukul dadanya, dada Egi berkali-kali. "ada apa? Kenapa kau menyakiti ku?"

Aku mengernyit tajam. "siapa kau?"

Egi menyeringai, dia tampak menyeramkan. "siapa kata mu? apakah kau tidak mengerenyi juga?"

Dia kembali mencengkram wajah ku, menarik ku mendekat, mencium pipi ku beberapa kali. Bahkan sampai kening ku, menempelkan pipi hangatnya di pipi ku. awalnya ini terasa aneh, aku tidak pernah dicium seperti ini, apalagi dari seorang laki-laki. Itu menggelikan, pikiran ku mengkoneksi sosok lain di dalam tubuh Egi, jadi yang kurasakan hanyalah kejengkelan.

"hentikan! Cukup!" teriak ku.

Tapi dia memelukku semakin erat, kakinya menarik ku lebih dekat ke tubuhnya. jujur saja ini semakin sesak dan panas, perlawanan ku tidak membuahkan hasil apa pun selain kelelahan dan berkeringat!

Akhirnya aku berhasil melancarkan serangan yang ampuh, tangan ku mencetakkan tanda merah di pipinya. Dia terkejut, mata merahnya melayang pada ku. kengerian ketika kurasakan mata itu dapat membakar ku, aku berusaha tidak menunjukan ketakutan, mengangkat tangan ku lagi. bersiap menamparnya jika dia menciumku sekali lagi, namun yang terjadi berikutnya, wajahnya mengernyit, dan dia, menangis?!

Aneh melihat Egi yang menangis. Tapi dia benar-benar menangis, kakinya di longgarkan sehingga aku dapat mundur ke dinding lain dengan cepat. Memperhatikan lelaki itu menangis tersedu-sedu sampai berkali-kali mengusap wajahnya dengan lengan.

"Pira jahat! Jahat!" isakkan seperti anak kecil. ini sungguh menggelikan, melihat Egi seperti itu. dia melepaskan tangannya dari wajah, menuduhku dengan wajah kacau penuh air mata. "aku tidak mau berteman dengan mu lagi! akan kuadukan ke kakek agar kau hukum membersihkan kuil!"

Perkataan terakhirnya membuat ku tersentak. Aku menatap Egi, atau seseorang di dalam dirinya. Beberapa saat, aku menggali pikiran ku. sesuatu yang asing namun juga familiar menarik ku, menyelam lebih dalam ke ingatan yang hampir terlupakan. Bayangan berkelebat di ingatan ku, sesosok gadis kecil dengan rambut ikal sepundak, yang suka sekali mengikuti ku, memelukku dan mencium ku. kami sangat akrab hingga kakek ku membuatnya ikut dihukum membersihkan kuil yang diurus keluarga kami.

Aku kembali tersentak, setengah berdiri hingga kepala ku terantuk langit-langit gua. Wajah ku berkerut, aku mendekat kembali kearah Egi, ku raih wajahnya. Senyum ku getir ketika aku mencoba menghapus air mata yang terus tumpah di pipinya.

"maaf, Rara." Bisik ku, perlahan. Mendekatkan wajahnya ke arahnya. "aku tidak mengenalmu sebelumnya, seharusnya kau beritahu aku sejak awal!"

Wajah Egi mendongak, tapi di dalam mata ku sosok lain dapat terlihat. Atau hanya dalam bayangan ku saja, wajah itu tetap milik Egi.

"ku pikir jika aku mencium mu, kau akan langsung ingat pada ku!" rengeknya.

Aku menghela nafas, tersenyum kecil. "dengan menggunakan tubuh orang lain? itu tidak mungkin!"

Egi merengut—wajahnya—secepat itu juga dia tersenyum, mengusap pipinya yang basah. Lengannya melingkari pundak ku, menarikku dalam pelukannya yang sangat hangat. Namun kali ini aku berusaha menahan panas itu.

"aku merindukanmu." bisiknya di telingaku.

"aku juga merindukanmu, Ra." Aku menarik kepala ku lagi. "bagaimana kau bisa berada di dalam tubuh Egi?"

Rara—aneh menyebut namanya dengan melihat wajah Egi. "entahlah, ketika anak ini memasuki Akademi. Aku langsung tahu tubuhnya dapat ku rasuki, jadi aku sering mengganggunya."

Aku menggeleng kecil. "jadi selama ini kau ada di sekitarmu? kenapa kau tidak menyapa ku lebih awal?!"

"maaf," cicitnya muram. "agak sulit berkeliaran jauh dari Pohon Kehidupan. Awalnya yang bisa melakukannya hanya, Eva, dia yang memberitahuku caranya. Katanya cari tubuh yang bisa didekati."

"jadi kalian bertiga bersama?"

Rara—atau wajah Egi—mengangguk. "kami tetap bersama-sama, harus seperti itu! kami tahu kau akan datang menyelamatkan kami! Kami sangat ingin bertemu denganmu lagi!"

Aku menangkup wajah Egi lagi, mengelusnya dengan jempol ku. "tentu saja! aku pasti akan menyelamatkan kalian!"

Rara mengangguk. "baiklah, kau sudah dekat. Dan aku tidak bisa berlama-lama mengambil alih tubuhnya, dia menaruh di dalam sana!" aku mengerjap bingung, Rara hanya tertawa. "kawah ini adalah milik ku, Kawah Matahari! Jadi aku bisa mengeluarkan kalian dari sini!"

Rara memelukku lagi. Kobaran api melahap kami, rasanya benar-benar panas, tapi tidak membakar. Aku mencengkram punggungnya sambil memejamkan mata, ketika membuka mata ku lagi. aku sudah berada di tempat lain, yang pastinya di dalam gunung.

Rara melepaskan ku. dengan tubuh Egi dia menjadi lebih tinggi dari ku, aneh menatapnya sambil mendongak, padahal sebenarnya dia lebih pendek dari ku.

"baiklah, kau sudah bebas." Rara dalam wajah Egi menyengir, dia benar-benar periang. Rara memelukku lagi, eratnya terasa aneh. Dia masih memeluk ku ketika menatap wajah ku. "mari bersenang-senang lagi setelah kita semua berkumpul."

Aku mengangguk. Dada ku sesak. "ya, tentu saja."

Rara merunduk, menempelkan kening kami. Matanya terpejam, tubuhnya diselimuti cahaya. walau terang aku memaksa mata ku tetap terbuka, aku tidak ingin kehilangan kesempatan melihatnya hingga detik terakhir. cahaya itu menghilang secepat kedatangannya, mata itu kembali terbuka, mata hitam arang yang ku kenal.

Iris hitam itu tiba-tiba terbuka lebar. tangannya yang memeluk ku terlepas, Egi berteriak sambil terhuyung ke belakang. Jatuh terduduk setelah menginjak batu. Aku tertawa melihat tingkahnya, walau dia bukan lagi Rara, kecerobohan mereka sama saja. aku membungkuk di hadapannya sambil mengulurkan tangan.

Egi mendongak, menatap tangan ku, lalu menatapku, wajahnya merah padam. Dia cepat-cepat merunduk, menggapai tangan ku. walau aku menariknya berdiri, dia lebih mengangkat tubuhnya sendiri. tangannya masih hangat, agak bergetar.

"maaf," bisiknya.

Aku mengerjap. "kenapa?"

Wajah Egi masih semerah tomat, dia menarik-narik rambutnya hingga menutupi mata. "aku—karena aku—melakukannya," Egi membuang muka. "walau bukan aku yang melakukannya, tapi—tetap saja! itu tubuh ku, jadi—"

Dia tidak perlu melanjutkan perkataannya. Karena di detik kemudian, aku menyadari sesuatu. Rara mungkin mengambil alih tubuhnya, aku juga menyadari dan menganggap itu Rara. Tapi aku mengabaikan satu hal, walau Rara yang menguasai tubuhnya saat itu, itu tetap tubuh Egi. Yang berarti—

Continue Reading

You'll Also Like

35.1K 1.4K 61
Sesuai dengan judul ceritanya MY LOVE MY ENEMY Cintaku Musuhku... berawal dari pertengkaran, perdebatan, perselisihan berakhir menjadi menyukai, men...
520K 77.6K 50
(Petualangan - Fantasi) Namanya Ellysha Seinna Rajasa, seorang gadis remaja yang amat menyukai dunia fantasi dan hal-hal berbau misteri. Sifatnya gal...
300K 27.3K 32
Sangat disarankan untuk membaca book 1 ( Loizh ) & book 2 ( Loizh II : Arey ) agar tidak menimbulkan kebingungan dalam seri ini.. ^_^ Ririn Allyson...
674K 61.4K 31
Ini adalah buku kedua dari The Fos Academy. Yang belum baca silahkan baca terlebih dahulu buku pertama. Biar tau jalan ceritanya yaaaa. Hehehehe ☆☆☆...