Lovely Husband

By iinelsey

28.2M 1M 39.7K

[attention : belum direvisi, banyak typo, kesalahan penggunaan kata dan tanda baca] Kisah antara Arka dan Kar... More

[1]
[2]
[3]
[4]
[5]
[6]
[7]
[8]
[9]
[10]
[11]
[12]
[13]
[14]
[15]
[16]
[17]
[18]
[19]
[20]
[21]
PENGUMUMAN
[22]
[23]
[24]-One
HOREEE
[24]-Two
[24]-Three
[24]-Four
I'm Coming Back
[24]- Five
[25]
[26]
[27]
[28]
[29]
[30]
HELLO
[31]
💋
[32]
[33]
Update?
[34]
[35]
[36]
[37]-ONE
[37]-TWO
[38]
[39]
[40]
WAJIB BACA!
I'm coming back~~
💋
[LAST] s a t u
[LAST] d u a
[LAST] t i g a
[LAST] e m p a t
[LAST] l i m a
[LAST] enam (2)
[LAST] tujuh
[LAST] delapan
[LAST] sembilan
[LAST] sepuluh | END
ASK
YOSH
[Super-Extra-Part] ONE
[Super-Extra-Part] TWO
[Super-Extra-Part] THREE
[Super-Extra-Part] FOUR
[Super-Extra-Part] FIVE
[Super-Extra-Part] SIX
ask
[Super-Extra-Part] SEVEN
[Super-Extra-Part] EIGHT
hi
[Super-Extra-Part] NINE

[LAST] e n a m (1)

271K 12.1K 1.1K
By iinelsey

Entah mengapa aku masih yakin jika Kakak masih ada di suatu tempat di dunia ini. Aku masih percaya dengan takdir, sesuatu yang akan mempertemukan kita lagi. Seperti dulu, kala pertama kali ini bertemu. Di saat kita hanya dua orang yang merasa sial dengan takdir yang sudah digoreskan di buku kehidupan kita. Aku masih ingin percaya jika takdir itu masih berlaku sekarang dan akan tiba saatnya kita akan bersama kembali dengan pertemuan yang tak terduga, yang akan menjadi puncak kisah kita.

Karin menghela napas lesu, meletakkan kembali pena yang baru saja menari bebas di atas kertas putih di atas meja. Matanya menatap nanar keluar jendela kamarnya, menikmati suara tetesan hujan di luar sana.

Suara ketukan pintu membuyarkan lamunannya. Spontan kedua matanya tertuju ke arah pintu, melihat siapa yang baru saja mengetuk. Karin tersenyum kecil lalu bangkit dari duduknya.

Tangannya meraih gagang pintu. Rasanya sudah lama dia tidak mendengar suara ketukan pintu. Biasanya dia dipenuhi keheningan dan Karin suka itu. Dia sangat suka akan keheningan malam, sebab itulah saat yang tepat untuk meluapkan segala perasaan yang selalu dipendamnya selama ini. Perasaan akan kehilangan. Perasaan takut untuk melangkah. Bahkan perasaan yakin jika memang sudah tidak ada harapan lagi.

"Lo ngapain di dalam? Lama banget?" celetuk Angga begitu Karin membukakan pintu kamarnya.

Karin melongo, menatap Angga yang berdiri di hadapannya dengan mengenakan celemek dan sebuah pisau di tangannya.

Karin tertawa lantang, "Ada apa sampai lo pakai begituan?" tawanya semakin menjadi-jadi, "Lo nggak niat bunuh gue, kan?" tanyanya menatap pisau tajam di tangan Angga.

"Kalau bisa, gue udah bunuh lo dari kemaren," ucap Angga berbalik arah, meninggalkan Karin yang masih tertawa mengejek. Dia kesal dan malu, mengapa dengan santainya dia berpenampilan memalukan seperti itu di hadapan Karin.

Tawa Karin akhirnya memudar. Ia menatap Angga yang kembali ke dapur sambil mengomel tidak jelas. Rasanya penampilan seperti itu tidak asing baginya. Seperti dia sudah pernah melihatnya sebelum Angga melakukannya. Karin mencoba mengingat sebab rasanya itu sangat jelas pernah terjadi di kehidupannya.

Tiba-tiba tangan Karin bergetar. Dia mendadak mengingatnya. Ya, dia tidak merasa asing dengan hal yang dilakukan Angga sebab jelas Arka pernah melakukannya dulu. Tepat sebulan setelah pernikahan mereka. Ia mencoba menstabilkan getaran tangannya. Tubuhnya masih terlalu lemah jika mengingat sesuatu yang berhubungan dengan Arka, apa pun itu.

Dulu, seingat Karin, Arka pernah menghancurkan dapurnya perihal berusaha membuat bolu. Dia masih ingat bagaimana wajah takut Arka ketika ia memarahinya. Pria itu berjanji akan membersihkan dapur hingga sebulan ke depan. Jika mengingat hal itu, tanpa Karin sadari, senyum lebar menghiasi wajahnya.

Karin rindu kenangan itu.

Andai kata kenangan bisa diulang
Maka tidak akan ada lagi penyesalan di hidup ini. Kadang penyesalan muncul karena melewatkan suatu kenangan, bukan?

"Lo ngapain di situ mulu? Bantuin gue kek," omel Angga dari dapur.

Omelan Angga berhasil membuat lamunan Karin sirna. Dia tidak bisa hidup dalam bayangan Arka selamanya. Setidaknya dia harus berusaha untuk membiasakan diri tanpa kehadiran pria itu lagi dan mengijinkan orang di sekitarnya memasuki kehidupannya tanpa Arka.

Seperti keberadaan Angga, tentunya.

***

Begitu sampai di Jerman, tepatnya di Berlin, Zoe bergegas menghubungi seseorang yang sejak tadi memenuhi pikirannya. Dia merasa tidak tenang sekarang ini.

"Bagaimana dia bisa tahu?" tanya Zoe begitu panggilannya diterima.

"Apa maksudmu?" Jawab seseorang itu memastikan maksud Zoe yang tidak begitu jelas.

Zoe mendecak kesal. Dia mengacak rambutnya frustasi, "Dengar, aku tidak peduli apa yang terjadi, tapi..." Zoe menghela napasnya perlahan, "aku tidak mau ini berlarut. Seharusnya kau mengerti maksudku."

Zoe segera mengakhiri panggilannya secara sepihak lalu menelpon bawahannya untuk menjemputnya di bandara. Dia harus bergerak cepat sekarang. Dia tidak mau sesuatu yang sudah disembunyikannya dengan hampir sempurna akan terkuak sekarang. Zoe tidak mau tindakannya itu malah mengganggu semuanya. Dia sudah terlalu lelah untuk mengatur semuanya jika itu sampai ketahuan.

Selama menunggu bawahannya menjemput, Zoe terus berpikir keras bagaimana cara agar semuanya akan baik-baik saja. Dia tidak mau semuanya terbongkar begitu saja. Dan lagi seandainya semua terbongkar sekarang, dia belum siap melihat apa yang akan terjadi.

Sekitar 15 menit menunggu. Jemputannya tiba. Tanpa memerintahkan lagi, sang bawahan sudah tahu kemana tujuan atasannya itu jika berkunjung ke Jerman. Kemana lagi jika bukan ke tempat itu.

***

"Selamat siang Tuan Henry, bagaimana keadaan Anda?" tanya seorang suster yang sudah hampir setahun ini menemaninya melewati hari-harinya di ruangan membosankan itu.

"Ah, sepertinya kau tidak perlu menanyakannya lagi, suster," kekehnya yang kemudian diikuti tawa kecil oleh suster itu.

"Saya membawakan obat yang baru. Sepertinya Anda tidak perlu mengomsumsi obat dengan dosis sebelumnya. Kami sudah menguranginya karena keadaan Anda sudah tidak memerlukan dosis setinggi itu." Suster itu meletakkan nampan obat di atas nakas.

Matanya teralih ke sebuah bingkai foto yang terletak tidak jauh dari nakas. Rasa penasaran membuat suster yang sering disapa suster Nacy itu meraihnya. Mencoba melihat foto siapa yang ada di bingkai itu.

"Wah, apakah ini kekasih Anda Tuan Henry? Dia sangat cantik." Suster Nacy terdengar antusias. Dia menatap Henry dengan tatapan seakan minta penjelasan.

"Bukan. Dia itu istriku."

Suster Nacy terlihat kaget bukan main. Selama ini dia beranggapan jika pasiennya itu masih lajang karena dia tidak pernah melihat siapapun yang mngunjunginya selama masa pengobatannya di rumah sakit. Jadi ia hanya beranggapan jika Henry itu korban kecelakaan yang tidak mempunyai keluarga

"Sepertinya hanya sebatas ini hubungan kita Tuan Henry." Nacy menatap Henry yang berusaha duduk dengan tegak kesal.

"Hei, apa maksudmu? Jangan membuat orang-orang ambigu jika mendengarnya," sela Henry sedikit tertawa.

"Bagaimana bisa Anda tidak menceritakannya pada saya. Padahal saya sudah menceritakan seluruh kehidupan saya pada Anda dari saya masih kecil hingga saya menikah. Tapi Anda malah menyembunyikan hal ini," ujar Nacy dramatis.

"Sudahlah suster. Daripada kau memarahi. Lebih baik kau membantuku berdiri."

Nacy tersikap, "Oh, baiklah Tuan."

"Ho'oi, pertengkaran kalian terdengar sangat menarik." Suara tepuk tangan seketika menghiasi ruangan yang tenang itu.

Spontan pandangan Nacy dan Henry mengarah ke sumber suara.

Henry mendecak kesal sedangkan Nacy tertunduk malu karena ketahuan memarahi pasiennya di depan keluarga sang pasien.

"Kalian lucu jika bersama," ucap Zoe tersenyum tanda mengejek.

Henry tetap terdiam dan berpindah ke kursi roda. Ia mengisyaratkan Nacy untuk pergi keluar, meninggalkannya dengan Zoe.

"Permisi Tuan," ucap Nacy kepada Zoe sebelum akhirnya pergi.

Zoe tertawa kecil, lalu mendekati Henry, "Dia manis. Kau cocok dengannya."

"Jangan menggodaku. Dia sudah menikah," ucap Henry ketus kemudian mulai menggerakkan kursi rodanya.

"Biarkan aku membantumu."

Zoe mengambil alih kursi roda itu dan mendorongnya perlahan. "Bagaimana keadaan di sana?" tanya Henry akhirnya. Matanya terus tertuju ke depan.

Zoe mengangkat bahunya, "Tidak baik."

Henry menghela napas panjang. Tangannya membuka buku yang kini berada di atas pangkuannya. Buku bersampul pink itu buku yang beberapa hari lalu diberikan Nacy kepadanya atas adanya perkembangan yang pesat yang terjadi padanya. Dia sudah menganggap Nacy itu kakaknya. Sebab wanita berusia awal 40-an itu memberpelakukannya seolah adik laki-laki yang pantas dilindungi.

Tak lama, mereka tiba di ruangan yang penuh dengan alat-alat yang masih asing di mata Zoe. Padahal ini bukan pertama kalinya dia datang ke tempat itu.

Soerang pria jangkung yang mengenakan jas dokter menghampiri Henry. "Bagaimana keadaanmu, jagoan? Tubuhmu mengalami perkembangan yang luar biasa." Pria itu membantu Henry berdiri dan menempatkannya di salah satu alat yang tingginya hampir dua meter dan lebih mirip ke peralatan gym.

"Kemarin kau berhasil membuat 20 dorongan. Bagaimana jika hari ini 25 dorongan?" ucap pria jangkung yang tidak lain bernama dokter Albert.

Henry mengangguk setuju dan mulai mendorong sebuah kotak dari besi, mungkin menggunakan kakinya. Zoe bisa melihat bagaimana Henry menahan sakit ketika mendorong benda yang Zoe yakin pasti berat.
Henry terlihat masih baik-baik saja hingga dorongan ke-15. Namun pada dorongan ke-16, Henry mulai terlihat lelah. Zoe mendekat, berjaga-jaga jika terjadi sesuatu.

"Apakah dia baik-baik saja dokter?" tanya Zoe cemas.

Dokter Albert tersenyum, "Apakah kau yakin dia akan mencapai dorongan ke-25?"

Zoe tidak menjawab.

"Dia itu punya tekad yang besar untuk sembuh. Tidak ada yang mustahil selama tekad itu masih membara pada dirinya." Dokter Albert melihat Henry lekat.

"Ayo, kau pasti bisa." Zoe berteriak menyemangati.

Henry tersenyum miring. Dia terus berusaha meskipun napasnya mulai tidak teratur lagi. Tapi dia ingin membuktikan bahwa usahanya tidak akan mengkhianatinya. Dia ingin sembuh. Dia ingin bisa berjalan normal seperti dulu. Berdiri setegak dulu dan bergerak sebebas dulu. Dia berjuang untuk itu.

"Selamat Henry. Kau berhasil pada percobaan pertama. Sepertinya besok kau harus mencoba 50 dorongan," ujar Dokter Albert menghentikan alat itu. "Ini tidak akan lama lagi,  percayalah."

Henry menatap Zoe, "Kau dengan Zoe, ini tidak akan lama lagi. Penderitaan ini akan segera berakhir."

Zoe mengangguk, "Ya, semuanya akan berakhir."

"Aku sudah sangat merindukannya, Zoe. Aku sudah tidak tahan lagi." Tubuh Henry tiba-tiba bergetar hebat. Air matanya berjatuhan menahan perasaan yang selalu saja menyiksanya.

Zoe menepuk bahu lebar Henry, menatapnya serius. "Dia pasti jauh lebih merindukanmu, Arka. Di balik bayang-bayang kematianmu."

***

Hi~~

Maaf lama & Membosankan.

Sebenarnya part ini seharusnya 2600+ words. Tapi aku misahin karena kesannya kayak kepanjangan gitu, takut kalian bosan bacanya.

Q : Apa pendapat kalian terhadap part ini?

Comment sebanyak-banyaknya ya. Supaya author semangat dan langsung next besok.

See you

💞

Continue Reading

You'll Also Like

1.3M 69.6K 75
#10 Teen Fiction (Juli 2020) #01 Secret Admirer (Mei 2018) #01 Waiting (Mei 2018) #03 Hope (Oktober 2019) #01 Waiting (November 2019) #02 Pengagum Ra...
712K 3.8K 5
Permainan konyol yang dilakukan oleh Fani dan teman-teman nya membuat Fani harus berurusan dengan pria tampan yang dingin serta arogan. Yuk lebih ba...
10.7K 662 83
(BOOK 1 ) SECRET LOVE "Aku percaya bahwa cinta tak harus memiliki itu memang ada" WARN!! : perchapternya tidak lebih dari 100 kata.
14.8M 561K 55
"Pernikahan ini terjadi karena aku hamil." -Bella Elyana ** Bella Elyana, gadis belia yang masih duduk di bangku SMA dan merupakan anak tunggal dari...