Di sepanjang perjalanan pulang tidak henti-hentinya Diana menoleh ke belakang. Ia merasa jika dirinya sedang di ikuti. Padahal ini sudah hari ke tiga ia minggat dari rumah Ethan tapi kenapa masih saja ia diikuti reporter. Astaga... Dulu juga begitu. Ia pernah diikuti di Indonesia. Bahkan di Eropa juga.
Sampai di kediaman Maria, dengan cepat Diana masuk lalu mengambil tempat duduk di pinggir kaca. Melepaskan topi, kacamata, dan syal yang melekat di tubuhnya sebelum bernafas.
"Bagaimana?" Tanya Maria yang sudah duduk di hadapannya dengan satu cangkir teh dan satu cangkir coklat panas.
"Sampai di tujuan, kapten!" jawab Diana antusias membuat Maria terkekeh. "Mereka menyukai bungamu."
Maria mengangguk. Ia menatap keluar jendela dimana pelanggan tengah memilih bunga sebelum menatap Diana. "Apa kalian bertengkar hebat?"
Diana menatap cangkirnya. Sudah 3 hari ia menutupi masalah ini dari Maria. Dan selama tiga hari juga toko bunga Maria sangat ramai. Dari media masa hingga masyarakat yang ingin tahu Diana. Mungkin ini waktu yang tepat untuk ia berbagi.
"Dia meninggalkanku."
"Dia mengatakannya?"
Diana menggeleng. "Dari awal dia tidak mencintaiku, Ma."
"Dan kau meninggalkannya, begitu?"
"Dia yang meninggalkanku, oke?"
Maria menyeruput tehnya sebelum menatap Diana dengan senyum hangatnya. "Tahu dari mana dia tidak mencintaimu?"
"Dia tidak pernah mengatakannya."
"Papa-mu juga tidak pernah mengatakan kata cinta padaku."
Dengan cepat Diana menatap Maria.
"Tapi dia mengatakannya dengan perbuatan. Dia selalu menunjukkan rasa cintanya dengan melakukan sesuatu yang selalu membuat Ibumu ini terbang."
Diana mengulang kembali masa-masa dirinya bersama Ethan. Ya, Ethan juga begitu... Pria itu selalu bisa membuat hati Diana berbunga dengan sikapnya.
"Tapi kenapa Papa meninggalkan kita?" bisik Diana.
Maria menggenggam tangan anaknya membuat Diana menatap jemari Ibunya.
"Itu hal wajar, darling. Mengingat jika aku yang masuk di tengah keluarganya."
Diana tahu itu. Dengan cepat dirinya mengedipkan mata berkali-kali berharap air matanya tidak tumpah. Ia sudah tahu hal itu semenjak sekolah. Diana masih ingat pertengkaran hebat orang tuanya dan ia mendengar dengan jelas bagaimana Ibunya mengatakan hal itu. Padahal Diana ada di ruangan yang sama dengan mereka.
"Apa kau malu kepada Ibumu, Nak?"
Diana menggeleng. "Aku malu pada diriku yang tidak bisa melakukan apapun saat itu. Seharusnya kalian bisa bersama..."
Maria tersenyum. "Kau tahu, kau itu benar-benar keturunanku. Selalu berfikir positif untuk hal apapun."
Maria kembali menyeruput minumannya. "Padahal Papamu ingin mengajakku kembali tapi aku menolaknya. Mengingat jika hubungan kami tidak pernah sama sekali terdaftar. Dan juga melihat jika ia sudah memiliki keluarga yang bahagia."
Kebenaran yang lain... Siapa bilang Diana memiliki ayah yang sah? Dirinya lahir tanpa ada ikatan antara ibu dan ayahnya.
"Apa dia sering menelpon akhir-akhir ini?"
Maria mengangguk. "Tadi malam saja ia harus berbisik menelponku. Takut ketahuan Irina."
Diana tersenyum. Irina merupakan istri dari Papanya, Mike Michaels.
"Setidaknya kita sudah bahagia saat ini." Maria terkekeh.
Diana mengangguk. "Kau benar. Aku memang keturunanmu yang memiliki sikap positif." Diana meneguk minumannya.
"Seperti yang kubilang, Diana. Cinta itu tidak perlu di katakan... Mereka para pria selalu menunjukkannya daripada mengatakannya." Maria berujar kembali pada pokok pembicaraan.
Diana mengalihkan wajahnya keluar jendela. "Tapi dia tidak pernah datang kemari."
"Apa kalian sudah saling mengucapkan salam perpisahan?"
Diana menggeleng.
"Artinya belum tentu ia meninggalkanmu. Dan menurutku malah kau yang meninggalkannya tanpa alasan yang jelas."
"Ma!"
"Kalian hanya kurang komunikasi. Kau berfikir dengan pemikiranmu begitu juga Ethan. Kalian sama-sama berfikir buruk tentang 'dia yang meninggalkanku, bukan diriku'. Kenapa tidak kau saja yang mendorongnya untuk mengatakan itu?"
Diana menunduk. "Selama ini aku sudah berusaha dalam hubungan kami. Dan dia hanya diam di tempat tanpa mau ikut maju melangkah."
Maria tak sengaja menangkap seseorang yang familiar di belakang Diana. Ia meremas bahu Diana. "Mungkin bicara dengan satu pria lagi kau bisa mengambil tindakan yang tepat sebelum menyesal di kemudian hari. By the way, kau terlihat berisi. Aku menyukainya."
Lalu meninggalkan Diana seorang diri di sana. Diana menyandarkan tubuhnya di punggung kursi dengan kepala menengadah dan mata terpejam. Dirinya sangat lelah saat ini. Mungkin karena hormon kehamilannya. Untung saja Maria tidak tahu jika dirinya hamil, kalau saja sampai ketahuan... Diana tidak ingin melihat ekspresi sedih Maria.
"Diana..."
Diana membuka kedua matanya seketika. Suara itu... Suara yang familiar. Tapi kenapa dia ada di sini? Diana membalikkan tubuhnya menatap sosok pria itu.
"Jeremy?"
Detik berikutnya, Jeremy dan Diana duduk berhadapan dalam diam. Melihat Diana yang masih diam layaknya patung boneka membuat Jeremy angkat bicara.
"Diana..." Jeremy membasahi bibirnya sebelum berkata, "Aku sudah mendengar masalah hubungan kalian. Dan aku..."
Diana menunggu dengan cukup sabar.
Jeremy yang menatap Diana dengan tatapan putus asa. "Kau... Berubah."
Diana tidak berkomentar.
"Kau beda dari Diana yang kukenal. Diana yang kukenal akan selalu tersenyum 3 jari kepada siapapun. Diana yang kukenal akan selalu tertawa hingga matanya menyipit. Diana yang kukenal—"
"Diana yang kau kenal sudah mati, Jeremy." Diana berbisik. "Itu juga karena Jeremy yang tidak kukenal saat itu."
Jeremy berdeham dan menatap Diana dengan raut wajah menyesal. "Diana—"
"Bagaimana dengan hubunganmu dengan kekasihmu, Jeremy? Aku tidak sempat berkenalan dengannya saat itu."
Jeremy tersenyum samar. "Diana, aku tahu aku sangat mengecewakanmu. Aku mencintaimu. Namun aku lebih mencintai Nikki. Saat aku bersamamu aku merasa damai. Kau sangat ramah dan ceria. Itu yang aku suka darimu. Dan Nikki... Dia pria yang hebat. Dia membuatku hidup... Aku sangat mencintainya. Maafkan aku, Diana. Aku tahu aku sangat egois menginginkan kalian berdua dalam hidupku. Dan aku sudah menyadarinya. Kau sudah memiliki pria lain dan aku akan tetap setia kepada Nikki."
"Sudah berapa lama?" Tanya Diana berbisik.
Jeremy menghela nafas. "Satu tahun."
Diana memejamkan matanya. "Aku pasti terlihat bodoh."
"Tidak, Diana. Dengar—"
"Tidak. Kau yang harus mendengarkanku... Jika kau datang kemari hanya untuk meminta maaf, tenang saja aku sudah memaafkanmu. Kurasa pembicaraan kita telah selesai, permisi." Diana langsung berdiri.
Jeremy berdiri, membalikkan tubuh Diana menghadapnya.
"Jeremy, apa yang kau lakukan?!"
Jeremy tetap memegang pundak Diana dengan kuat. "Tidak. Sekarang waktunya kau yang mendengarkanku. Aku tahu aku salah. Tapi aku hanya ingin menolongmu. Mendengar ocehanmu tentang mantanmu. Aku ingin menjadi... Pendengar untukmu. Hanya itu. Aku berharap kita bisa menjadi teman, Diana."
Diana terdiam.
"Kau sudah banyak menderita, Diana... Biarkan aku menolongmu walau hanya bantuan kecil. Aku rasa menjadi pendengar tidaklah buruk untukku."
Baru saja Diana membuka mulutnya, suara menggelegar di belakang Diana. "SINGKIRKAN TANGAN SIALANMU DARI CALON ISTRIKU, BUNG!"