Hana's Indigo (True Story) (...

By MonicaMey_tabitha

1.7M 135K 8.4K

Karena banyak kesalahan dalam ejaan maka saya akan memperbaiki tiap babnya dan ada sebagian yang tidak saya p... More

Prolog
Tentang Dirinya
Hana
Kepergian Papa
Pengalaman Seram Di Rumah Kakek
Juminten Dan Wachid
Sosok Menyeramkan Di Rumah Baru
Masa Sekolah Yang Tak Menyenangkan
Melihat Roh Kematian & Hantu Darmo
Pernah Lihat Reog dan Barongsai?
Ketika Rohku Berjalan
Minta Bantuannya
Saat Mereka Meminta Tolong
Kartu Tarot vs Peramal
Ada Apa Denganku?
Tragedi
Mencari Rumah Baru
Ketika Mitos Bertemu Fakta
Ke Rumah Kakek Nenek
Rumah Baru Dan Penghuni Tak Tampak
Berkunjung Ke Masa Lampau
Penunggu Perumahan
Berkeliling Kota
Awal Masuk SMA
Mencari KOS
Info And Ask Question
Ada Sesuatu Di Sana
Hantu Di Kos
Curhatan Di Alam Lain
Hantu Tv Vs Hantu Nyata
Museum Malang
Menginap Di Rumah Teman
Keusilan Mereka
Felicia Sang Penjaga Setia
Kos Baru dan Wanita Jepang
Bersama Mereka
Tinggal Di Malang
Ssssttt....Jangan Berisik
Kenapa Kalian Di Sini?
Hal Yang Aneh
Jangan Rasuki Tubuhnya
Pengalaman Pertama
Taman Bermain
Mereka Yang Tertinggal
Anak Kecil Di Kos
Hantu Lapar
1860
Lawang Sewu
Cerita Di Kos
Liburan Di Rumah
Kematian Nenek
Pergi Untuk Selamanya
Pertemuan "Mereka"
Surabaya
Mereka Di Tempat Kerja
Di Tempat Kerja
Lembur
Rumah Sakit
Pengganggu Di Kantor
Jahil Atau Mau Berteman
Tidak Ada Bayangan
Ada Yang Mengintip
Jalan - Jalan Bersama Hana
Siapa Di Sana
Kepergian Sahabat
Selamat Jalan Kawan
Hari Yang Menjengkelkan
Bertemu Keluarga
Liburan Yang Tak Menyenangkan
Question And Answer
Melihat Arwah Tragis
Bukan Akhir

Pindah Rumah

42.7K 4.2K 155
By MonicaMey_tabitha

Pada bulan awal Juli 1995 adalah hari pertama keluarga kami pindah ke rumah baru. Di rumah ini hanya ada dua kamar. Satu kamar di depan kamar tidur untuk aku, kakak perempuan dan mamaku. Kamar sebelahnya di tempati oleh kakak lelakiku.

Aku tak akan menceritakan bagaimana senangnya dia menempati kamar barunya. Di sini atau lebih tepatnya rumah baru semakin banyak gangguan. Kemanapun aku pergi Bu Tin dan Pak Toh selalu ikut.

"Apakah kalian akan selalu ikut aku kemanapun aku pergi?" tanyaku suatu siang saat bermain di ayunan.

"Kami akan selalu mengikutimu. Sampai waktu itu tiba, kami akan pergi."

"Apakah selamanya kalian akan menghilang?"

"Tentu saja. Akan ada waktunya kami pergi untuk selamanya dan kamu akan menemukan pengganti kami suatu saat nanti."

Sedih? Tentu saja aku sedih saat mereka mengatakan akan pergi bila waktunya sudah tiba. Hanya mereka yang baik kepadaku. Tidak pernah mengagetkan secara tiba-tiba. Wajah mereka tak menyeramkan.

"Jangan sedih, Hana. Pengganti kami akan menjaga kamu."

Aku memandang mereka yang berdiri d depanku yang duduk di ayunan. Oh,ya aku lupa mengatakan kepada kalian jika aku memiliki ayunan.

Ayunan putih tersebut awalnya milik kakak laki-lakiku. Maklum kakak lelakiku cucu pertama hingga menjadi kesayangan kakek nenekku.

"Hana, mama mengintipmu dari balik jendela."

Mama sering mengintipku melalui jendela saat berbicara 'sendiri'. Mengapa aku tahu mama mengintip? Karena mereka yang mengatakannya.

"Oh, ya? Mama pasti tidak pernah percaya sama aku."

"Tidak apa-apa, Hana. Kami percaya sama kamu."

Rumahku yang sekarang ini bagian samping kiri ada halaman yang luas. Ada pohon nangka dan pohon mangga sedangkan di sisi sebelah kanan terdapat jemuran pakaian.

Untungnya kamar mandi sudah di dalam. Namun meskipun sudah berada di dalam, tetap saja aku malam merasa ketakutan saat ingin buang air kecil di malam hari.

Saat ingin ke kamar mandi kami harus melewat ruang keluarga (ruang tengah ditempati untuk menonton tv) nah, di ruang keluarga ada jendela yang menghubungkan halaman.

Mama selalu mengantarkan aku ke kamar mandi saat malam hari. Jika melihat tanpa sengaja ke kiri, aku melihat ada sepasang mata sedang mengintip dari luar. Ada suara-suara yang ramai di luar sedang bermain ayunan.

Ya pikirlah sendiri menurut pikiran kalian masing - masing. Bagaimana jika kalian tiap malam mendengar suara berisik dari ayunan yang berderit karena besi? Dan mendengarkan sesuatu yang tampak sedang bermain, mengayunkan ayunan dan tertawa menyenangkan?

Sampai sekarang aku selalu terbayangi oleh suara derit ayunan dan suara tertawa dari mereka yang tak tampak.

Krik ... krik ....

Hahahaha .... hahahaha .....

Mereka senang sekali menghabiskan waktu bermainnya di tengah malam dan membuat aku tak bisa tidur sama sekali.

"Hana .... Hana .... main yuk sama kami?" Mereka akan memanggilku tiap malam untuk
bermain.

"Ayo main sama kami, Hana."

Aku menutup kedua telingaku saat mereka memanggil namaku.

"Kamu takut, Hana?"
Aku mengangguk kepada Bu Tin dan Pak Toh.

"Ada kami di sini. Mereka tak akan berani denganmu. Tenanglah. Sekarang tidurlah. Besok kamu harus sekolah."

Saat itu usiaku sudah empat tahun dan akan ke sekolah TK A. Waktu tahun 1995 tidak ada yang namanya Playgroup. Ingat sekali lagi. Aku selalu mengingat kejadian di masa lalu.

Di sekolah aku ditemani mama. Ya, karena aku masih kecil. Kadang Bu Tin dan Pak Toh juga ikut menjaga saat mama tidak bisa mengantar. Sekolah itu milik kepolisian. Namanya "TK
BHAYANGKARI"

Aku suka waktu sekolah karena yang kulihat bukan hanya mereka yang tak terlihat, tetapi aku sungguhan berteman dengan manusia. Akhirnya bisa berteman yang usianya sama denganku.

"Apakah kamu senang, Hana?" tanya Bu Tin dan Pak Toh suatu ketika."

"Iya. Mereka mau bermain denganku," ucapku senang.

"Tapi?" Aku memandang mereka dengan sedih.

"Ada apa Hana?"

Aku menunjuk mobil putih dekat kantor polisi saat berjalan pulang. Kendaraan beroda empat yang tak kusukai sama sekali.

"Tidak apa-apa. Ada kami di sini," ujar Bu Tin layaknya seorang ibu yang menguatkan anaknya.

Hanya ucapan itu yang dapat membuat aku tak takut lagi. Aku selalu berada di tengah di antara Bu Tin dan Pak Toh saat berjalan. Mereka akan saling menggandeng tanganku.

Jika orang lain melihatku mereka akan menyangka jika aku berjalan sendiri. Akan tetapi jika mereka memiliki kemampuan yang sama dengan aku. Sribu persen aku yakin mereka melihatku dengan 'mereka' yang tak tampak.

Sampai detik ini aku tidak bertemu dengan orang yang sama denganku. Maksudku memiliki kemampuan ini.

Aku tidak pernah mengatakan kepada teman - temanku jika memiliki kemampuan ini. Aku sangat yakin mereka tak akan pernah percaya kepadaku dan dianggap gila, mengada-ngada, berbohong. Aku selalu menyimpan semuanya sendiri.

Ada banyak hal yang ingin kubagikan kepada kalian. Aku mohon jangan menganggapku berbohong. Aku membagikan ceritaku bukan untuk dianggap terkenal. Aku hanya ingin kalian tahu betapa tersiksanya saat tak ada yang pernah percaya. Aku hanya bisa mengutarakan dalam bentuk cerita saja.

****

Ayunan warisan ini. Ya, aku sebut seperti itu karena ayunan ini turun temurun. Kakek
membelinya di Jember, sayangnya dulu tidak ada ponsel yang bisa mengambil gambar.

Sampai sekarang masih ingat bentuk dan detail ayunan itu. Ayunan ini memiliki dua tempat duduk yang saling berhadapan. Di setiap sisi tempat duduknya ada ukiran bunga dan burung kecil. Di tiang-tiangnya ada ukiran pita. Ayunan ini terbuat dari besi dan putih warnanya.

"Hana, main ayunan yuk sama kakak," ajak kakak perempuanku di hari libur sekolah.

"Ayo ... " Aku mengiyakan ajakannya.

Aku senang jika bermain berdua dengan kakakku. Aku tidak sendirian saat bermain. Karena ayunan itu terletak di halaman samping rumah otomatis kami harus melewati pohon nangka yang menjulang tinggi. Aku tak pernah sekalipun mau melihat keatas pohon. Ada penunggunya di atas pohon itu.

"Kamu lihat apa, Hana?" tanya kakakku sambil menggandeng tanganku.

"Itu loh, kak. Ada wanita duduk di sana." Aku menjawabnya sambil melirik ke atas.

"Mana ada, Hana? Ini kan, masih siang. Tidak ada yang namanya hantu siang hari," sela kakakku tak percaya.

"Benar yang aku katakan kakak," bantahku untuk menyakinkan kakak. Tapi sayang dia nggak percaya.

"Kamu mau main nggak? Kalau nggak mau. Kakak tinggal loh." Akhirnya dia mengomel.

"Ya mau main, Kak," jawabku pelan. Akhirnya kami naik ayunan bersama. Aku membelakangi pohon nangka itu karena yakin wanita itu masih di atas sana. Menjelang magrib aku tak pernah mau menginjakkan kaki ke halaman belakang. Banyak sekali anak-anak yang tak tampak dan para penunggu di luar.

Ada seorang anak perempuan yang menempati ayunan tersebut. Tiap malam ia akan bermain dengan anak-anak yang lain dan tertawa riang. Mereka  senang, tidak denganku yang ketakutan mendengarkan suara tawa mereka yang mengerikan.

Suatu hari aku bermain sendiri di ayunan itu. Kakak perempuanku sedang menonton tv. Mama ada di dapur dan kakak lelaki ada di kamarnya sedang belajar. Dia mengajakku bermain. Tampang anak perempuan itu sebenarnya sangat mengerikan. Tapi karena aku butuh teman untuk bermain. Aku acuhkan saja. Wajah sebelah kirinya hancur, memakai dress selutut. Warna putih bercampur bercak darah dan tanah yang mulai memudar. Aku tidak tahu apa penyebabnya sampai wajahnya hancur. Dia tidak mau bercerita apapun.

"Aku tiap malam memanggil kamu, Hana."

"Untuk apa kamu memanggilku," tanyaku sambil berjalan menuju halaman.

Mama yang melihatku keluar dan berbicara sendiri lalu bertanya kepadaku dengan heran.

"Kamu mau ke mana, Han?"

"Mau main ayunan."

"Hati-hati. Jangan naik sambil bergelantungan, nanti jatuh." Mama memperingatkanku. Dasar aku masih kecil. Aku tak mendengar.

"Aku ingin mengajakmu bermain. Ayo temani aku."

Anak kecil yang tingginya sama denganku menggandeng tanganku. Dingin sekali saat aku sentuh. Bunga es yang di lemari pendingin kalah dinginnya dengan sentuhan anak kecil ini.

"Tapi aku tidak boleh main terlalu lama di halaman," ujarku kepadanya.

"Memangnya kenapa? Lihat tuh kakak-kakakmu tidak ada yang mengajakmu bermain." Seakan ia mengejekku karena tidak ada yang mau bermain denganku.

Memang benar katanya. Kakakku sedang asyik dengan kegiatannya sendiri. Aku berpikir sekali lagi untuk mengiyakan ajakannya.

"Hanya sebentar saja, ya." Dia mengangguk dan belari menuju halaman.

"Hana, naik ayunan yuk. " Dia berteriak memanggilku.

"Ayo ... " sahutku senang waktu itu.

"Coba kamu naik di atas sini. Pegang tanganmu ke atas sini. Enak berayun seperti ini. Lebih cepat," godanya yang membuat aku tergoda untuk mencoba seperti dirinya.

Aku menaikkan kedua tanganku berpegangan dengan tiang atas ayunan. Jika kalian bisa membayangkan aku posisinya bergelantungan seperti monyet. (Ya kira-kira seperti itu)
Aku mengayunkan tubuhku ke belakang dan ke depan. Benar katanya bahwa bergelantungan seperti ini memang enak. Angin sepoi-sepoi menyapa wajahku. Sayangnya itu tak berlangsung lama.

Brukk ...

Aku jatuh tertimpa ayunan. Aku berada di bawah ayunan. Aku mendengarkan anak perempuan yang berwajah hancur tertawa menyeringai di hadapanku. Sepertinya dia senang jika aku jatuh. Dengan tatapan matanya yang tajam dia menatapku penuh kesenangan dan tertawa lagi.

"Rasakan."

Aku menangis kala itu dan membuat orang rumah berlari ke halaman. Mereka tampak panik terutama mama.

"Ya, ampun Hana!" Mama berteriak kencang.

"Andrew cepat tolong adikmu." Mama berteriak lagi memanggil kakak lelakiku.

Kakakku langsung belari mendekati dan langsung mengangkat ayunan itu untungnya tidak berat.

"Kamu kok bisa jatuh toh, Han?" tanya kakakku sambil mengangkat ayunan itu. Mama langsung menggendongku karena ada darah yang keluar dari bibir.

"Makanya jadi anak perempuan itu jangan naik- naik seperti anak laki." Bukannya memberi perhatian mama malah marah. Memang sih aku tidak menurut kala itu. Ya salahku juga.

Ketika mama menggendongku. Aku sempat melihat ke belakang. Anak perempuan itu masih berdiri di sana. Di samping ayunan yang sudah berdiri tegak. Melihat tatapannya aku tahu ia menjelekkan aku.

Aku pikir anak itu sama dengan yang lainnya, tetapi salah. Dia malah mencelakaiku hingga bibir robek. Selain mama ada Bu Tin dan Pak Toh yang memperingatkan aku untuk tidak bermain dengan dia. Dasar aku yang tidak menurut perkataan mereka jadinya seperti ini.

'Kamu kok bisanya, sih berayun seperti itu?" Mama bertanya seraya mengobati lukaku. Aku meringis kesakitan saat itu.

"Ada anak perempuan yang mengajak aku bermain, Ma," jawabku pelan karena masih menahan sakit.

"Ya, ampun Hana. Sedari tadi tidak ada yang mengajakmu bermain. Kamu itu bermain sendiri," sahut mama di dekatku.

"Mama kok nggak percaya sama Hana. Ada anak perempuan tapi wajahnya hancur." Aku menyela.

"Tidak ada Hana. Tanya sama kakakmu." Aku melihat kakakku yang mengangguk.

"Kamu itu tertawa sendiri, bermain sendiri dan naik ayunan dengan senang," kata mama lagi.

"Sudah nanti mama buang ayunan itu," sesal mama yang mengakibatkan aku terjatuh.

Sejak saat itu tak berani bermain sendiri lagi. Apalagi jika ada anak perempuan berwajah hancur. Aku tidak mau lagi jika ia mengajak bermain. Aku kapok.

Hingga sekarang aku tidak pernah tahu siapa nama anak perempuan itu. Lama-lama ia menghilang sendiri. Entah ke mana? Aku tidak tahu.

=Bersambung=





14 November 2017

Continue Reading

You'll Also Like

9.1K 640 21
"Kamu siapa?" "kamu bisa melihat ku?!" penasaran?cuss langsung masuk aja ..banyak plot twist yang ga bakal kalian duga NOT BXB YES BROTHERSHIP Sebe...
392K 23.8K 43
Keluarga kecil yang tinggal di rumah sewa tepat di sudut kota besar. Dengan kesederhanaan membawa mereka untuk tetap terus bertahan di dalam keprihat...
222K 18.2K 52
Revisi terbaru. "Dira ...." "Dira ...." "Pergi! Kau siapa?" Aku menutup telinga kuat-kuat sembari memekik dalam hati di tengah gelapnya ruangan kamar...
71.7K 682 42
Kumpulan cerita pendek horror dan misteri dari seluruh penjuru negeri