Ljosalfar : The Light Elves

נכתב על ידי SiofraQuelene

259K 21.4K 3K

Sebuah penyerangan dari mahkluk mitos; Ogre, membuat kakak beradik ini pergi meninggalkan desa untuk menyelam... עוד

Prolog
Chapter 1
Chapter 2
Chapter 3
Chapter 4
Chapter 5
Chapter 6
Chapter 7
Chapter 9
Chapter 10
Chapter 11
Chapter 12
Chapter 13
Chapter 14
Chapter 15
Chapter 16
Chapter 17
Chapter 18
Chapter 19
Chapter 20
Chapter 21
Chapter 22
Chapter 23
Chapter 24
Chapter 25
Chapter 26
Chapter 27
Chapter 28
Chapter 29
Chapter 30
Chapter 31
Chapter 32
Chapter 33
Chapter 34
Chapter 35
Chapter 36
Chapter 37
Chapter 38
Chapter 39
Chapter 40
Chapter 41
Chapter 42

Chapter 8

5.8K 515 34
נכתב על ידי SiofraQuelene

Seira POV

"Selena, kau bisa mengunakan sihir?" tanya Gon setelah aku selesai menjelaskan.

Selena mengelengkan kepalanya. Gon terdiam, ekspresi wajahnya tak dapat kubaca lalu ia menghela napas.

"Sebaiknya, ini menjadi rahasia kita jangan sampai yang lain mengetahuinya. Sangat berbahaya bila berita ini tersebar dan sampai ditelinga penyihir itu."

Semua menganguk setuju. Aku merasakan aura beberapa prajurit penjaga memasuki arena berlatih, keningku bertaut, apa yang mereka inginkan?

Aku bangkit berdiri, "beberapa prajurit penjaga memasuki arena berlatih." Ku langkahkan kakiku keluar ruangan, diikuti teman - temanku.

Aku menatap mereka dengan curiga bukan kepada mereka namun apa yang mereka bawa. Entah kapan meja panjang yang penuh dengan berbagai senjata itu berada di arena berlatih. Aku yakin sekali Roper dan Frida belum kembali, untuk apa senjata itu?

Seorang prajurit penjaga yang menurutku adalah pemimpin mereka menyadari kehadian kami, ia menyungingkan senyum sonbongnya, "ahh...kalian sudah disana? Kemarilah, lihat apa yang kubawa untuk kalian." Ia menunjuk senjata dengan gerakan kepala, "anak buahku akan memanggil teman kalian yang lain."

Aku menatap pria itu dengan curiga lalu mataku teralih saat furcas baru muncul dan memenuhi arena berlatih.

"Baiklah...akan kujelaskan secara singkat. Kalian boleh dan diperbolehkan memilih senjata dan mengambil lebih dari satu. Mau 10? Itu terserah kalian, asal kalian mampu untuk membawanya," Senyum licik mengembang dibibirnya, "bawalah senjata yang kalian inginkan, untuk pertahanan diri kalian." Ia menekan nadanya penuh arti di kalimat terakhir.

Aku melangkah maju, memilih pedang dan busur lalu mengambil beberapa belati untuk berjaga - jaga. Setelah selesai memilih kulirik pria itu, senyum liciknya terlukis manis dibibirnya. Pertahanan katanya? Aku mendengus pelan.

***

Aku menatap langit yang berwarna sedikit kemerahan sebagai tanda matahari mulai menghilang dibawah garis cakrawala.

"Kau tak berlatih?" Tanya Selena sambil duduk disampingku.

Aku mengeleng, "kau sendiri kenapa tidak berlatih?"

"Aku sedang ingin bersantai," Ia tersenyum sambil menatap langit yang sudah benar - benar gelap, "aku ingin melihatmu berlatih sihir malam ini, bolehkah?"

Aku tertawa, "apa yang membuatmu begitu tertarik?"

Selena tersenyum, "kau membekukan pintu itu dengan mudah." Ia menatapku tak melepas sedikit pun senyumnya.

Aku bangkit berdiri, "ayo ke ruangan berlatihku akan kutunjukan apa yang ingin kau lihat." Selena bangkit berdiri dengan antusias.

"Kau yakin aman disini?" Selena menutup pintu lalu berlari kecil mengikutiku.

"Aman. Tidak akan ada yang menyadari kita menghilang dan mengunakan sihir disini." Selena mengangukan kepalanya, dari wajahnya ia terlihat sangat antusias, " Apa yang ingin kau lihat?" Senyumku mengembang.

"Api." Pintanya.

Aku merentangkan kedua tanganku dan kobaran api yang besar menyelimuti seluruh tubuhku. Senyum Selena mengembang, bisa kulihat wajahnya menampakan kekaguman dan bibirnya membentuk 'whoa' tanpa mengeluarkan suara.

"Air?"

Api ditubuhku menghilang saat aku mengayunkan tanganku ke depan dan membuat air menyelimuti tanganku. Sedangkan tanganku yang bebas membuat gelembung - gelembung air yang memenuhi ruangan.

"Whoa.." Selena menatap sekelilingnya, ia berputar untuk melihat gelembung yang mengelilinginya. Ia menyentuh salah satu gelembung, "lembut sekali, menurutku teksturnya sedikit kenyal." Ia memencet gelembung airku lalu diremasnya.

"Gelembung airku tidak mudah pecah, coba buka tanganmu."

Selena membuka tangannya dan tertawa, gelembung yang diremasnya itu tetap menjadi gelembung air.

"Sangat lucu. Apakah mudah membuat semua ini?"

"Lumayan, aku hanya memfokuskan diriku dan membuatnya. Kira - kira seperti itu."

"Semudah itukah?

" Menurutku, ya. Kau harus melatih fokus dan konsentrasimu agar apa yang ingin kau buat bisa terjadi."

"Aku tak yakin bila aku memiliki sihir sepertimu, aku akan melakukannya dengan mudah." Selena menatapku penuh arti, membuatku tertawa.

"Kau ini ya." Aku menghela napas, "aku yakin kalau kau memiliki sihir, kau akan bisa seperti aku. Aku yakin, kau akan berlatih dengan giat untuk bisa mengejarnya. Kau itu anak yang tekun dan pintar." Aku mengedipkan mataku.

Selena tertawa, "menyindirku lagi? Aku tidak sepertimu tahu! kau melakukan semuanya dengan mudah, sedangkan aku? Aku akan kewalahan dulu baru aku bisa." Selena mengerucutkan bibirnya.

"Kau bilang aku menyindirmu? Tidak, Selena. Kau memang pintar." Aku tertawa ketika melihatnya melipat kedua tangannya didada dengan bibir mengerucut.

"Kau kan selalu menyindirku."

Aku tertawa terbahak - bahak kali ini. Memang benar, aku suka menyindirnya dan aku sangat senang menjahili adikku ini demi melihatnya merengut, ia terlihat lucu dan manis.

"Kau harus membedakan sindiranku dan pujianku." Aku menghentikan tawaku, "aku punya hadiah untukmu, tutuplah matamu," Aku melihatnya menatapku dengan penuh curiga dan itu membuatku kembali tertawa, "aku serius, Selena. Kenapa kau tak mempercayainya?"

"Aku tahu, kau dan Tom itu memiliki hobi yang sama yaitu menjahili orang. Dan menurutmu aku akan percaya?"

"Yang kali ini aku bersungguh - sungguh."

Selena menatapku sesaat, menimbang apakah aku sedang bercanda atau tidak dan akhirnya ia berkata, "baiklah aku akan menutup mata, awas saja bila kau menjahiliku." Ia menutup matanya, aku tersenyum tipis.

Aku menutup mataku, kuberi tekanan pada gelembungku dan merubahnya menjadi butiran salju lalu aku merentangkan kedua tanganku untuk menciptakan dinding dan langit - langit ruangan ini menjadi es yang licin dan transparan. Aku membuka mataku untuk melihat hasilnya, aku tersenyum lebar karena aku berhasil membuatnya.

Aku menjentikan jariku lalu salju- salju yang turun itu berkumpul membentuk sebuah pohon lengkap dengan daun dan buah, ya..aku membuat pohon apel.

"Buka matamu."

Selena membuka matanya perlahan lalu ia terdiam sesaat, matanya menjelajahi setiap sudut ruangan yang sudah kusihir itu.

"Kau membuat ini?indah sekali." Ia tersenyum lebar lalu tertawa ketika salju yang turun menyentuhnya.

"Aku tahu kau selalu menyukai musim dingin sehingga aku membuat ini untukmu."

Ia berjalan menuju pohon apel buatanku, ia menyentuh buah apel berwarna pucat dan dingin.

"Ini indah sekali. Apel ini transparan?"

Aku tersenyum dan menganguk, "aku membuatnya transparan." Aku berjalan menghampirinya.

Ia memetik satu apel lalu mengamatinya, "kau membuatnya dengan sempurna."

Aku tersenyum, "aku sedang mencobanya ternyata hasilnya tidak buruk."

Mata Selena membelalak kaget, "kau mencobanya dan hasilnya seperti ini?" Selena mengelengkan kepalanya, "kau sudah berhasil."

"Aku harus berlatih lagi agar sihirku ini menjadi jauh lebih baik dan sempurna."

Selena menatap apel ditangannya, senyum semringah yang tadi terlukis dibibirnya pelan - pelan memudar, membuatku bertanya - tanya dalam hati.

"Berjanjilah padaku satu hal," Ia menatapku serius.

"Berjanji apa?" Keningku bertaut, apa yang dipikirkannya sekarang?

"Berjanjilah kita akan selalu bersama."

"Tentu saja kita akan selalu bersama."

Selena tersenyum tipis, "setelah kematian Clara, aku jadi sedikit takut untuk kehilangan orang yang kusayangi lagi." Ia menunduk, air mata tampak mengalir di pipi mulusnya.

Aku terdiam ditempatku, kematian Clara memang membuat kesedihan dan kehilangan yang begitu dalam dihati kami. Clara adalah keluarga kami satu - satunya, setelah kematian kedua orang tua yang belum pernah kukenal dan kulihat sedari kecil. Clara menjaga dan merawat kami dengan penuh kasih sayang dan selalu memastikan yang terbaik untuk kami. Sejujurnya, aku pun belum rela dengan kepergiannya. Rasa marah masih berkumpul didasar hatiku, aku ingat bagaimana Horace menusuknya berkali - kali. Aku tak akan bisa mengeyahkan kenangan pahit itu.

"Seira, kau membuat badai salju."

Kalimat itu menyadarkanku, dan kulihat ruangan itu semakin dingin dengan badai yang tak sengaja kubuat.

"Emosi, badai salju ini mengikuti emosiku." Gumamku pelan.

Aku mengibaskan tanganku, badai salju itu pun berhenti seketika dan kembali menjadi tenang. Kutatap Selena yang sedikit mengigil akibat badai salju tadi. Kugenggam tangannya lalu kualirkan panas dari elemen apiku untuk menghangatkannya.

Aku tersenyum tipis, "aku janji tak akan pernah meninggalkanmu." Janjiku dengan penuh keyakinan.

Setitik air mata jatuh, aku menghentikan sihirku lalu kuusap air matanya yang jatuh.

"Kau merindukan Clara?"

Ia menganguk, "sangat," Ia terisak.

Kupeluk Selena, "menangislah kalau kau ingin."

Isak tangis Selena pecah dalam pelukanku, kami berdua merindukannya. Tanpa bisa kutahan, air mataku pun jatuh.

"Kita akan selalu bersama." ucapnya disela - sela isakannya.

"Selalu," Kueratkan pelukanku padanya.

Untuk sesaat yang terdengar adalah isakan tangis Selena, tak lama ia melepas pelukanku dan menghapus air matanya, "sudah sedih - sedihnya." Senyum manisnya kembali mengembang.

Aku ikut tersenyum melihatnya, "kau keliatan jelek seabis menangis." ucapku jahil.

Tawa Selena pecah, "kalau kau menangis pasti akan sama jeleknya denganku."

Aku mendengus, "tidak juga, dari dulu aku selalu terlihat cantik dalam situasi apapun."

Tawa Selena memenuhi ruangan, aku pun ikut tertawa mendengar kata - kataku tadi yang menurutku terlalu percaya diri.

Selena memetik buah apel yang pucat dan dingin, "ini cantik sekali."

Aku memetik apel lainnya," aku ingin mencoba sesuatu."

"Apa itu?"

"Merubah apel menjadi sebuah kalung."

Setelah mengucapkan itu, kualirkan energi dalam diriku ke tangan tempat aku memegang apel. Apel itu bersinar pucat sesaat lalu berubah menjadi seperti kristal transparan, didalam apel itu berdiri seorang gadis dengan gaun sepucat es. Aku tertawa melihat hasilku, ini sangat jauh dari apa yang ingin kubuat.

"Ini cantik sekali." ucap Selena penuh kekaguman, ia menyentuhkan jarinya di apel kristal itu.

"Tidak buruk juga hanya saja sangat jauh dari apa yang ingin kubuat." Aku menatap apel kristalku itu dengan teliti.

"Ini sempurna. Dan siapa yang berdiri didalam sana?" Selena memperhatikan dengan seksama.

Sebuah aura gelap yang kurasakan membuat apel kristalku berubah menjadi sepihan salju.

"Kau kenapa, Seira?" Tanyanya ketika melihatku, "kau merasakan sesuatu?"

"Ambil senjatamu, Selena. Kita kedatangan tamu." Aku mengangkat tanganku, dinding dan langit - langit ruangan yang membeku itu retak dan pecah menjadi serpihan salju detik berikutnya salju pun lenyap tak berbekas.

Aku mengambil pedangku yang kuletakkan tak jauh dariku, kami berdua keluar dari ruangan itu dan berpapasan dengan Dean.

"Ambil senjatamu, kita kedatangan tamu." Setelah kalimatku selesai, Dean berlari ke tempat ia menaruh senjatanya.

Aku melangkah menuruni tangga base camp dan berdiri ditengah arena berlatih menunggu tamu yang tak diundang. Aku menatap tajam bangunan sebelah kananku yang biasanya mengarahkan kami menuju ke stadium terkutuk. Dari sudut mataku, kulihat Cedric, Victor dan yang lainnya berlari dengan pedang dan busur siap.

"Ada apa, Seira?"

Kulihat mereka berhasil membuat semua furcas baru turun dengan senjata lengkap dan mereka berdiri dengan bingung.

"Kita akan kedatangan tamu,kawan!Jadi bersiaplah melawan para Ogre."

Setelah mengatakan itu, pintu bangunan itu terbuka para Ogre berhamburan masuk dan langsung membantai setiap orang yang mereka temui. Korban dengan cepat berjatuhan, aku menangkis serangan senjata ogre yang berbentuk seperti sebuah pedang dan kusayat kedua kakinya membuat ogre tersebut ambruk ke tanah lalu menusuknya tepat dijantung mahkluk itu.

Aku berdecih melihat kelicikan penyihir sialan itu, seenaknya saja dia melepaskan ogre di malam hari dan membuat teman - temanku mati. Dan sekarang penyihir itu sedang asyik menonton kami? Keterlaluan!

Dengan kesal, aku membantai sebanyak mungkin ogre yang menghadangku, memenggal kepala mereka dan membuat darah hitam menyiprat ke bajuku.

Sial! Mereka banyak sekali. Apa yang diinginkan penyihir gila itu?! Dimana dia? Aku diam - diam mencari sosoknya, ia tidak berada disekitar bangunan. Menurutku ia berada.... Kulirik atap base camp kami dan benar saja, ia berdiri diatas atap dengan santainya, melihat kami yang mati - matian menghadapi ogre.

Aku memutar pedangku sehingga ujung tajamnya menusuk ogre yang berlari dari belakang untuk menikamku. Ogre tersebut ambruk. Aku mengayunkan pedangku kedepan dan menyayat ogre lain yang menyerangku sebelum tongkat pemukulnya itu mengenai kepalaku. Ogre yang didepanku pun jatuh.

Napasku terengah - engah, kutarik napas melalui hidung lalu membuangnya perlahan melewati mulut. Aku berlari kearah seorang anak perempuan yang tampak kewalahan menghadapi dua ogre sekaligus. Aku melompat dan menusukkan ujung pedangku ke punggung ogre tersebut, ogre itu meraung dan menyapukan kedua tangannya dengan membabi buta. Aku menghindari tebasan tangannya, ketika kulihat ada sedikit cela menguntungkan untukku, kutusuk perut ogre itu dan membuatnya jatuh ke tanah.

"Kau tak apa?" Tanyaku ketika melihat anak perempuan itu sedikit terhuyung.

Ia mengelengkan kepalanya, namun aku segera menangkapnya ketika ia hampir kehilangan keseimbangannya. Dan kulihat rembesan darah di baju depannya, perutnya tertusuk. Aku mengantarkannya ke teras base camp kami, aku menyuruhnya duduk disana dan membiarkanku melindunginya bila salah satu ogre ingin menyerangnya.

Aku sedikit berdebat dengan gadis keras kepala ini, bagaimana ia masih ingin bertarung sedangkan ia hampir sepucat mayat?

"Biar aku yang menjaganya," Seorang gadis dengan noda hitam dibaju nya dan di pipinya itu berjalan dan berdiri disebelahku, "kembalilah dan lawanlah para ogre itu." Aku menganguk lalu kembali ke arena berlatih yang sudah menjadi arena tempur.

"Tutup pintunya!" Perintah seorang laki - laki yang ku lupa namanya.

Beberapa anak mencoba untuk menutup pintu namun dengan banyaknya ogre yang berdatangan membuat beberapa anak itu tersungkur ke lantai.

Kurasakan penyihir itu sudah pergi dari sini dan menuju ke castil, aku bahkan tak merasakan satu orang prajurit pun didekat sini. Ini sudah direncanakan. Aku mendengus kesal ketika terngiang kembali kata - kata pemimpin prajurit Penjaga itu. Mereka ingin membunuh kami dengan cara ini? Benar - benar menyebalkan.

Aku menerjang salah satu ogre berbadan lebih besar dari yang lain, aku berhasil menusuk punggungnya dan membuatnya terhuyung, aku menghindar dari tebasan pemukul bergerigi itu lalu menyayat kakinya. Ogre itu meraung marah, ditebasnya aku dengan pemukul bergeriginya namun aku berhasil menghindar.

Aku menerima pukulan dari kiriku, satu ogre dengan amukan membabi buta itu berlari dan menonjokku. Ogre itu berhasil membuatku terhempas lalu tersungkur ke tanah. Ku muntahkan darah dari mulutku. Sial! Rahangku sakit sekali, sepertinya tergeser. Ketika aku hendak berdiri, seorang ogre menginjak punggungku. Rasa sakitnya membuat penglihatanku membuyar, aku mengelengkan kepalaku.

"Seira!" Teriak Oliver dari ujung arena entah disebelah mana.

Desingan panah mengenai ogre yang menginjakku dan merubuhkannya. Aku bersyukur karenanya. Aku mencoba bangkit berdiri namun rasa sakit yang luar biasa membuatku mengerang. Ini seharusnya sudah remuk, ogre yang begitu bersemangat dan kuat menginjakku. Namun aku beruntung, dengan diriku yang sekarang aku tidak akan dengan mudah mati akibat tulang - tulangku remuk.

Oliver menghadapi ogre yang tadi kulawan, aku kembali mengerang ketika rasa panas serta sakit yang luar biasa menyerangku. Kurasakan suatu yang keras menendang perutku sehingga tubuhku kembali terhempas jauh dan menabrak tanaman yang menghiasi bangunan kiri.

Aku mengambil belati yang kusimpan di sepatu bootku lalu kutusuk kaki ogre yang sangat tidak tahu dirinya telah menendangku itu. Ia mengerang, kuraih pedang yang tadi sempat terjatuh. Dengan erangan aku bangkit berdiri lalu memenggal kepalanya. Ogre itu jatuh ke tanah begitu pula denganku. Aku jatuh berlutut dengan napas terengah - engah. Menahan protes keras punggungku yang berdenyut nyeri dan sakit.

Keringat bercucuran di seluruh tubuhku. Aku mengayunkan pedangku menyayat perut ogre yang dengan lancang ingin memberiku penderitaan lagi. Darah hitam nan menjijikan itu tak ayal mengenai tubuhku. Itu sangat menjijikan.

"Kau bisa berdiri?" Oliver memegang pinggangku dan tangannya yang lain menyampirkan tanganku dilehernya, ia memapahku berdiri.

Aku memutar pedangku lalu menusuk ogre yang menyerang kami dari belakang, tak memperdulikan protes keras dari tubuhku yang sudah remuk ini. Aku mendengar suara seseorang terhempas jatuh, mataku terbelalak ketika melihat Selena yang dilempar oleh ogre hingga menabrak pintu. Aku ingin berlari kearahnya namun Oliver menahannya.

Gon berlari dan membunuh ogre yang menyerang Selena itu, kulihat Dean membantu Selena berdiri.

"Ayo..lukamu cukup parah." Oliver kembali membawaku ke teras base camp, aku duduk di tangga terbawah.

Aku sedikit mengerang ketika kurasakan sakit yang menjalar di tubuhku, sakitnya luar biasa. Aku melihat Oliver membantai ogre yang berlari kearah kami.

Kulihat kekacauan diarena berlatih kami, mayat teman maupun ogre bergelimpangan dimana - mana. Aku tahu jumlah kami yang bertahan cukup banyak, tapi musuh terus berdatangan tanpa henti, mereka sudah terlihat kelelahan. Rasa kesal membuncah dihatiku.

Aku merasa pandanganku membuyar, nyeri di tubuh kembali menyiksaku.

"Seira.." Oliver menahan tubuhku yang hampir kehilangan keseimbangan,"tubuhmu mengeluarkan sinar. "

Informasi itu membuatku binggung, kucoba untuk menghilangkan sinar apapun itu yang menguar dari tubuhku, "sudah hilangkah?"

"Belum."

Aku berdecih, sinar apa itu yang menguar dari tubuhku disaat seperti ini? Aku tak bisa membuatnya menghilang.

"Seira!" Patrick memanggil dan membuatku mengalihkan pandangan ke arahnya, "kau-- hei tubuhmu bersinar, bisakah kau menghilangkannya?" Ia sedikit menoleh ke kanan kiri memastikan tidak ada yang melihat.

Baiklah mereka melihat sinar yang menguar dari tubuhku, entah apa itu aku juga tidak mengerti. Dan bagaimana menghilangkannya? Kurasakan tubuhku menghangat, sakit yang luar biasa itu sedikit berkurang.

"Lu-lukamu.." ucap mereka bersamaan.

Aku menurunkan tatapanku ke arah luka yang tergores ditanganku entah kapan aku mendapatkannya dan sekarang luka itu sudah mengering. Sakit tubuhku pun perlahan mulai menghilang, aku menyembuhkan diri sendiri?

"Sinarmu menghilang," Gumam Oliver.

Jadi kesimpulannya adalah aku menyembuhkan diriku sendiri? Sakit dan nyeri yang tadi kurasakan sudah mereda, aku merasa sudah siap untuk bertempur lagi.

"Kau menyembuhkan dirimu sendiri," ucap Oliver dan Patrick bersamaan.

Aku bangkit berdiri, "ayo kembali ke arena," Aku bangkit berdiri dan berjalan kearena, meninggalkan keduanya yang masih membeku ditempat.

Aku berlari menuju tempat Cedric sedang bertarung, ia terlihat memerlukan bantuan untuk menghadapi empat ogre yang mengepungnya. Kami menyerangnya bersama.

Malam semakin larut, pasukan ogre pun sudah jatuh tak tersisa. Napasku terengah -engah. Aku mengedarkan pandangan kesekeliling untuk mencari Selena dan ketika aku menangkap sosoknya, aku langsung berlari kearahnya.

"Kau baik - baik saja?" Tanyaku khawatir.

"Seperti yang kau lihat, aku baik - baik saja. Dan kau?" Selena meneliti setiap inci diriku, ia tersenyun ketika tak mendapati luka serius di tubuhku.

Aku menganguk, "aku juga baik - baik saja."

"Semuanya, kembali ke base camp!" Perintah Victor dan membuat furcas baru yang selamat masuk ke base camp dan meninggalkan mayat ogre.

Aku berjalan melintasi arena, aku merasakan salah satu ogre masih hidup dan aku benar, ogre jelek itu bangkit dan hampir menusukku namun aku lebih cepat darinya sehingga aku sudah menusuknya terlebih dahulu.

"Ka-kau a-akan te-tetap ma-ti." Desisnya sebelum jatuh ke tanah.

Aku menatap tajam ogre itu sambil menarik pedang yang menusuknya, ogre itu pun jatuh ke tanah. Dia berbicara?

Seseorang menepuk pundakku, aku menoleh dan mendapati Gon berdiri didekatku, "jangan kau pedulikan kata - katanya, ayo kembali." Aku melihat ogre itu sekilas lalu pergi meninggalkannya.

***

"Dia ada disini?" Victor tampak kesal.

Aku menganguk, "kurasa dia yang merencanakan ini semua," Aku menatap keluar jendela.

"Tu-tunggu dulu, aku tak mengerti, kalian membicarakan siapa sekarang? Penyihir siapa?" Gon nampak binggung, ia menatap kami bergantian.

"Roper dan Frida tidak berada disini, dan Seira merasakan aura penyihir kegelapan yang sekuat Roper dan Frida. Penyihir itu sudah sering mengawasi kita." Jelas Niel membuat Patrick dan Gon membeku ditempat.

Hening.

Aku menoleh kejendela ketika merasakan beberapa aura berjalan meninggalkan base camp, entah kemana. Aku menyunggingkan senyum, pelarian sudah dimulai. Akhirnya kelompok yang tanpa sengaja kudengar pembicaraannya itu akhirnya pergi juga. Siapa lagi selanjutnya?

"Apa yang kau lihat?" Tanya Patrick penasaran.

"Beberapa anak yang melarikan diri," Jawabku tanpa mengalihkan pandanganku dari jendela.

Gon mendengus, "semoga beruntung."

"Menurutku penyihir ini cukup sadis, melihat bagaimana ia ingin membunuh kita hari ini. Kita harus selalu waspada." Angela menutup kotak obatnya dan menuruhnya dipojok sekat kami.

"Apapun yang direncanakan penyihir gila itu, sebaiknya kita mencari jalan keluar yang aman dari tempat terkutuk ini." Patrick menatap jendela untuk sesaat sebelum menatap kami dengan serius.

"Kami sudah memiliki rencana sebenarnya," Fred memelankan suaranya, "kalian tahu tentang labirin dekat castil?"

Mata Gon dan Patrick melebar tak percaya, "tidakkah kau ingin mencari jalan lain sebelum keluar melalui labirin itu?" ucap Patrick.

"Kalau ada jalan lain, sejauh ini kami tak menemukannya dan hanya labirin itu satu - satunya harapan." Victor melipat kedua tangannya didepan dada, wajahnya serius.

"Kita cari lagi, oke? Bila kita tidak menemukannya..." Gon mengantung kalimatnya sebelum meneruskan, "kita akan melewati labirin itu."

Kami saling menatap, bukan ide yang buruk bukan? Mencari beberapa altenatif pelarian.

"Sebelum penyihir gila itu muncul, kuharap kita sudah bisa keluar dari tempat ini." ucap Patrick.

***

Holaaaa!!!!

Hayo siapa yang penasaran sama wajahnya Patrick? Hihihi
Nah untuk menjawabnya, mulmed diatas itu..... Patrick!!!^^
Cocokkah dengan imajinasi kalian?(asal yang dibayangin bukan patrick 'star' aja HAHA *sepertinya memang saya yg salah ksh nama#pout*)
Semoga mulmednya tidak mengecewakan ya wkwkkwkwkwk

Terima kasih buat kalian yang sudah membaca dan juga menunggu critaku iniii + buat kalian yang sudah meninggalkan jejak vote & comment, thankyouuuu so much...#nunduk2
Semua itu sangat berarti buatku #bow
Dan untuk kekurangan yang masih sering kubuat seperti typo,tanda baca, EYD yang kurang tepat, maafkan daku #nunduk2lagi
Aku akan berusaha memperbaiki nya :):)

See u in next chapter..

המשך קריאה

You'll Also Like

309K 20.9K 22
Bagaimana jika kamu sedang tidur dengan nyaman, tiba tiba terbangun menjadi kembaran tidak identik antagonis?? Ngerinya adalah para tokoh malah tero...
249K 20.4K 45
⚠️SLOW UPDATE ⚠️ Kisah menyegarkan seorang gadis cantik, pemberani dan pintar bersama peri yang akan memandunya di setiap cerita. Mereka berdua akan...
214K 19.4K 23
Apa yang kamu lakukan jika mengulang waktu kembali? Tabitha Veronika Miller sosok gadis yang diberi kesempatan untuk mengulang waktu kembali, kematia...
3.1M 202K 49
Elisa Latasha Mauren hendak di jual oleh ibu tiri nya ke salah satu rumah wanita malam. Elisa tentu tak terima, ia memilih kabur dari sana dan sialny...