Opera Berdarah (Story Series...

By EnfysRN

27.9K 6.4K 1.3K

Kecintaan enam remaja pada gelapnya kasus kriminal pada akhirnya menimbulkan sebuah petaka: kutukan kematian... More

Prolog
Opera Berdarah
Mereka Yang Pantas Dijemput Kematian
Bukankah Kau Seharusnya Tidak Bisa Melihatku?
Menyaksikan Kematian
Kutukan
Pola Kematian
Mereka Yang Terseret Kematian
Case 1 - Garam dan Merica
Mimpi
Pembunuhan Ruang Tertutup
Garam dan Merica
Case Closed - Pola Kematian Yang Sesungguhnya
Case 2 - Ikan Tanpa Kepala
Orang Yang Tidak Bisa Memancing
Persiapan
Sepuluh Detik
Senar dan Jendela
Perangkap Psikologis
Ikan Tanpa Kepala
Case Closed - Peringatan Sang Kematian
Pengumuman
Case 3 - Kuyang
Analisa Psikologis
Anak Orang Kaya
Petunjuk Pertama
Cilok
Rencana
Sarung Tangan
Penyakit
Delapan Puluh Tujuh
Gila Kehormatan
Naskah
Sedikit Lagi
Merah
Kamar Mayat
Kuyang
Lantai Empat
Queen Sekolah Vinhale
Imajinatif
Satu Lawan Satu
Chaos
Breaking News
Teman
Case Closed - Pertolongan Yang Mendadak
Survey
Case 4 - Dia yang Berdiri di Bawah Hujan
Mainkan Lagi
Kode
Emilia
Awal Mimpi Buruk Mereka Yang Selanjutnya
Bersiap
Rumah Nomor 335
Pipa
(Ekstra) Kaleidoskop 2021
Jari Tangan Manusia
(Ekstra) Giveaway Novel Six Elves
Gilda
Sebuah Alasan Untuk Bertahan
Salah Satu dari Sekian Banyak Kartu
Kura-kura Merah dan Jamur Api
Putri
Dara Ayundari - Bagian Pertama
Dara Ayundari - Bagian Kedua
(Ekstra) Giveaway Novel Six Elves
Telinga dan Tendangan
Tiga Ekor
Pulang
Mereka yang Berdiri di Bawah Hujan

Jalan Keluar

157 33 6
By EnfysRN

Ilman menggaruk tanah, upaya otak untuk menipu badan kalau si pemilik sebetulnya sedang ketakutan. Penyembah setan ... kelompok yang biasanya menjadi plot konyol film horor ternyata betulan ada di tengah-tengah kita?! Putri yang nampak polos, yang mengkerut dahi karena berusaha menghabiskan kudapan dua ribu kalori buatan Dolphy, tadi bicara lengkap sekali tentang seluk beluk organisasi dan apa saja yang dia ketahui. Semuanya—kecuali detail rencana Emilia yang ternyata Putri pun tidak tahu apa-apa.

Ya, kawan, pupus harapan untuk mendapatkan jawaban teka-teki dari Emilia. Pemahaman mereka ternyata setara; paham kalau Emilia sudah tiada, meninggalkan rencana besar yang entah apa ujung dan hasilnya.

"Kau adalah tujuan utama rencana Emilia. Selama kau selamat, apapun yang terjadi kemudian kurasa tidak perlu kita khawatirkan." Tersenyum Gilda, berusaha erat menggenggam tangan Putri padahal yang gemetar tangan dia sendiri.

"Kau benar-benar tidak merasakan apapun?"

Putri menggeleng, padahal Dolphy sedang sekuat tenaga menekan otot betisnya dengan dua buku jari. "Aku bahkan tidak bisa merasakan jarimu menempel atau tidak."

Dolphy menutup mata, perlahan menghela nafas sembari bangkit berdiri. "Kita hanya bisa menyimpulkan kalau otot kakimu mati rasa. Tidak ada bekas suntikan, tidak ada bekas aniaya. Yang aneh itu—" Dolphy menyentuh sedikit sisi betis di mana anjing raksasa memberikan luka pada Putri. Oh, kawan, perempuan itu langsung memekik seolah bola matanya ketumpahan garam. "Kalau memang mati rasa, seharusnya luka ini pun tidak terasa."

"Sudah betul kita segera pulang. Pemeriksaan lebih lanjut di rumah sakit jauh lebih baik, bukan?" Ilman coba mengingatkan, karena istirahat dan ngobrol panjang lebar mereka sudah menghabiskan waktu seharian. Matahari sekarang sudah turun, mengiring kepulangan burung-burung yang terbang kembali ke sangkar. "Oh, semoga api yang menutup jalan pulang sudah padam sekarang."

Gumam Ilman langsung terjawab beberapa saat kemudian, terlihat jelas dari raut wajah Adyth yang tengah berdiri seusai meluncur turun dari atas bukit. Sekian jam berpisah dari rombongan untuk memeriksa kembali jalan pulang mereka yang tertutup api, menyakitkan ternyata kalau hasilnya tetap sama dengan awal mereka pergi.

"Kami bahkan tidak bisa masuk ke dalam koridornya lagi karena sudah sesak penuh asap."

"Rumahnya tidak ikut terbakar?"

Adyth menggeleng. "Menurut Aji yang mengamati dari luar, api hanya membakar pintu menuju ruang bawah tanah saja. Tidak ada titik api di dalam koridor, jadi—yah, rumah itu seharusnya aman."

"Loh, mereka berdua tidak kembali?"

"Perubahan rencana, Phy," Adyth menghela nafas, sedetik kemudian berganti Dolphy yang melakukan. Sudah tahu si beruang cokelat kalau penjelasan dia akan menghasilkan pertentangan. "Kita tidak bisa—"

"—mengharapkan jalan keluar dari dalam rumah itu pada akhirnya terbuka?" potong Dolphy cepat, suaranya meninggi. "Bukankah sudah kubilang kalau hal itu mustahil, Dyth? Dan kalian masih keras kepala menghabiskan sekian jam memutar bukit untuk hal yang sia-sia. Kalau kita pakai untuk berjalan, ke arah mana pun sudah tentu akan ada kemajuan!"

"Ini hutan belantara, anak manja. Salah arah berjalan kau hanya akan masuk makin dalam. Kau pikir berjalan di tengah hutan semudah berjalan di taman raya?"

"Minimal kita dapat sinyal!"

"Kita sudah coba dari atas tebing sana, bukan? Satu-satunya yang kita dapat hanya silau matahari!"

"Oi, cukup!" Ilman melompat, memposisikan dirinya di tengah-tengah antara Adyth dan Dolphy. "Aku akan potong perdebatan kalian di sini. Tenaga kita terbatas, jalan keluar belum punya—tolong jaga otak kalian agar kita semua bisa tetap waras dan tenang," Ilman menepuk bahu Dolphy dan Adyth bergantian. "Sekarang, ceritakan pada kami rencanamu, Dyth. Membiarkan Aji dan Dj bergerak bersama adalah hal paling bodoh yang seharusnya tidak kau lakukan."

"Pintu saluran air yang ada di dalam rumah, lokasinya persis setelah jalur tempat aku dan Dj pertama kali keluar. Jarak dua jalan keluar ini hanya lima belas menit jalan kaki kalau aku tidak salah ingat. Paham? Kita tidak seutuhnya tersesat. Kalau kita menandai tempat ini sebagai barat daya dari rumah sial itu, kita bisa berasumsi kalau arah barat dan selatan bukanlah tempat yang benar karena kita tidak menemukan apapun di tempat ini."

"Oke, berarti masih ada tiga perempat area yang harus kita sisir."

"Satu hal yang kami temukan saat pertama keluar dari dalam saluran: mata air. Pintu masuk ke salurannya dekat dengan mata air yang membentuk sungai kecil. Ini artinya kita hanya perlu jalan terus sampai bertemu dengan sungai kecil."

"Kita berjalan memutar melalui arah tenggara, sementara Aji dan Dj berjalan dari arah barat laut rumah, melingkar sampai kita semua bertemu di sungai yang sama—begitu yang kalian rencanakan, bukan?"

Adyth tertawa kecil, senang dia karena sahut kalimat dari Dolphy menandakan kalau hubungan mereka tetap baik-baik saja. "Sebaiknya kita mulai berjalan sekarang. Berbeda dengan kita, Aji punya telinga yang tajam. Sedikit saja mendengar suara aliran air, mereka berdua sudah pasti akan sampai duluan. Oh, aku tidak meragukan kemampuan mereka, sebetulnya. Namun, mengingat ancaman kematian yang terus menerus datang, termasuk anjing-anjing besar yang entah kapan bisa muncul dalam buas—berdiam diri menunggu kita datang hanya akan menjadi hal yang sangat membahayakan."

✵✵✵

"Kau bisa berlari dengan mata tertutup?!"

Aji terkikik, puas betul melihat wajah Dj yang terkesima. "Kau pikir aku siapa? Si Buta dari Gua Hantu? Mana mungkin aku bisa berlari dengan mata tertutup di hutan selebat ini!"

Tatap balas Dj sebetulnya tidak menunjukkan rasa kesal karena telah dibohongi. Kebalikannya, Dj malah merasa kalau Aji seharusnya mampu. Bola mata hijau yang seolah berpendar di dalam kegelapan, kalau bukan teman sudah tentu Dj akan berpikir kalau Aji ini seorang siluman. "Setidaknya kau bisa melihat dengan jelas dalam gelap."

"Melihat dalam gelap jelas berbeda dengan menutup mata. Kau perlu aku jelaskan?"

"Aku paham, Ji, dan aku juga paham kalau kau juga bisa mendengar lebih jelas dalam sunyi. Jadi tutuplah mulutmu dan fokus saja mencari suara aliran air."

Lagi-lagi anak ini terkekeh padahal posisi dia dan Dj sedang tidak baik-baik saja. Sekarang sudah jam sembilan malam kalau benar jam tangan mereka menunjukkan waktu. Mereka belum bertemu sungainya, belum bertemu teman-teman yang lain, bahkan mereka sendiri tidak yakin sedang mengambil jalan memutar yang benar. Hanya bermodal keyakinan dan semangat—itu saja yang kau dapat dari mereka berdua memang.

Aji mendadak berhenti. "Kau dengar sesuatu?" tanya Dj yang jelas langsung waspada. Bukan hanya air yang akan masuk telinga, bahaya juga bisa ketahuan kapan saja.

"Aku mendengar langkah kaki," gumam Aji yang sekarang memejamkan mata. "Arah sana."

"Anak-anak?"

"Bukan. Yang kudengar hanya—dua orang?" Aji berlutut, menepukkan telapak tangannya ke tanah bergantian kanan dan kiri seolah sedang menirukan suara langkah yang dia dengar. "Satu jalan perlahan, satu lagi—" kini telapak tangannya tak lagi ditepuk. Kawan, Aji sekarang menggosok kedua telapak tangannya bersamaan di tanah. "—suaranya seperti ini, J. Menurutmu ini dua orang?"

"Tidak ada manusia yang bisa berjalan dengan menyeret kakinya di tanah, Ji. Ke arah mana suara itu menuju?"

"Ke sini."

"Fuck," umpat Dj sambil tertawa kecil. Keringat otomatis mengalir dari sekujur tubuhnya. Bukan karena takut, kawan—kau tahu sendiri apa alasannya. Adrenalin, benar. Kau juga pasti tahu apa yang menjadi keputusan Dj sekarang saat Aji bertanya apakah mereka akan lanjut atau berhenti untuk menunggu.

"Kalau anak-anak, kita jadi bisa berkumpul lebih cepat. Kalau lawan—ayolah, Ji, bertarung dalam gelap adalah keahlianmu, bukan? Aku yakin kau juga penasaran bagaimana rasanya bertarung dengan orang yang menutup mata."

Keduanya lantas mengambil tempat yang dirasa cocok untuk bersembunyi. Biarkan dia lewat lalu sergap, sederhananya begitu. Menit demi menit berlalu, sekarang yang bisa mendengar bukan hanya Aji, Dj juga sama. Satu suara langkah konstan yang menginjak dedaunan kering, satu lagi suara berat menggesek tanah persis seperti yang diperagakan Aji. Meskipun belum pasti, tetapi mereka bisa yakin kalau ini bukan teman-teman mereka yang datang. Langkah ini terlalu konstan, terlalu sunyi.

Semakin lama semakin dekat, arahnya dari punggung Dj. Ingin sebetulnya dia berbalik, sayang takutnya sudah terlambat. Kalau sudah dekat yang bisa mendengar bukan cuma mereka, siapapun itu bisa mendengar juga. Bergerak sedikit saja bisa berakibat fatal mengingat musuh dia sebelumnya sangat sensitif dengan suara. Jadilah dia menyerahkan semuanya pada Aji karena arah datang suara itu tepat masuk ke dalam pandangan Aji. Alisnya mengangkat satu, sebuah bahasa tubuh yang berarti beri aku kode dan kita akan sergap dia bersama!

Boro-boro paham dengan kodenya, Aji bahkan tidak melirik ke arah Dj sedikit pun. Matanya seperti terkunci ke arah sumber suara yang sekarang sudah persis di balik pohon tempat mereka sembunyi. Ah, tidak, tidak, kawan, Aji bukan fokus ingin menyerang, tapi karena apa yang ada di depan mata sudah lebih dulu menyerang batin dia. Terlihat sekali wajah Aji yang memucat meskipun kondisi saat itu gelap. Mulut makin lama makin membuka, tenaga yang dia punya seolah tersedot keluar sampai jatuh terduduk teman kita. Mundur, tubuhnya refleks merangkak mundur. Kabur, begitu bahasa tubuh yang terbaca sekelebat oleh Dj.

Refleks Dj berusaha ikut melihat apa yang temannya lihat. Mencuat sedikit mengeluarkan sisi mata—hanya untuk saling tatap dengan makhluk yang tadi sedang melangkah. Wajah Dj sekarang hanya sepuluh senti saja dengan bola mata merah semerah darah. Tatapan tajam yang mengunci; makhluk itu berhasil membuat Dj tertegun dalam ngeri.

"Manusia?" suaranya terdengar sangat berat, seperti suara orang yang sepuluh tahun menderita radang tenggorokan. Ah, kawan, ini sama sekali tidak terdengar lucu, apalagi saat Dj dan Aji sadar kalau orang itu tidak lagi punya tenggorokan. Ada lubang besar di lehernya, terlihat dari baju hitam yang sedikit tersingkap di bagian leher. Suara yang berat dan seram, sekali lagi terdengar oleh mereka berdua, "Apa kau manusia?"

Dj mengencangkan gigi, berusaha melawan rasa ngeri yang muncul karena situasi. Perlahan, keringat mulai keluar bersamaan dengan keberanian untuk membuka suara. "Bangsat, memangnya aku terlihat seperti apa? Capung?"

"Oh, manusia satu-satunya makhluk yang bisa bicara demikian angkuh," ujarnya sambil menarik topi kerucut hitam, memperlihatkan kerut wajah seorang pria tua. "Tersesat? Atau bagian dari kelompok yang menerobos masuk dan sedang mencari jalan keluar?"

"Aku kelompok yang menerobos masuk untuk membunuh orang-orang sepertimu, Pak."

Meskipun situasi saat itu gelap, rasanya mereka bisa melihat lelah di wajah orang tua ini hanya dengan berat hela nafas yang diambil. "Tidak akan selesai cerita kalau cara bicaramu seperti itu. Kalian harus keluar dari hutan ini sebelum tengah malam; pergi saja ke arah aku datang, ikuti jejak yang aku buat, nanti begitu melihat pipa air langsung masuk dan—tidak perlulah aku ceritakan lengkap, seharusnya kalian sudah paham sisa jalurnya bagaimana."

Pria tua itu berpaling, lanjut bergerak menuju arah semula dia berjalan sebelum diganggu dua anak nakal. Hendak lanjut menghardik sebetulnya Dj, tetapi langsung tertelan semua kata-kata yang dia punya setelah paham jejak apa yang pria itu buat—alasan yang sama kenapa Aji begitu ketakutan.

Tiga ekor anjing seukuran singa yang sebelumnya membuat lutut mereka gemetar, kini tersungkur lemah ditarik ekornya, nampak ringan seperti orang sedang menarik daun kelapa. Tentu saja ini menjadi pertanyaan bagi mereka, kawan. Siapa pria tua ini? Kenapa bisa singa-singa itu ada di dalam genggamannya? Terlebih bagi Dj yang tahu dari pakaian yang dikenakan kalau orang itu bagian dari perkumpulan setan—kenapa dia begitu tidak acuh padahal sekian banyak anggota yang lain selalu saja ingin membunuh mereka?

Inilah kenapa kita sepakat memasangkan Aji dan Dj adalah kesalahan besar. Bukannya ingat dengan tujuan awal, bukannya ingat kalau teman-temannya bisa saja dalam masalah karena mencari jalan keluar, bukannya segera pergi menuju tempat yang diarahkan, mereka berdua malah mengikuti pria tua itu dari belakang. Pelan-pelan; menguntit, tidak ingin ketahuan. Bersembunyi dari satu pohon ke pohon lain, sebisa mungkin melayangkan kaki agar tapak tidak terdengar.

"Berhentilah mengikutiku. Kalian akan mati kalau sampai tengah malam belum keluar dari hutan ini."

"Kenapa memangnya, Pak? Kau akan mencambuk kami sampai mati?"

Menoleh sedikit dia untuk memperhatikan dua anak remaja yang sekarang benar sudah mengekor dari belakang. "Aku terkejut kalian bisa sejauh ini tanpa tahu apa-apa."

"Yang kami tahu, anjing-anjingmu hampir mengunyah kaki teman kami, Pak."

"Jantung kami hampir lepas saat melihat mereka pertama kali!" Aji menyentuhkan ujung sepatunya ke salah satu kaki anjing. "Makan apa mereka sampai bisa sebesar ini?"

"Manusia."

"Oh, baik."

"Tidak mengerikan bagi kalian?"

"Kalau hanya sekedar binatang buas pemangsa manusia—sama saja seperti harimau hutan belantara. Sekarang sedang tidak berdaya diseret oleh seorang kakek tua, apa yang harus ditakutkan dari mereka?"

"Kau lebih mengerikan malah, Pak," Aji mempercepat langkah, berusaha menyamakan jarak dengan si pria tua misterius. "Anjing-anjing ini pastilah beratnya ratusan kilogram. Kau pasti sangat kuat sampai bisa menarik tubuh mereka dengan mudah! Kalau kau ajak kami berkelahi, mungkin kami berdua sudah kalah dari tadi!"

"Aku berbeda dari eksekutif yang lain; aku menjunjung tinggi peraturan dan perjanjian," selesai bicara demikian, dia melemparkan tiga ekor anjing itu menjadi satu tumpukan tepat di depan. "Sebaiknya kalian pergi. Berada dekat denganku hanya akan membuat kalian mati."

Akan tetapi Aji dan Dj tidak bergerak pergi. Mereka tertegun memperhatikan anjing-anjing itu; tertelungkup tanpa tenaga. Kalau dipikir-pikir, memang saat pertama kali bertemu anjing-anjing itu pun hanya berjalan perlahan tanpa ada aura permusuhan. Di kacau situasi pertemuan dengan Putri yang asli pun, samar-samar yang teringat anjing-anjing ini bukan sedang menyerang, melainkan berusaha lewat seperti tanpa sengaja menancapkan kuku tajam mereka ke tubuh Putri. Oh, tentu saja fatal, kawan. Baru kaki Putri yang terinjak—bagaimana kalau perut, dada, atau kepala?

"Aku sebetulnya tahu kalau kalian tidak mungkin tersesat. Hutan ini dipilih—tidak, bahkan Easterham dipilih karena tempat ini tidak mungkin ketahuan. Tempat terbaik untuk bersembunyi, sebuah lokasi yang sangat tepat untuk dijadikan markas sebuah organisasi rahasia," sahut si pria tua, mengambil duduk di salah satu akar pohon sambil menatap anjing-anjingnya menggeliat. "Kami sudah bertahan puluhan tahun, betul-betul nyaman sampai tiba-tiba harus memindahkan diri tahun ini. Tahu kenapa? Kalian, itu alasannya. Sekian lama kami berurusan dengan manusia, baru kali ini terpaksa menjauh hanya karena anak-anak muda. Lucu—padahal biasanya tinggal bunuh lalu selesai. Alasan yang tidak jelas dari orang-orang yang lebih atas."

"Berarti kau bukan tergolong orang-orang atas? Kami sedang bicara dengan orang rendah?" kepala Dj lantas ditoyor oleh Aji. "Oh, dan yang terkesan terpaksa menjauh sepertinya hanya kau saja. Teman-teman aneh kau yang lain tetap saja berusaha untuk membunuh kami tadi."

"Siapa? Si buta yang kau temui di dalam rumah utama?"

Alih-alih kaget, Dj malah nyengir. "Kau menyaksikan pertarungan hebat kami?"

"Pertarungan hebat apa? Kau kan langsung pingsan hanya dengan satu kali tendang."

"Uh, bagian itu tadi tidak diceritakan," Aji terkikik, melempar tatap ejekan sambil terus menggosok tangannya sebagai upaya melawan dingin. "Ceritakan hal lain yang lebih seru, Pak! Pasti ada hal lain yang lebih menarik dari sekedar orang-orang kejam berdarah dingin. Oh, kami menemukan rumah aneh di tengah-tengah hutan! Pertama ketemu anjing-anjing ini ya di situ sebetulnya. Koridor penghubung ruang bawah tanah ke aula depan yang menurutku aneh, Pak. Awal saat masuk, kami yakin betul koridornya terlihat normal. Namun, saat ruang bawah tanahnya terbakar, terlihat tulisan mengerikan seolah ditulis dengan darah, seperti—"

"Kalimat perpisahan—"

"—pada iblis dan jin. Tolol sekali," sahut Dj dengan wajah yang benar-benar menyebalkan. "Aku melihat kalian sejak kemarin, berdansa mengelilingi api unggun, mengunyah jari manusia, berteriak memuja-muja iblis, benar-benar seperti kumpulan orang gila calon penghuni neraka. Nalar kalian tidak jalan ya, bisa-bisanya menganggap makhluk begitu betulan ada. Kalau memang hutan ini ada iblis atau jin, coba tolong kau panggilkan satu, Pak!"

"Tidak semua manusia memiliki pikiran yang rasional seperti kalian. Banyak juga yang sudah kehilangan akal demi nafsu keinginan duniawi. Kekayaan, kecerdasan, popularitas; kau ingin tiga wanita cantik atau tiga laki-laki rupawan, apapun yang kau inginkan tinggal sebut saja. Semua kau bisa dapat hanya dengan berdansa sebulan sekali mengelilingi api unggun."

"Terdengar seperti omong kosong."

"Memang sulit untuk percaya, kecuali kau sudah merasakannya sendiri."

"Aku lebih baik mati dengan iman daripada mencicipi sedikit saja keuntungan dari perkumpulan sampah seperti kalian."

Mendadak meledak tawa orang itu, mengagetkan Aji yang sedang menusuk-nusuk salah satu anjing dengan ranting kayu. "Asal kau tahu. hidupmu sehari-hari dipenuhi dengan hasil karya perkumpulan kami. Acara televisi dan semua jenis hiburan yang ada di dalamnya, kau pikir berjalan begitu saja? Restoran dan jaringan hotel mahal, kau pikir tumbuh semudah itu? Politik dalam dan luar negeri, bahkan sampai kontes kecantikan di Easterham ini semuanya ada campur tangan perkumpulan kami. Sebuah rahasia yang seharusnya hanya diketahui orang-orang dalam saja, sebuah rahasia yang seharusnya—"

"—membuat kami mati kalau tahu semua rahasianya?"

Anggukan kepala dari si pria tua kembali membuat Dj tertawa. "Terserah kau saja. Toh dari awal aku mengikutimu bukan untuk mendengar cerita. Oi! Sedang apa kau, Ji?! Awas digigitnya kau nanti!"

Aji, yang tanpa rasa takut sama sekali, saat ini sedang merayap di atas salah satu tubuh anjing yang terbaring. Bertelungkup seperti memeluk, telinganya berpindah dari satu sisi tubuh ke sisi tubuh yang lain. "Aneh," gumam dia. "Aku tidak lagi mendengar suara jantung mereka."

"Sudah mati ternyata, cepat juga," bangkit berdiri dia, berjalan mendekat untuk mengelus salah satu kepala. "Peringatan terakhir dariku: pergilah. Ini bukan ancaman—ini nasihat. Aku berbeda dari eksekutif yang lain; aku menjunjung tinggi peraturan. Peraturannya bilang kalau kalian tidak boleh dibunuh, maka biarlah demikian adanya. Aku berdoa kalian tidak bertemu eksekutif yang lain. Mereka sedang memburu kalian malam ini."

"Kami tidak butuh doa dari seorang penyembah setan, Pak Tua," balas Dj dengan wajah angkuhnya yang biasa. Mata dia berpindah ke Aji yang sekarang berdiri termenung. "Kenapa, Ji? Kebelet pipis?"

Menoleh Aji, mata hijau miliknya tajam terlihat di kegelapan "Suara detaknya kembali."

"Berarti mereka tadi belum mati. Mungkin detak jantungnya mengecil sampai tidak terdengar bahkan oleh telingamu? Ah, tapi tidak mungkin ya? Gelap seperti ini, mana mungkin tidak terdengar oleh kau."

"Ini bukan jantung, J. Ini suara detak yang berbeda, seperti suara detak yang sebelumnya menjadi mimpi buruk kita."

Dj melompat bangkit, mendekat juga berusaha melototkan mata. Aji terlihat sangat serius sekarang, mengalir keringat turun ke dagu. Si pria tua, salah satu eksekutif perkumpulan rahasia, mengangkat tangan sambil tersenyum. Topi kerucut hitam yang dipakainya ikut miring saat kepala mendongak ke arah Dj.

"Aku sudah peringatkan kalian."

DEG!

Kini Dj ikut mendengar suara detak itu. Sekedar mendengar, tidak seperti Aji yang langsung mengetahui titik detaknya: bagian bawah perut. Kawan, di bagian bawah perut anjing-anjing itu ada gumpalan daging besar selebar ukuran ban sepeda.

"Namanya juga perkumpulan rahasia, tentu kami harus menghapus jejak saat hendak berpindah."

"Kau ... kalian punya ramuan dari Frans?!"

"Rumor itu benar, ternyata. Kalian memang orang yang membongkar rencana Frans dan mengalahkan dia. Masuk akal kalau begitu, tidak heran kalian bisa sampai sejauh ini," bangkit berdiri dia, perlahan berjalan memunggungi Aji dan Dj. "Radius ledakan pertama seharusnya satu kilometer. Semoga beruntung."

Sekonyong-konyong Dj melompat, melepaskan pukulan kencang ke arah sekelebat topi kerucut hitam yang tadi berbicara. Aneh, kawan, pukulan Dj sama sekali tidak mendarat. Mengayun saja memukul angin seolah apa yang tadi bicara sedari awal tidak pernah ada di sana.

"Suara detaknya makin kencang, ayo kita pergi!" sudah sekian langkah, Aji baru sadar kalau Dj masih terpaku menatap kosong gelap hutan tempat si pria tua menghilang. "J! Ayo!" Aji menarik lengan kanan Dj, menyeret temannya agar ikut lari dalam kegelapan.

"Kau sudah tahu ke arah mana kita harus pergi?"

"Dia kan tadi sudah bilang!"

"Mana pula aku mendengarkan!"

"Kerjamu cuma menghina saja soalnya!"

"Lah, kau sendiri cuma bengong menghayal!"

"Suaranya makin kencang!" teriak Aji sekuat tenaga seolah sedang menyemangati diri agar berlari makin cepat.

"Kenapa pula kau menuruti kata-kata dia?! Bisa jadi dia hanya membual untuk menipu kita, bukan?! Mana tahu sampai di ujung sana sudah ada teman-temannya untuk—"

Kerah baju Dj dicekik, ditarik sekuat tenaga oleh Aji kemudian dihantamkan ke batang pohon jati paling dekat. Mengaduh temannya, belum sempat membuka mata untuk melihat apa yang terjadi, Aji mencengkram semua rambut Dj untuk dihujamkan sekuat tenaga ke tanah. Temannya yang dia dahulukan; temannya yang duluan dia selamatkan. Padahal, suara ledakan yang terdengar sekarang benar-benar menyakitkan bagi telinga Aji. Sebuah siksaan indera, ibarat klakson truk fuso meledak suaranya tepat di daun telinga kita manusia normal.

Udara di sekitar mereka mendidih. Panas sekali menusuk kulit seperti ribuan silet menyayat sekaligus. Lemas langsung seluruh tenaga Aji, jatuh dia tertelungkup meskipun ledakan sudah berakhir. Dj, yang sadar kalau temannya sedang tersiksa kulit dan telinganya, yang baru sadar juga kalau sekeliling mereka sudah dipenuhi api menjilat sana-sini, berusaha meraih tubuh Aji untuk ditelungkupkan ke punggungnya sendiri.

Hanya sedikit sentuhan saja pada kulit Aji yang sedang sensitif, teman kita itu langsung memekik kencang sekali. "Maaf, kawan, aku tahu rasanya pasti sakit sekali," ujar Dj. Tubuhnya sempoyongan—menggendong Aji di punggung membuat keseimbangan tubuhnya berantakan. Langkahnya tertatih, sementara di kanan-kiri api mengejar dengan cepat membakar daun dan pepohonan.

"Jalan keluar, jalan keluar, berpikirlah otakku! Jarang-jarang aku paksa kau untuk berpikir, kan?!" gumam dia lagi dengan putus asa. Mata perih oleh asap, sesak, keringat mengucur deras juga menghalangi pandangan. Mereka benar-benar dalam masalah sekarang.

"Kuatkan dirimu, kawan! Kau laki-laki!" pekik Dj pada Aji yang terus merintih kesakitan. "Kita harus lari kalau tidak ingin terpanggang di sini!"

Belum juga Aji menemukan kekuatannya kembali, satu masalah nampak di depan mata. Topi hitam kerucut yang tadi bicara dengan mereka, kembali muncul di depan mata. Berdiri dia di atas jalur bekas seretan anjing seolah hendak mengatakan lewati aku kalau kalian ingin hidup.

Bukan, kawan, dia bukan si pria tua yang tadi menyeret anjing. Berbeda dari si pria tua, yang sekarang memakai topi hitam kerucut, juga sedang memakai kain bergambar satu mata yang menutup wajah. Namun, yang membuat dia jauh berbeda adalah postur. Tubuh yang sekarang menghalangi, mungkin tingginya hanya satu meter saja. Entah kenapa, Dj merasa kalau saat ini orang itu sedang menyeringai mengerikan seolah tidak sabar ingin melahap mereka berdua.





Hi!

Jangan lupa untuk meninggalkan vote dan komentar kalau kamu suka cerita ini ya! (^▿^)

Sudah baca sampai chapter ini tapi belum follow? Keterlaluan! Sana follow dulu! ᕙ( ︡'︡益'︠)ง

Oh, dan silahkan bagikan cerita ini kepada kakak, adik, sepupu, keluarga, teman, mantan pacar, tetangga, tukang siomay, tukang bajigur, tukangah, pokoknya ke siapa saja boleh! Ajak mereka untuk ikut asyiknya bertualang memecahkan kasus bersama Six Elves.

Sampai jumpa di chapter berikutnya!

Continue Reading

You'll Also Like

16.3K 940 19
Vasco sangat menyukai kriptografi, pertemuannya dengan Halim dimulai dengan misteri pesan rahasia dari perang dunia itu. Mereka berdua akhirnya terse...
2.5K 957 44
Dalam proses revisi Seorang anak SD bernama Erika Hatcraft ditemukan meninggal dengan luka memar di kepala. Alice Redheart ditetapkan sebagai pelaku...
MEMBAKAR GAIRAH By V.I.P

Mystery / Thriller

149K 581 45
(khusus dewasa) Joshua dan Reinata pernah menjalin hubungan asmara, tapi semuanya kandas karena insiden mengerikan di sebuah hotel. Hingga sepuluh ta...
61K 8.3K 27
AKP ... ah, Komisaris Roy kini harus berhadapan dengan musuh yang mendeklarasikan perang dengannya. Namun, tindakan yang dilakukan Komisaris Roy mala...