Opera Berdarah (Story Series...

By EnfysRN

28K 6.5K 1.3K

Kecintaan enam remaja pada gelapnya kasus kriminal pada akhirnya menimbulkan sebuah petaka: kutukan kematian... More

Prolog
Opera Berdarah
Mereka Yang Pantas Dijemput Kematian
Bukankah Kau Seharusnya Tidak Bisa Melihatku?
Menyaksikan Kematian
Kutukan
Pola Kematian
Mereka Yang Terseret Kematian
Case 1 - Garam dan Merica
Mimpi
Pembunuhan Ruang Tertutup
Garam dan Merica
Case Closed - Pola Kematian Yang Sesungguhnya
Case 2 - Ikan Tanpa Kepala
Orang Yang Tidak Bisa Memancing
Persiapan
Sepuluh Detik
Senar dan Jendela
Perangkap Psikologis
Ikan Tanpa Kepala
Case Closed - Peringatan Sang Kematian
Pengumuman
Case 3 - Kuyang
Analisa Psikologis
Anak Orang Kaya
Petunjuk Pertama
Cilok
Rencana
Sarung Tangan
Penyakit
Delapan Puluh Tujuh
Gila Kehormatan
Naskah
Sedikit Lagi
Merah
Kamar Mayat
Kuyang
Lantai Empat
Queen Sekolah Vinhale
Imajinatif
Satu Lawan Satu
Chaos
Breaking News
Teman
Case Closed - Pertolongan Yang Mendadak
Survey
Case 4 - Dia yang Berdiri di Bawah Hujan
Mainkan Lagi
Kode
Emilia
Awal Mimpi Buruk Mereka Yang Selanjutnya
Bersiap
Rumah Nomor 335
Pipa
(Ekstra) Kaleidoskop 2021
Jari Tangan Manusia
(Ekstra) Giveaway Novel Six Elves
Gilda
Sebuah Alasan Untuk Bertahan
Salah Satu dari Sekian Banyak Kartu
Kura-kura Merah dan Jamur Api
Putri
Dara Ayundari - Bagian Pertama
Dara Ayundari - Bagian Kedua
(Ekstra) Giveaway Novel Six Elves
Telinga dan Tendangan
Tiga Ekor
Mereka yang Berdiri di Bawah Hujan
Jalan Keluar

Pulang

311 51 39
By EnfysRN

Adyth menggenggam pergelangan tangan Ilman, memaksa temannya itu untuk tetap diam di tempat meskipun tiga ekor anjing seukuran singa perlahan makin mendekat. "Setiap detik yang kita punya sangat berharga, Man. Kita hanya akan dapat sedikit waktu kalau kau pancing mereka dari sekarang," menoleh Adyth pada yang lain, yang sedang berkutat berusaha melepas ikatan kencang tali tambang dari leher Putri. "Kalian bisa lebih cepat?"

"Berisik kau beruang cokelat!" pekik Dj kesal, wajahnya merah padam semerah telapak tangan yang mulai perih berusaha memutuskan tali dengan tarikan tenaga saja. "Tenaga kau kan yang paling besar, kenapa tak kau coba sendiri?!"

Lantas Adyth mendorong tubuh Aji dan Gilda ke samping, menyeruak meminta ruang agar lengan berototnya memiliki cukup tempat untuk mengeluarkan tenaga. Sekilas melirik, Adyth langsung tahu simpul ikatan di leher Putri adalah death knot yang sudah terkunci sempurna. Tidak mungkin mengulur lepas, hanya mungkin untuk diputuskan entah dengan bantuan alat atau murni mengandalkan tenaga.

Adyth melilitkan tali dekat leher Putri ke tangan kiri, lalu dia mengulur jarak sejauh mungkin yang rentang tangannya bisa gapai, lalu titik itu dililitkan ke pergelangan tangan kanan. Menghentak kaki Adyth langsung membentuk kuda-kuda, urat leher yang mencuat menjadi pertanda kalau sudah sekuat tenaga dia mencoba. Sayang hanya berakhir sia-sia, hanya berbuah perih di telapak tangan yang merah padam—kini meninggalkan bekas persis rongga talinya.

"Tarik lebih kuat, Dyth!" pinta Dolphy. Adyth tidak menjawab, talk less do more, tanpa diperintah pun dia langsung tarik kembali talinya kuat-kuat.

Pergelutan dengan tali belum selesai, mereka harus membagi panik kembali dengan tiga ekor monster yang sekarang makin dekat. Oh, yakin sekali, kawan, dengan lima kali melompat rahang anjing-anjing itu sudah sampai ke tempat mereka berdiri. Namun, entah kenapa jalan mereka lambat sekali, belum tampak ada tanda-tanda akan menyerang—semoga saja bertahan seperti itu. Entah karena ingin mengusir atau memberi teror, begitu saja sudah cukup memberikan rasa takut dan gugup setengah mati.

Sedekat apapun kematian menghampiri, tidak juga sanggup menggentarkan kuatnya ikatan persahabatan di dalam dada Gilda. Setitik pun tidak terbersit keinginan untuk melangkah pergi meninggalkan Putri. Malah kini makin kencang mendekap, setiap sisi kepala Putri digenggam ke dalam pelukan seolah berusaha memberikan ketenangan dibalik semua panik yang sedang terjadi.

Panik dan tanda tanya, sebetulnya. Ya, di balik semua panik yang sedang terjadi, sempat-sempatnya dia menaruh heran. Heran kenapa lima orang remaja laki-laki yang sama sekali tidak mengenal mereka berdua, mau saja berdiri gagah memasang badan terhadap bahaya yang mengancam. Orang asing tidak seharusnya berbuat demikian, orang asing seharusnya segera pergi menyelamatkan diri.

Ilman tiba-tiba menjejak, lari memisahkan diri dari rombongan setelah memungut beberapa batu tiga kali ukuran buku jari. Merasa sudah cukup jauh, tegap berdiri Ilman di antara dua pohon Kulim yang mengapit. Gugup sudah tentu, gemetar hanya bisa ditelan dalam-dalam. Sudah sepatutnya mempertaruhkan nyawa untuk menyelamatkan nyawa. Bisa—ini bukan kali pertama dia melawan kematian.

"Kemari kalian, anjing busuk!" teriak Ilman sambil melemparkan batu dengan sekuat tenaga. Kena telak tepat di bagian kepala salah satu anjing! Aneh, tapi aneh sekali, kawan. Anjing itu sama sekali tidak berpaling!

"Lempar lagi, Man! Kali ini jangan mengumpat, coba sambil mengucap bismillah!" terdengar pekik Dj dari kejauhan, entah saran betulan atau ejekan konyol seorang teman.

Ilman yang mulai berkeringat dengan panik berlutut meraba tanah, mengambil apapun yang masuk ke dalam jangkauan genggaman. Tegak kembali Ilman bersamaan dengan tuntas membaca bismillah, lantas melayangkan batu dengan lebih kencang sesuai perintah. Tidak hanya satu, kali ini kena dua kepala sekaligus! Masih tidak ada efek, kawan. Anjing-anjing itu tetap melangkah tanpa sedikit pun menoleh seolah batu tadi hanya daun yang jatuh tertiup angin.

Mati, mereka akan mati. Mereka akan dikunyah sampai mati.

Pikiran putus asa itu malah membuahkan nalar baru di kepala Ilman. Konyol, tapi dia kepikiran satu cara yang belum mereka coba untuk melepaskan tali yang mengikat leher Putri. "Adyth!" Ilman berteriak sambil lari kencang ke arah Adyth. "Bantu aku!"

Meskipun bingung karena tidak sesuai rencana, Adyth langsung menangkupkan kedua telapak tangannya menghadap ke atas, diangkat setinggi pinggang. Kecepatan lari Ilman menghasilkan tenaga yang besar saat menjejak telapak tangan Adyth, hanya ditambah sedikit dorongan teman kita ini melompat tinggi sekali sampai kedua tangannya mampu meraih dahan pohon tempat ujung tali tambang terikat. Ilman buru-buru naik, duduk dia di atas dahan dengan cemas, berusaha sedikit demi sedikit melepas ikatan tali yang beruntungnya tidak serumit ikatan yang melilit leher Putri.

"Lepas!"

Gilda tiba-tiba merasa tubuhnya melayang. Pandangan mata yang tadinya ke arah depan menghadap punggung remaja laki-laki berubah menjadi semak belukar dalam satu detik saja. Perlu nalar sebentar untuk sadar kalau Putri tidak lagi dalam dekapan, terpisah mereka dalam jarak satu kepala manusia. Posisi dia yang sekarang sangat tidak nyaman, beberapa kali perutnya harus merasa sakit saat tulang rusuk beradu dengan tulang bahu kekar milik Adyth. Kalau dalam kondisi biasa tentu dia akan berontak habis-habisan; tidak untuk sekarang—malah dia merasa harus berterima kasih pada Adyth yang refleks menggendong dia dan Putri sekaligus.

Sesuai rencana awal, mereka benar-benar lari memutar untuk kembali ke pintu depan tempat mereka berasal. Adyth yang membuka jalan terpaksa merelakan tubuhnya tergores ranting dan belukar saat menembus keluar. Ah, luka kecil ini tidak sebanding dengan rasa lega karena tiga hewan mistis itu sudah jauh berjalan pergi. Satu-satunya yang terlihat di jalur setapak yang tadi mencekam adalah Ilman yang sedang setengah berlari dengan tersenyum lebar.

"Aku tidak menyangka kalau otakmu bisa dipakai juga kadang-kadang!" ujar Dj sambil mengacak-ngacak rambut Ilman yang pirang.

"Ya, ayo kita pulang, teman-teman," jawab Ilman yang lebih dahulu menggenggam daun pintu. Senang betul rasanya, terlebih saat melihat Putri sudah bisa tertawa kecil saat mendengar bisik suara Gilda. Entah apa yang sedang mereka bicarakan di belakang punggung Adyth, yang jelas, malam nanti mereka bisa lanjut mengobrol sampai pagi begitu keluar dari tempat mengerikan ini.

Tegap langkah mereka di dalam rumah juga menjadi bendera baru bagi Six Elves. Ini bendera pertama yang mereka kibarkan tanpa kehadiran sang kapten. Kalau diibaratkan makanan, ada sedikit rasa kecut yang timbul diujung—seperti kehilangan rasa yang seharusnya ada. Ah, biarlah, toh Naufal pun akan tersenyum saat mendengar cerita seru mereka bertemu banyak hal misterius.

Aku paham kalau kalian mungkin sedikit kecewa, teman. Kenapa tidak mereka kejar anjing-anjing itu? Rumah misterius ini juga, kenapa langsung pulang begitu saja?! Ini misteri besar yang mereka temukan—dududu, santai dulu.

Begitu masuk ke koridor panjang di dalam rumah, Aji langsung mengangkat kepala—refleks menutup hidung seolah ada yang mengganggu indera penciumannya. Adyth—yang berjalan paling belakang—dengan amat jelas melihat perubahan sikap tubuh Aji ini. Sikap refleks yang menjadi ciri kalau ada hal asing terdeteksi oleh temannya itu, sebuah ciri kalau masalah mereka belum berakhir.

"Kau kenapa?" Adyth pada akhirnya bertanya karena sekarang Aji menggosok lengan berulang kali seolah ada yang menempel di sana.

Aji menggeleng. "Mungkin perasaanku saja, tapi kok rasanya hawa di tempat ini panas sekali ya? Perasaan tadi tidak sepanas ini."

"Nanti kau berendamlah di dalam saluran pembuangan itu, Ji. Aku jamin akan segar sekali rasanya."

Namun, Dj harus menelan kembali ejekan yang dia buat barusan. Bukan karena Aji tersinggung, melainkan karena tidak mungkin mereka masuk menuju saluran bawah tanah. Oh, kawan, berkilat-kilat cahaya oranye di bola mata mereka sekarang. Lega dan tenang yang tadi mengisi hati, semuanya luluh hangus terbakar bersama setiap sisi ruangan misterius yang seharusnya menjadi jalan keluar mereka.

Angin panas berhembus menerpa kulit wajah, tetapi keringat dingin yang justru menetes ke ujung tulang pipi mereka. Hati yang lemah kembali mengaduh, menggeram kesal karena jalan keluar paling dekat mendadak hilang begitu saja. Ini—lucu, benar-benar menggelitik sampai rasanya mereka ingin tertawa bersama. Mau sejauh apa lagi takdir mempermainkan mereka? Setengah mati kesulitan dan pada akhirnya bisa menemukan orang yang dicari, sekarang jalan keluarnya tiba-tiba terbakar tanpa alasan yang jelas padahal belum sampai setengah jam mereka tadi melewati tempat itu.

Asap hitam pekat hasil pembakaran mulai mengalir masuk koridor, sementara mereka bertujuh masih diam di tempat seolah terhipnotis dengan nyala kuning-oranye yang terus menarikan bahasa sindiran. Ya, seolah sedang menghantam girang mereka barusan dengan sebuah kalimat sinis: kau pikir akan semudah itu keluar dari sini?

Getar kencang di pergelangan tangan refleks membuat mereka terperanjat, memaksa kesadaran untuk segera berpaling kepada angka yang muncul di permukaan layar. Warna merah, hitung mundur dari 95, 94, ... dan terus cepat menurun sampai angka 90. "Keluar! Ayo keluar!" Pekik Dolphy yang paham betul bahaya sedang mengancam mereka.

Yang lain langsung paham, langsung berbalik ke arah pintu depan, kecuali Aji—kini sedang berjongkok di lantai dengan leher menekuk, wajah menghadap ke atas. Ini tanda yang paling gawat, Adyth—dan Six Elves yang lain seandainya mereka juga sadar lebih awal—hafal betul dengan perubahan sikap Aji sekarang. Seorang Aji mengabaikan gangguan pada inderanya yang tajam, sudah tentu karena ada hal lain yang lebih parah yang menarik perhatiannya. Serentak mereka semua menoleh ke atas, ke arah langit-langit kusam penuh dengan coretan warna merah menyala.

Kepada iblis dan semua jin yang bersemayam di hutan ini, kami pamit. Biarkan api neraka menjadi pertanda kebangkitan awal kejayaan kita.

"Si bangsat ini konyol sekali," umpat Dj setelah tuntas membaca. Dia kembali menutup hidung dengan tangan kiri, sementara tangan kanannya digunakan untuk menyeret tubuh Aji sampai temannya itu tegak berdiri. "Api neraka? Awal kejayaan? Dukun pun tahu kalau api neraka itu hukuman Tuhan, bukan genderang perang!"

"Kau bisa ruqyah dia kalau nanti ketemu," komentar Ilman yang sekarang membukakan pintu menuju ruang depan.

"Atau aku bantu kirim menemui kematian terlebih dahulu, biar dia cicip pedihnya azab kubur karena durhaka kepada Tuhan," Dj memukul telapak tangannya sendiri dengan geram. "Cepat bergerak Aji! Kau mau aku kurung di dalam sana?!"

Aji yang sedang berjalan pelan sembari menghadap ke belakang, buru-buru lari menyusul. Dibantu Dj, mereka berdua menutup pintu besar menuju koridor dengan rapat. Sekilas melihat sekeliling, belum terlihat asap hitam berhasil menembus ke sana. Tentu mereka langsung berjalan keluar tanpa perlu komando, tanpa perlu banyak tanya. Berhenti sekedar istirahat tidak ada di dalam kepala mereka, insting bertahan hidup mana yang mengizinkan tubuh beristirahat di rumah yang sebentar lagi akan terbakar?

Insting itu pula yang mengajak kaki untuk langsung melangkah menyusuri jalan setapak yang entah siapa membuat; jalan setapak yang sama yang diambil oleh tiga ekor anjing raksasa tadi. Dolphy menghela nafas panjang tepat saat melewati tali tambang, teringat kembali bagaimana nyawa seorang manusia hampir berakhir di ujung ikatannya. Ilman datang, mendorong punggung Dolphy sekalian mendorong keberanian untuk melahap habis gambaran di dalam kepala. Senyum teman kita yang berambut pirang ini seolah sedang berkata, bukan pertama kalinya berurusan dengan kematian, bukan?

"Hai," Adyth berjalan mendekat ke arah Putri yang terseok menarik kaki alih-alih berjalan. Satu-satunya harapan dia bisa lanjut melangkah adalah rangkul tangan Gilda. "Aku bisa menggendongmu lagi kalau kau mau. Oh, niatku baik, tentu saja! Tidak ada maksud tersembunyi, murni demi efisiensi dan hemat tenaga kita semua."

"Aku baik-baik saja, terima kasih," Putri tersenyum, menghargai penawaran itu dengan positif. Tidak seperti teman-teman Adyth, malah melotot penuh curiga meski sejenak kemudian berubah menjadi gelak tawa ejekan. Ah, tawa yang sebentar—setidaknya bagi Dolphy. Entah kenapa dia merasa ada yang aneh dengan gelagat Putri. Ingin memuaskan curiga dengan banyak bertanya, sayang tidak mungkin keinginan egois itu terlaksana. Bisa hancur merusak suasana bahagia dan lega dari Gilda.

Setapak yang mereka telusuri makin lama makin lebar, sekarang malah bisa dilalui mobil sekiranya jalan tidak berundak karena akar pohon. Bukan hanya Dolphy kali ini, mereka berlima merasakan aneh yang sama. Jarak antar semak yang demikian lebar—siapa yang membuat? Tidak mungkin oleh alam, setapak ini bekas dipijak berulang kali. Uh, memendam tanda tanya begini adalah hal yang keliru, kawan. Rasanya sesuatu yang buruk sebentar lagi akan terjadi.

Langkah mereka terpaksa berhenti. Jalan yang tadi nyaman dilalui, berujung pada curam turunan tanah liat yang sudah mengeras. Tidak bisa lanjut berjalan, terlebih dahulu kau harus merangkak turun, menggunakan pantat untuk meluncur sampai tanah kembali datar. Terdengar seru, bukan? Apalagi pilihan yang kalian punya kalau menapakkan kaki hanya akan berbuah celaka?

"Apa itu?"

Dj kembali berdiri, padahal dia sudah menekuk lutut hendak turun lebih dahulu. Menyipit mata mereka semua berusaha melihat apa yang Aji lihat dengan mata tajam dia. Di balik rimbun dedaunan pohon di bawah sana, sekelebat bayang seorang perempuan terlihat sedang berbaring tepat di tengah-tengah jalan setapak. Terpisah sepuluh meter, berjalan mendekat tiga ekor anjing raksasa yang tadi sempat membuat mereka jantungan. Rahang anjing-anjing ini sudah setengah membuka, memberi ruang menetesnya air liur, memberikan bercak pada jejak kaki di tanah seiring detik demi detik terbuang.

Yang berbaring di sana akhirnya sadar juga kalau ada bahaya sedang mendekat. Menoleh sedikit lalu menelungkupkan badan, sekarang berusaha sekuat tenaga untuk bangkit dengan bantuan siku tangan, "To-tolong!" pekiknya tertahan, berusaha merayap dengan dengkul menyapu tanah. Percuma, tenaganya tidak lagi ada. Geraknya kalah jauh dengan langkah tiga anjing di belakang, dan dengan suara teriak macam itu ... siapa yang akan mendengar?

Kecuali Aji. Betul, Aji dapat mendengar rintih putus asa itu dari atas bukit berkat telinganya yang tajam. Alih-alih segera menolong, atau meminta agar keempat temannya yang lain untuk segera menolong, Aji malah diam di tempat. Kawan, keringat dingin perlahan mengalir dari dahinya. Perempuan di bawah tidaklah asing, malah seharusnya tidak ada di bawah sana. Perempuan itu—seharusnya ada di sebelah dia, bukan?

Aji menoleh, pandangan matanya bertemu dengan Putri. Tidak lagi terlihat wajah lesu orang yang sempat hampir direnggut kematian; ekspresi yang tadi menghias kini berganti seringai mengerikan seolah memberikan ejekan pada Aji kenapa dia baru sadar sekarang. Dingin mengalir di seluruh tulang, menusuk bersama seringai yang makin dalam makin menakutkan. Baru hilang perasaan itu setelah pecah sebuah teriak kesakitan, terbawa angin dari mulut seorang perempuan yang kakinya dicabik anjing ukuran besar.

Tubuh Ilman yang duluan bergerak, berlari sekuat tenaga menuruni bukit curam tanpa ngeri akan terjungkal. Makin ke bawah makin cepat, pergelangan kakinya sampai menekuk jauh ke dalam, memberikan ruang pada otot betis untuk kembali melesat setibanya di permukaan datar. Dia benar-benar cepat, kawan, sangat cepat sampai anjing-anjing itu tidak menyadari kedatangannya. Sadar-sadar sekian detik kemudian, saat Ilman selesai berputar di udara, menghantamkan tendangan berputar tepat mengenai tengkorak kepala anjing yang paling depan.

Hewan mengerikan itu langsung jatuh terkapar di tanah, darah mengalir keluar dari sela-sela mulut dan hidungnya, setengah sadar merintih terkaing-kaing seperti anak anjing yang terlindas kendaraan. Masih tegap badan Ilman, berdiri memunggungi perempuan malang yang masih meringis kesakitan, siap lanjut melawan dua ekor lagi meskipun belum yakin dia bisa menang. Gigi mengatup menahan gemetar, tubuh kecil Ilman sebetulnya tampak kontras dengan gemuk besar anjing-anjing itu. Oh, seandainya Adyth dan Dj bisa menyusul lebih cepat, mungkin dia tidak akan khawatir seperti ini. Ilman seperti bunuh diri—keburu dikunyah karena tubuh dia hanya sekian jengkal saja dari moncong.

Namun, jangankan menggigit, tiga anjing ini malah langsung angkat kaki melompat masuk ke lebat belukar, meninggalkan Ilman yang termenung dalam bingung. Sudah, begitu saja? Entah kenapa dia tidak merasa lega, malah makin membesarkan rasa ganjal yang sedari tadi ada.

"Tendanganmu makin hebat, Man!" puji Dj dengan wajah sumringah. Kau yang kenal dengan Dj tentu tahu kalau dia jarang sekali memberikan pujian langsung. "Sekali hajar kau bisa menakuti tiga-tiganya langsung!"

"Kau tidak apa-apa?" tanya Adyth yang langsung berlutut di samping si perempuan. Tidak mungkin tidak apa-apa, kawan. Ada empat luka garis memanjang di betis sebelah kiri, merah betul karena kulitnya sudah sempurna terkelupas. "Seharusnya tidak terlalu dalam, semoga tidak sampai merobek struktur ototmu. Oh, semoga Dolphy membawa—"

Putus ocehan Adyth saat sadar dengan siapa dia sedang berbicara. Dia—bersama Ilman dan Dj—baru sadar kalau perempuan ini memiliki raut wajah yang sama persis dengan Putri. Ya, kawan, Putri yang kini masih berdiri di atas tebing bersama Gilda dan Aji. Seratus persen mirip, tidak akan kau temukan perbedaan selekat apapun kau mengamati.

"Tuhan, beruntunglah aku selalu membawa peralatan luka," gumam Dolphy yang baru sampai, mengeluarkan cairan pembersih luka dari dalam tas dan gulungan pembebat. "Tahan sedikit, ini akan perih. Uh, kuharap anjing-anjing itu tidak membawa penyakit. Akan beda ceritanya kalau kau sampai terinfeksi rabies atau—"

Dj memutar leher Dolphy padahal temannya itu belum selesai menggulungkan perban. Mata Dolphy bertemu dengan tatap mata Putri yang satu lagi, sekonyong-konyong anak orang kaya ini berteriak seperti melihat hantu. Respon selanjutnya sudah tentu sama: melempar pandangan kembali ke arah puncak tebing. Oh, kawan, Putri yang ada di atas sana, kini sedang tertawa terbahak-bahak seolah kejadian yang sedang menimpa adalah lelucon konyol parodi drama.

Gilda—satu-satunya dari mereka yang belum menyadari apa yang terjadi—menepuk pundak perempuan di sebelahnya dengan niat memberi teguran. "Kau lega karena anjing itu batal menyerang kita? Menghela saja, Putri. Menertawakan kisah buruk orang lain bukan hal yang terpuji, ini seperti bukan kau yang biasanya."

"Karena aku memang bukan temanmu, bodoh."

Wajah Gilda langsung pahit, rasanya habis dihantam puluhan besi sekaligus. "A-apa maksudmu?"

Tidak menjawab Putri, malah sekarang sedang mencubit pipinya sendiri dengan tangan kanan. Oh, bukan mencubit ternyata, kawan, Putri sedang menarik kulit wajahnya yang entah bagaimana bisa melar seperti karet. Perlahan tetapi pasti, kulit wajah Putri robek sedikit demi sedikit, memberikan bentuk visual wajah seorang wanita yang sama sekali tidak Gilda kenal.

Sempurna terlepas topeng kulit yang tadi melekat, kini senyum mengerikan yang tadi tersembunyi makin jelas terlihat. Dia—sama sekali bukan Putri. Semua dialog haru saat Gilda pertama bertemu kembali—semua hanya rekayasa. "Kau si-siapa?" Basah sudah mata Gilda sekarang, tinggal menunggu penuh untuk turun menjadi tangis air mata. Bahkan seorang gadis tangguh bisa luluh juga setelah sadar kalau sahabat yang dikira sudah selamat ternyata adalah jebakan busuk buah sandiwara seseorang.

Sedih gurat wajah Gilda malah menghasilkan gelak tawa kembali bagi si wanita misterius. "Seorang eksekutif. Sayangnya aku tidak bisa memberitahukan namaku padamu, cantik. Aku takut aku harus membunuhmu kalau rahasia itu sampai bocor," kulit wajah Putri yang tadi dia pakai, dibentuk menjadi gumpalan kemudian disimpan ke dalam jaket. "Aku seharusnya mengambil kehidupan Putri seandainya mulus rencana kami."

Mengambil kehidupan Putri?! Apa maksudmu?!

Ingin berteriak begitu sebetulnya Gilda, entah kenapa kata-kata tersebut hanya muncul di dalam kepala saja. Tubuhnya yang sekarang tidak berhenti gemetar, baik dia maupun Aji tidak sanggup bergerak seolah terhipnotis dengan senyum mengerikan lawan mereka.

"Padahal sandiwaraku sudah sangat sempurna. Tidak ada satu pun dari kalian yang sadar kalau aku ini palsu, bukan? Ah, sayang sekali padahal tinggal selangkah lagi. Sekiranya kalian lebih lama ketakutan saat melihat anjing-anjing itu, atau lebih lama termangu saat nyala api di rumah kosong menutup jalan keluar tercepat, atau—lebih lama lagi tenggelam dalam bimbang barusan, tentu kita akan bisa bersama-sama menyaksikan pergantian pemeran si Putri yang sudah kami rencanakan. Duh, keberanian kadang memang membawa celaka. Seandainya kalian menurut saja pada skenario kami, tentu akan aku antar ke jalan pulang dan kalian bisa melanjutkan hidup dengan aman sentosa."

Baik Aji maupun Gilda, keduanya tidak ada yang paham dengan apa yang diucapkan kepada mereka. Raut panik dan terkejut tidak berubah juga, masih menatap kosong seolah mereka ini anak ayam yang sedang tersesat, tanpa sengaja mengantar nyawa masuk ke sarang ular ganas. Sang ular? Kembali tertawa karena nafsu makannya hilang kalau terlalu mudah mendapat mangsa.

"Kita lihat seberapa banyak keberuntungan kalian yang tersisa. Paling lama dua hari kalau kalian luar biasa—begitu kata si jalang Emilia, bukan? Itu artinya waktu yang kalian punya hanya tinggal satu malam ini saja. Eh, kenapa? Kau mau bilang sesuatu?"

Gilda menggulung erat kedua tangannya. Semua rasa takut yang hinggap tiba-tiba bergulung dengan kesal. "Jangan hina sahabatku!" teriaknya sambil melotot.

Oh, kawan, hanya dengan satu teriakan singkat begitu tentu tidak akan cukup untuk menghancurkan wanita yang ada di depan. Malah, satu genggaman tangan mengapit dagu Gilda, keras mengatupkan bibir yang tadi mengeluarkan tinggi nada bicara. "Orang yang sudah mati biar saja mati, kau puji jutaan kali pun dia tidak akan hidup lagi. Bangsat, inilah kenapa aku benci dengan seorang pahlawan."

Wanita itu mendorong Gilda ke ujung jurang—kepala duluan. Sekejap yang terlihat mata hanyalah awan abu-abu menghias langit, lantas mengedip dan berubah menjadi gumpalan tanah. Awan lagi, tanah lagi, sebelum akhirnya tubuh Gilda ditangkap oleh Adyth.

"Aji!"

Gilda coba kembali membuka mata. Terlihat olehnya tubuh Aji yang sedang jatuh berputar dari atas sama seperti dia. Mendadak gelap, pandangan matanya tertutup bayang Ilman dan Dj yang sedang melompati tubuhnya. Dengan sigap mereka menangkap tubuh Aji ke dalam pelukan. Sayangnya mereka berdua tidak cukup kuat, malah kehilangan keseimbangan lalu jatuh bersama menjadikan tubuh mereka alas bagi Aji untuk mendarat.

Sakit di tubuh mereka tidak lagi dihiraukan. Mata langsung otomatis memandang ke atas bukit, ke arah wanita yang tadi menyamar sebagai Putri seharusnya berdiri. Tidak, dia tidak ada lagi di sana. Pergi kah? Kabur? Atau sedang mempersiapkan jebakan tidak masuk akal lain yang tak kalah mengerikan?

"Tidak, Dj! Jangan susul dia!" Adyth berusaha menahan Dj yang berkutat hendak mendaki curam bukit di depan mereka.

"Lalu kau ingin aku apa, hah?! Diam di sini untuk ketakutan dan meminta belas kasihan?! Kita sudah menemukan musuh kita, Dyth! Hajar!"

"Kau dengar apa yang dia tadi bilang, kan?! Waktu kita hanya satu malam lagi untuk keluar dari tempat ini!"

"Dia berhasil menipu kita, beruang cokelat! Kau mau percaya dengan gertakan musuh yang baru saja menipumu habis-habisan?!"

Ditambah Ilman yang sekarang ikut masuk ke dalam perdebatan, Gilda merasa telinganya mulai berdenging. Apa sebetulnya yang terjadi? Bukankah tadi Putri, satu-satunya sahabat yang tersisa, sudah ada di dalam pelukannya? Bukankah mereka tinggal cari jalan keluar lalu pulang dengan kebahagiaan? Dia sedang ditipu? Kenapa dia ditipu? Bukan hanya ditipu, ini—sedang dipermainkan. Terlebih saat wajah Putri yang tadi seharusnya sudah robek dan pergi, sekarang malah muncul lagi di depan mata. Nada wajah yang sama: pilu seolah lama merindu, perih seolah sedang berbagi perih dan derita yang sama dengan Gilda.

"Gilda! Gilda! Kau tidak apa-apa, kan? Kau—kenapa bisa ada di tempat ini?"

Tipuan, ini pasti tipuan. Kalimat penuh kekhawatiran itu pasti hanya tipuan.

"Gilda! Kau dengar aku, kan? Ada yang sakit? Kepalamu tidak apa-apa?"

Ya, wajah khawatir itupastilah hanya tipuan.

Gilda bangkit, berusaha duduk di atas tumpukan tanah merah menyelaraskan kembali akal kepalanya agar kembali waras. Belum juga sempurna, tubuhnya langsung disambar dengan pelukan erat. "Gilda," peluk itu membuahkan tangis. "Aku tidak mengerti kenapa kau ada di tempat ini, tetapi aku benar-benar senang karena bisa bertemu denganmu lagi."

Menggeram Gilda, mendorong tubuh perempuan yang memeluknya dengan erat sampai jatuh tersungkur. "Tidak," ucapnya perlahan, menggaruk sisi kepala sembari menarik-narik rambut. "Kau bukan Putri—bukan!"

"Gilda, ini aku! Putri! Aku—"

Kawan, niat untuk menjelaskan barusan langsung hilang begitu matanya dan mata Gilda saling tatap. Mata melotot Gilda benar-benar menunjukkan rasa takut sungguhan; sebuah sorot mata perlawanan yang biasa diberikan kepada musuh—bukan kepada teman.

Mendapat reaksi demikian, perempuan yang tersungkur dengan kaki terbebat perban di depan Gilda kembali meneteskan air mata. "Kau tidak mengenaliku, Gilda?"

"Kau pasti salah satu dari mereka."

Bibir Putri langsung tergulung, perih hati yang dia rasa keluar semua bersama air mata. "Kalau pun demikian, apa aku bukan lagi temanmu, Gilda?"

"Ada satu hal yang hanya aku, Emilia, dan Putri yang tahu. Kami tidak pernah sekali pun membicarakannya lagi, tetapi—"

"Jembatan sungai Easterham di bagian utara kota, kita bertemu di umur delapan tahun. Kita berdiri di tepi pegangan jembatan, siap melompat ke bawah saat matahari—"

Gilda melompat, memeluk sahabatnya sampai mereka berdua tersungkur bersama ke tanah. "Putri! Aku mencari kau dan Emilia sejak Januari!" teriak Gilda tepat di telinga Putri, bersahutan dengan isak sedih. "Tadi ada orang yang menyamar menjadi kau, tiba-tiba tertawa padahal ... padahal—"

Perempuan yang tadi gagah berani di dalam saluran, lepas sudah semua tangisnya karena kembali merasakan hangat peluk sahabat. Betul, ini memang betul Putri yang dia kenal. Dekap erat ini, sentuhan penuh kasih sayang ini—oh, betapa lega hati Gilda karena satu teman yang tersisa memang benar masih bernyawa.

"Kondisinya makin tidak masuk akal, Phy," ujar Adyth, bergerak mendekati Dolphy yang sedang berdiri di bawah pohon. Tiga yang lain mengikuti, sepakat tanpa isyarat kalau mereka harus memberikan waktu sendiri bagi dua sahabat yang akhirnya bertemu kembali. "Jadi, Putri yang pertama itu—entah siapa yang sedang menyamar?"

Dolphy menunduk, wajahnya terbenam diantara dua telapak tangan. "Aku pun masih mencerna apa yang sedang terjadi, kawan," kini terangkat kembali, menunjukkan kerut di sekitar bibirnya yang tebal. "Kupikir akan sesimpel temukan dan bawa pulang. Ini—terlalu rumit, banyak sekali misteri yang tidak masuk akal. Rumah itu, anjing-anjing itu, lalu ... dua orang Putri; yang satu pura-pura akan dimakan anjing dan yang satu benar-benar akan dikunyah. Tempat ini membuatku gila."

"Mungkin sebaiknya kita jangan terlalu memikirkan hal aneh yang terjadi, fokus saja dengan tujuan awal: pulang," usul Ilman dengan amat sangat masuk akal. "Semua tanda tanya ini akan lebih mudah terurai kalau kita pikirkan sebagai enam orang."

"Kau punya ide ke mana kita harus berjalan?"

Jelas Ilman langsung menggelengkan kepala.

"Tidak perlu ada tujuan. Terus saja berjalan sampai kita menemukan sinyal," Dolphy mengayunkan ponselnya di udara. "Entah jaringan untuk menelepon bantuan atau mengakses peta, seharusnya kalau terus berjalan kita bisa temukan segera."

"Oi, gadis-gadis! Sudah cukup bermain teletubbies—ayo kita lanjut bergerak! Jalan pulang masih jauh, bukan?"

Mendengar itu, segala ekspresi yang tadi melekat di wajah Putri langsung menghilang.

"Ha-harus segera pulang. Kita harus segera pergi sebelum matahari muncul kembali besok pagi."



Hi!

Jangan lupa untuk meninggalkan vote dan komentar kalau kamu suka cerita ini ya! (^▿^)

Sudah baca sampai chapter ini tapi belum follow? Keterlaluan! Sana follow dulu! ᕙ( ︡'︡益'︠)ง

Oh, dan silahkan bagikan cerita ini kepada kakak, adik, sepupu, keluarga, teman, mantan pacar, tetangga, tukang siomay, tukang bajigur, tukangah, pokoknya ke siapa saja boleh! Ajak mereka untuk ikut asyiknya bertualang memecahkan kasus bersama Six Elves.

Sampai jumpa di chapter berikutnya!

Continue Reading

You'll Also Like

S E L E C T E D By mongmong09

Mystery / Thriller

312K 16.5K 30
Tentang obsesi seorang pria misterius terhadap seorang gadis yang menolongnya. ---------------------------------------------------- Raina Karlova, se...
KANAGARA [END] By isma_rh

Mystery / Thriller

7.4M 541K 93
[Telah Terbit di Penerbit Galaxy Media] "Dia berdarah, lo mati." Cerita tawuran antar geng murid SMA satu tahun lalu sempat beredar hingga gempar, me...
27.4K 2.7K 7
{OCEAN SERIES 4} Stefano de Luciano Oćean, pria berkuasa yang memiliki segalanya. Darah seorang Oćean yang mengalir dalam tubuhnya, membuatnya tumbuh...
187K 5.4K 49
[Wajib VOTE Sebelum Membaca] The Billionaire Prison [Love is Difficult] Sungai Thames, London. 📌 "Bersihkan semua, jangan sampai ada yang tertinggal...