JUNI ( COMPLETE )

By sourmatchalatte

121K 5.4K 475

- Kinaya sudah memantapkan diri untuk tidak percaya dan bergantung pada apapun dan siapapun, Kinaya hanya per... More

1. FIRST IMPRESSION
2. QUESTIONS
3. BERANGKAT BARENG
4. NAMANYA MATCHA BUKAN RUMPUT
5. DIA ORANGNYA
6. ABOUT MAHARAGA
7. RUMAH SAKIT
8. PERINGATAN
9. HARUS JADI SIAPA SIAPA TITIK
10. BYE ABEL
11. MASUK SURGA?
12. ROOFTOP
13. THANK YOU, KINAYA.
14. LANGKAH PERTAMA
15. CALON MANTU
16. SAKSI DAN SIAPA?
17. ROMBONGAN
18. GOTCHA!
19. SEBUAH PESAN
20. GELISAH
21. AVEGAS VS GARDIONS
22. HEY, WAKE UP!
23. ALMOST DONE
24. UKS
25. KEDATANGAN AVEGAS
26. KINAYA VS ARKA
27. FINALLY, SAKIT GIGI.
28. SALTING
29. GERAK CEPAT
30. Devan Lagi
31. Treat Better
32. Asik, Official!
33. Dijodohin?
34. Abelia Dwijaya
35. Liontin Hijau
36. Teman?
37. Keluarga Bagaskara
38. Pertemanan Toxic
39. Masa Lalu
40. Nusantara vs Bangsa
41. Murid Baru
42. Preparation
43. SHADOW
44. DI MATA ORANG LAIN
45. BALIK DI SERANG
46. SI GADIS ASING
47. CAFE
48. INSIDEN
49. BERANGKAT BARENG
50. MENCARI CELAH
51. PERTAMA KALI
52. USAI
53. MENGHILANG
54. DI SEKAP & PELAKU SEBENARNYA
55. BENANG MERAH
56. SELFISH
58. THE DAY
59. THE DAY 2
60. AMBIL WAKTU
61. BERBICARA
62. AKHIR DARI PERJUANGAN
EKSTRA PART
GIVE AWAY!💐💐💐

57. DIAM

1.5K 58 4
By sourmatchalatte

Lisa menangis di tempat saat ini, ucapan Kinaya membuat hatinya teriris. Sehina itu kah dirinya? Bahkan saat Kinaya berlaku kasar padanya tidak ada yang membelanya satu pun. Mereka semua hanya diam dan menjadikannya sebuah tontonan.

Jere menoleh ke arah Lisa. Ia menghela nafas, ia berdiri. "Lisa. Dari awal gue udah pernah peringatin lo untuk ga terlalu jauh, tapi lo yang terlalu keras kepala. Ucapan lo bener bener ga masuk di akal. Bener kata Kinaya, seharusnya semua ucapan lo itu seharusnya emang tertuju ke diri lo sendiri." Kemudian ia pergi dari sana, entah kemana. Setidaknya tidak satu ruangan dengan gadis itu.

Kinaya! Lagi lagi nama itu yang ia dengar. Lisa benar benar muak!

"Kamu tau? Rasanya rasanya saya mau memutuskan pergelangan tangan Kinaya saat ini juga."

Lisa menoleh ke arah sampingnya dengan mata berbinar. Ia membelanya? Pria yang sedari tadi diam, sebenarnya ia bertanya tanya, ada hubungan apa pria di sampingnya dengan Kinaya. Wajahnya sangat tampan, irisnya tajam. Bahkan jika di bandingan postur tubuh dan wajahnya, Gio akan kalah.

Semuanya ikut menoleh ke arah Biru. Penasaran dengan ucapan pria selanjutnya.

"Saya mau memutuskan tangan Kinaya yang sudah lancang menyentuh tubuh kamu."

"Akang!" Pekik Amara.

"Karena jika hanya membersihkan dengan sabun, pikir saya kotoran dari tubuh kamu masih menempel. Jadi saya rasa dengan cara memutuskan tangannya akan lebih cepat untuk menghilangkan kotorannya."

Deg!

Lagi. Lagi. Lagi. Dan lagi.

Tidak hanya Lisa, semua mata yang disana ikut terbelalak mendengar ucapan Biru.

Biru bangun, kemudian pergi dari sana dengan wajah angkuhnya.

Bara terkekeh, "Gue rasa ga ada salahnya nyoba."

Saga mengangguk, kemudian menarik sudut birinya samar. "Heum. Berani juga ni cewek. Kasian tangan kesayangan kita jadi kotor."

Abel berjalan mendekati Lisa. "Lis, ini peringatan terakhir ya buat lo. Karena ga cuma gue yang bakal ngehabisin lo kalau lo berulah lagi. Tapi juga mereka.." Abel menujuk ke arah teman temannya berada.

Mereka menatap Lisa sambil tersenyum remeh, kemudian ikut pergi dari sana, menyusul yang lain. Hanya tersisa satu orang disana.

"You really crossed the safe line, Lisa."

Lisa mendongak, terkejut mendapati Gio masih setia di ruangan ini.

"Dari awal harusnya lo sadar diri kedudukan lo dimana."

Lisa memberanikan diri menatap iris tajam Gio. "Aku cuma berusaha perjuangin Kak Gio, apa itu salah? Apa cuma Kinaya yang punya kesempatan? Cuma karena aku orang miskin, aku jadi kehilangan kesempatan itu?" Ucapnya dengan suara parau.

Lisa berdiri, menghampiri Gio dengan wajah memerah. "Harusnya Kak Gio berterimakasih sama aku, karena aku Kak Gio jadi tau kalau Kinaya itu egois, dia cuma mementingan dirinya sendiri. Harusnya Kak Gio sadar kalau Kinaya ga pantes buat jadi pacar Kakak!" Ucapnya teriak.

Gio membelalakkan matanya, kemudian memasang wajah pura pura terkejut. "Thanks then." Gio tersenyum sinis, ikut berdiri dan bersidekap. "Kalau itu yang mau lo denger."

Lisa menggeleng, bukan itu yang ia maksud. "Kak maksud---"

"Apa?!"

"Lo masih mau buat pembelaan? Apa sih yang ada di otak lo sampai rela jadi kambingnya Arka? Di bayar berapa lo sama si anjing? Hah?!"

Lisa terlonjak. Tapi ia tetap berusaha untuk meluluhkan hati Gio. Ia tidak ingin menyerah, siapa tau Gio akan merasa iba. "Kak, dengerin aku dulu.. aku di paksa, aku di ancam. Aku korban Arka disini, harusnya Kakak bantu aku supaya Arka ga ancam aku lagi, Kak Gio harus bantu buat ngelindungin aku, aku sendirian Kak. Aku ketakutan setiap Arka ancam akan nyakitin aku. Tolong..." Ucapnya memohon dan berusaha untuk menyentuh lengan Gio.

Gio menjauhkan lengannya yang hendak di sentuh. "Gue ga perduli."

"Denger ya! Ini terakhir kalinya gue liat lo berkeliaran di sekitar gue, Kinaya bahkan temen temen gue sekalipun. Kalau sampe lo berani munculin wajah sialan lo itu. Demi tuhan lo bakal nyesel seumur hidup lo." Ucapnya dengan penuh penekanan.

Gio masih menatap tajam gadis didepannya ini. Hilang sudah rasa ibanya, bayangan wajah Kinaya yang melihatnya dengan tatapan kecewa membuat Gio melupakan bahwa saat ini di depannya merupakan seorang perempuan. Bahkan sampai detik ini Gio masih belum merasa menerima maaf dari gadisnya. Dan itu semua karena datangnya gadis di hadapannya saat ini.

Gio memasukkan kedua tangannya ke dalam saku, kemudian berjalan meninggalkan Lisa seorang diri.

"Arghhhhh!"

Lisa kembali terisak, ia menjambak rambutnya sendiri dengan kuat. Ia gagal. Gagal untuk mendapatkan apa yang ia inginkan. Semua rencana yang sudah ia susun hancur seketika. Bahkan ia sudah yakin jika selama ini Gio sudah menerimanya secara perlahan, dan lama kelamaan ia akan bisa menggantikan posisi Kinaya.

Lisa sendiri tidak tahu bahwa kejadian seperti ini, sudah pernah terjadi.

****

Biru berdiri di depan pintu, seketika ia terdiam. Terlihat di sana, seorang gadis sedang berdiri di depan jendela dengan tangan yang memeluk dirinya sendiri. Perlahan ia berjalan mendekati gadis itu.

"Lo yakin semuanya udah bener?"

Langkahnya seketika terhenti.

"Lo yakin semuanya sejalan?"

"Dari awal.. kita buat kesepakatan untuk jujur satu sama lain. Dan gue udah jujur sama lo atas apa yang terjadi di hidup gue. Semuanya, tanpa terkecuali." Pelan, Kinaya menoleh ke belakang. Melirik dimana Biru berdiri dengan tubuh menegang. "Tapi.. bukannya lo sendiri yang melanggar itu, Biru?"

Kinaya kembali mengalihkan pandangannya ke arah jendela. Kemudian menarik sudut bibirnya tipis, mengulas senyum sinis.

****

"Bar, Kinaya mana?"

Bara menoleh ke arah Gio. Ini percakapan pertamanya setelah kejadian beberapa waktu lalu.

"Ada apa?"

"Please Bar, banyak pembicaraan gue sama Kinaya yang belum tuntas. Gue cuma mau menyelesaikan itu semua biar keadaan jadi baik. Gue bener bener ga kuat sama keadaan sekarang. Ini nyiksa gue banget."

"Lantai 3. Ruang paling pojok."  Ucap Bara tanpa menoleh.

Gio tersenyum, walau menjawab dengan nada ketus, setidaknya Bara masih mau memberitahu keberadaan Kinaya. Setelah urusannya dengan Kinaya selesai, Gio berjanji akan berbicara juga dengan sahabatnya ini, karena secara tidak langsung Gio sudah mengecewakan Bara.

Gio berjalan, berusaha mencari ruangan yang Bara maksud. Setelah menemukannya, ia membuka pintu dengan perlahan. Senyumnya mengembang ketika mendapati Kinaya sedang berdiri dengan tangan yang bertumpu di sisi meja. Terlihat ia sedang fokus mengamati berbagai macam kertas berserakan di meja.

"Ay?"

Kinaya tidak menoleh sama sekali, namun Gio yakin jika Kinaya mendengar suaranya. Gio menghirup udara sebanyak mungkin, kemudian dengan pelan menghampiri Kinaya.

"Ay?"

"You okay?"

Tidak ada jawaban, Kinaya masih setia memperhatikan lembaran kertasnya. Namun Gio tidak menyerah. Ia kemudian menyentuh bahu Kinaya kemudian menariknya hingga mengubah posisi menjadi menghadap ke arahnya.

"Liat aku," titahnya.

Mau tidak mau Kinaya menatap Gio.

"What do you want?"

"You." Jawab Gio tegas. "You." Ulangnya.

Kinaya berdecih sinis, kemudian menghempaskan tangan Gio yang ada di bahunya.

"But i'm not." Jawabanya santai.

Gio menggelengkan kepalanya, ia paham jika Kinaya sedang emosi saat ini. Kemudian Gio menggenggam tangan Kinaya, dan mengarahkan tubuhnya ke arahnya kembali. "Maaf. Maafin aku karena aku belum sadar sama peringatan sebelumnya, aku ngebiarin Lisa ada di sekitar kita. Tapi demi tuhan, aku tetep sayang sama kamu. Cuma kamu Ay."

Kinaya menatap Gio dengan pandangan lirih. Semua penjelasan yang keluar dari mulut Gio terasa hambar untuknya, karena bukan itu jawaban yang ia maksud.

"Aku udah ngejelasin sama Lisa, dan aku udah pastiin dia ga akan ganggu kita lagi."

Kinaya menggeleng, "Bukan itu Gio. Bukan itu."

Gio menyatukan alisnya bingung, tangannya naik mengelus lengan Kinaya. Mata menatap Kinaya dengan sorotan memohon. "Apa sayang? Jelasin sama aku. Aku mohon."

Kinaya kembali menggeleng. "Dari awal... Kamu cuma minta maaf. Tapi bukan itu Gio.. bukan itu."

"Dari awal kamu cuma diam."

"Diam gimana? Ay, aku---"

"Kamu diam. Dari awal kamu ga menjelaskan kenapa kamu ga jemput aku ke sekolah, kamu yang ngebiarin aku nunggu kabar kamu padahal kamu sendiri lebih milih untuk jemput Lisa. Dan kamu ga menjelaskan itu ke aku sama sekali."

Benar. Kinaya benar. Awalnya Gio sempat lupa untuk meminta maaf pada Kinaya tentang hal itu, namun ia pikir Kinaya sudah tidak mempermasalahkannya.

"Dan waktu acara kita sama anak anak kemarin, kamu yang ngebentak aku cuma karena kamu mau antar Lisa dan aku lebih memilih untuk pulang sendiri."

"Sayang. Aku anter Lisa karena aku ga enak sama Ibunya yang langsung minta aku buat anter dia pulang. Lagi pula itu udah malem, dia ga mungkin pulang sendiri."

Kinaya tersenyum miris. Lagi lagi pria di hadapannya ini tidak mengerti.

"Jadi kamu pikir selama ini aku marah sama kamu karena kamu yang anter jemput Lisa?"

Kinaya menggeleng. "Udah aku bilang bukan itu."

Kinaya menatap iris pria di hadapannya dengan tajam. "Kalau kamu dari awal ngejelasin ke aku, apa yang terjadi antara kamu dan Lisa. Aku akan biasa aja, dan justru aku dengan senang hati akan ikut membantu. Tapi dari awal Gio. Dari awal. Kamu memilih untuk diam. Kamu memilih untuk gak menjelaskan ke aku dan memilih untuk mengambil keputusan itu sendiri. Padahal disini ada aku."

"Kamu pikir aku juga akan ngebiarin Lisa pulang sendirian? Kamu pikir aku ga punya rasa manusiawi untuk ngebiarin perempuan jalan sendirian malam hari? Kalau kamu bilang dan setidaknya minta pendapat aku, ga akan ada namanya kamu ngebentak aku Gio. Dan setidaknya aku merasa di hargai. Tapi lagi lagi kamu diam. Apa aku sebegitu ga pentingnya buat kamu?"

Gio menggelengkan kepalanya ribut. "Engga sayang. Maaf, maafin aku."

"Kenapa?"

Gio menatap iris Kinaya dengan tatapan sayu.

"Kenapa Gi?"

"Kenapa kamu lebih milih diam?"

Gio menggeleng, dengan cepat ia menarik Kinaya ke dalam dekapannya. Di rengkuh erat Kinaya sambil berkali kali menggumamkan kata maaf.

"Aku salah, maafin aku. Ini yang terakhir, aku janji. Lain kali aku akan ceritain apapun, dan sebelum aku ngelakuin sesuatu, aku akan tanya kamu lebih dulu biar kejadian ini ga terulang lagi. Maaf sayang. Aku terlalu emosi waktu itu, berkali kali ada orang yang kirim foto kamu sama cowok lain. Aku terlalu cemburu sampai aku ga bisa kontrol emosi aku. Maaf sayang.. maafin aku."

Kinaya melepaskan pelukan Gio ketika mendengar ucapan yang mengganggunya. "Foto?"

Gio mengangguk, mengelus pipi Kinaya lembut singkat. Lalu menyerahkan ponselnya pada Kinaya. "Iya ada yang kirim foto kamu sama Biru."

Kinaya meraih ponselnya dan melihat kiriman pesan yang Gio maksud. Kinaya mengernyit dahi bingung. Benar memang itu adalah dirinya dan juga Biru. Namun itu adalah foto foto lama, bahkan ada beberapa foto semasa Kinaya masih tinggal di bandung, dan tentu saja dengan Raga yang masih ada. Siapa yang mengirimkan ini? Pastinya bukan sosok baru, namun sosok yang sudah lama mengenalnya. Karena foto ini sudah lama Kinaya hapus di laman sosial medianya.

"Seharusnya kamu tanya aku, aku udah bilang untuk tanya kalau kamu ragu. Biar kamu ga salah faham dengan berspekulasi sendiri."

Gio mengangguk. Ia menyadari kesalahannya.

"Maaf sayang," ucapnya lembut kemudian memeluk Kinaya kembali. Dan mengecup dahi gadisnya berkali kali. Sambil tidak henti mengucapkan kata maaf.

****

Kinaya saat ini sedang berada di kamar, tentu saja kamar pribadinya di markas. Sudah dua hari ia belum pulang, sejak kemarin ia masih setia disini. Tapi tidak dengan Abel, ia beberapa kali pulang untuk sekedar mengabarkan kedua orang tua Kinaya bahwa mereka baik baik saja.

Kinaya memijit pelipisnya, kepalanya terasa pusing. Masalah akhir akhir ini menabraknya secara bersamaan, entah apa jadinya jika ia sendirian dan tidak di dampingi oleh teman temannya. Ia sangat berterimakasih di kelilingi oleh orang orang yang tulus padanya.

Teman temannya pula yang selalu membuat Kinaya sejenak melupakan rasa gelisahnya. Entah apa yang terjadi, namun Kinaya selalu merasa harinya buruk.

Setelah percakapan dengan Gio tadi selesai, Kinaya memutuskan untuk beristirahat. Entah selesai dalam arti apa, namun setidaknya Kinaya sudah mengungkapkan hal apa yang mengganjalnya.

Brak!

Kinaya terlonjak kaget ketika mendengar pintu yang di buka dengan kencang. Baru saja akan memaki namun di urungan dengan wajah sosok disana yang terlihat pias.

Kinaya tersenyum miris dan menggeleng. "Don't even try." Kinaya kembali menggeleng, namun kini dengan air mata mengalir. "Whatever you want to sa. Don't. Just don't. Shut up. I don't want to hear anything!" Ucapnya dengan nada tinggi.

Jo tidak berkata apa apa. Ia hanya maju dan memeluk Kinaya dengan erat. Erat. Sangat erat.

Kinaya sedang dalam perjalanan. Begitu juga dengan yang lain. Ia mencoba menghubungi Gio namun tidak mendapatkan jawaban, entahlah saat ini ia hanya ingin mendengar suaranya, Kinaya ingin pria itu ada di dekatnya saat ini juga. Dering ke lima akhirnya panggilan itu diangkat.

"Halo Kinaya?"

Tubuh Kinaya kaku. Bukan. Bukan suara ini yang ingin dia dengar. Kenapa justru suara gadis sialan itu yang keluar dari ponselnya.

"Halo?"

"Kinaya? Ini Kak Gio lagi tidur. Kayaknya kecapean, ada yang mau di sampein? Nanti biar gue sampein. Kasian soalnya pules banget. Soalnya Kak Gio abis---"

Belum sempat ucapannya selesai panggilan itu sudah ia matikan. Kinaya tidak sanggup mendengar suara yang terdengar remeh itu.

Pandangan Kinaya kembali memudar, bahkan untuk sekedar menggenggam ponselnya saja rasanya ia sudah tidak sanggup. Di otaknya terus berputar kata. Mengapa. Kenapa. Bagaimana.

Lagi. Lagi. Dan lagi.

Ia sudah salah.

Dunianya hancur.

Bersamaan.

Belum ada satu jam Gio kembali berusaha meyakinkannya dengan kata kata manis, namun kembali pria itu juga yang menghancurkannya. Seolah kata kata yang keluar dari mulutnya hanyalah angin lalu.

Kinaya merasakan tangannya di genggam. Ia menoleh ke samping. Biru. Biru yang menggenggam tangannya, dan satu tangan lain yang fokus mengemudi.

Biru tersenyum menenangkan, matanya menyiratkan bahwa semua akan baik baik saja.

Kinaya tidak membalas senyuman itu.

Tidak.

Tidak ada kata baik baik saja.

****

"Shit!"

Gio merebut ponselnya yang berada di tangan Lisa dengan kasar. "Berani banget lo sentuh ponsel gue!"

Lisa tersentak. Kemudian ia tersenyum. "Maaf Kak, aku kira telponnya penting makannya aku inisiatif untuk angkat. Kak Gio udah selesai?"

Gio masih menatap Lisa dengan marah. Kalau bukan karena Lisa yang menghubunginya lewat ponsel Rina dan meminta bantuan karena Rina yang terlepeset di kamar mandi. Ia tidak akan susu untuk menemui gadis licik di depannya ini.

"Makasih ya Kak. Aku gatau apa jadinya Ibu kalau ga ada Kakak. Maaf karena aku Kakak jadi pulangnya kemalaman. Aku bener bener bergantung banget sama Kakak."

Gio berlalu meninggalkan Lisa yang masih berbicara begitu saja. Ia bergegas keluar dari rumah si pembawa masalah.

Ia memasuki mobilnya, kemudian memeriksa ponselnya sebentar. Syukur lah tidak ada yang Lisa lakukan, mungkin Gio sudah merebutnya dnegan cepat sebelum Lisa bertindak macam macam dengan ponselnya.

Ia cukup bahagia karena masalahnya dengan Kinaya sudah selesai. Dan ia berjanji untuk tidak mengulangi kesalahannya yang sama. Karena Gio menyayangi gadisnya.

Padahal tanpa Gio tau, sebelum Gio merebut kembali ponselnya. Lisa sudah menghapus history panggilan Kinaya dan Inti Gardions.

Salahkan Gio yang meninggalkan ponselnya ketika masih dalam keadaan menyala sewaktu membopong Rina untuk di bawa ke dalam kamarnya.

****

Gio mengernyitkan dahi heran ketika ia sampai ke dalam kelas ia tidak menemukan keberadaan para sahabatnya, ia kira mereka sudah lebih dulu pergi ke kelas karena ia tidak melihat siapapun di tempat mereka biasa menunggu satu sama lain. Mungkin mereka datang telat, pikirnya.

Benar saja, tidak lama bel berbunyi para sahabatnya datang dengan serempak. Namun Gio tidak menemukan keberadaan Bara disana. Kemana dia?

"Bara kemana?" Tanya Gio pada Jere. Jere menjawabnya dengan gelengan kepala.

"Lo tau Bara kemana Dam? Dev?"

Lagi lagi mereka hanya menjawabnya dengan gelengan kepala. Gio merasakan sedikit aneh pada sikap teman temannya. Namun ia tidak memikirkannya dan kembali menghadap ke depan kelas.

Hari ini Gio sedikit merasa aneh pada sikap orang di sekitarnya. Sedari tadi Gio hanya merasa tidak ada percakapan antara mereka, bahkan tadi pagi ia tidak menemukan kedua orang tuanya. Infonya mereka sedang pergi keluar negeri, Gio sempat berpikir kalau Nayla menemani Darren perihal pekerjaannya. Namun mereka tidak pernah membawa Aska untuk serta ikut.

Kinaya juga sejak semalam tidak ada kabar, bahkan pesan dan telponnya tidak kunjung mendapatkan balasan. Bahkan saat ini gadisnya tidak pergi ke sekolah. Sewaktu Gio bertanya pada ketiga temannya, namun mereka hanya diam tidak menjawab. Mungkin mereka masih kesal atas perlakuan Gio akhir akhir ini pada temannya.

Jadi Gio berpikir jika Kinaya sedang beristirahat, karena terlihat sekali jika kemarin wajahnya terlihat lelah. Walau tidak mendapatkan balasan Gio terus mengirimi pesan pada Kinaya.

Gio tidak bisa menahan diri ketika melihat para sahabatnya masih dalam mode diam.

"Kalian kenapa sih? Lagi ada masalah?"

Ketiga pria itu menoleh ke arah Gio dengan tatapan datar. "Kalian kalau ada masalah cerita, jangan diem aja. Siapa tau gue bisa bantu."

"Gue pusing ngeliat kalian seharian ini diem aja, dari tadi di sekolah bahkan sampai sekarang di markas kalian masih diem juga."

"Wey. Ngomong dong! Jangan diem aja." Ucapnya dengan nada naik satu oktaf.

Jere terkekeh sinis, kemudian sedikit melirik ke arah Gio. "Bukan kita Gi yang punya masalah, tapi lo."

Gio menyatukan alis bingung, "Gue?"

Belum sempat Gio bertanya lebih lanjut, fokusnya buyar ketika mendengar teriakan salah satu anggotanya.

"Bang Gio!"

"Kenapa Ki?" Tanya Gio yang bingung melihat wajah Ricky yang sedikit pucat.

"Itu.. anu.. emm.." ucapnya kaku sambil berjalan kesana kemari dengan bingung.

"Ricky!" Teriak Gio.

"Marlo barusan telpon gue, dia bilang sekarang dia lagi disandera sama Avegas Bang. Dan dia nyampein pesen dari ketua Avegas buat minta kita datang kesana." Ucapnya suara bergetar.

****
Tbc

Continue Reading

You'll Also Like

268K 17.2K 69
Harap Follow sebelum membaca! Note: Proses revisi. Jika menemukan kejanggalan yang tidak sesuai dari part awal-akhir, harap wajar, proses revisi seda...
8.9K 1.4K 45
Bukan hal yang aneh jika nama Sean Moreno banyak disebut sebagai cowok yang paling boyfriendable oleh para siswi di SMA Garuda. Banyak yang mengingin...
ALZELVIN By Diazepam

Teen Fiction

5.9M 329K 36
"Sekalipun hamil anak gue, lo pikir gue bakal peduli?" Ucapan terakhir sebelum cowok brengsek itu pergi. Gadis sebatang kara itu pun akhirnya berj...
1.5M 90.6K 65
{ sudah completed kembali } CLARESTA REA ANANTA, putri bungsu dari keluarga BAGASKARA yang tak pernah di anggap kehadiran nya. Mempunyai dua orang Ab...