"Sumpah ya gue masih kaga habis pikir itu bocah ngapain segala pengen ngikut hah?!" gerutu Devan sambil mengaduk aduk asal minumannya.
Amara mengangguk, "Iya loh aneh banget, deket kaga, kenal kaga... eee kenal sih. Ya tapi kan ga sampe deket gitu. Mana sok asik banget lagi mau join. Kalau emang mau jalan jalan ya jalan jalan aja sendiri, segala minta temenin. Emang kita tour guide apa." Sungutnya kesal.
"Dia ga punya temen apa ya?" tanya Damian.
Melody mengendikkan bahu acuh, "Gatau, emang sahabatnya kemana?"
Semuanya menoleh ke arah Melody, "Sahabat? siapa Mel?"
Melody memiringkan kepalanya seolah sedang berpikir. "Hm.. Itu si Jenny, Rose sama siapa lagi satunya?"
Semuanya mendengus mendengar jawaban Melody, sial! Mereka lupa pada siapa mereka bertanya saat ini.
"Mau heran tapi Melody," gumam Kinaya. Sontak semuanya tertawa, berbeda dengan Melody yang menampilkan raut wajah kesalnya. "Kin..." rajuknya.
"Heh! Ga pantes banget sih." cibir Jere yang berada tepat di sebelahnya.
"Sirik aja lo!"
"Oh my god...." pekik Anna.
Semuanya menoleh ke arah Anna yang hanya diam mematung, mereka sontak mengikuti arah pandang gadis itu. Baru lah mereka menyadari hal apa yang membuat Anna serperti ini. Disana gadis yang menjadi topik pembicaraan mereka, sedang berjalan memasuk cafe dengan senyum yang tidak pernah luntur.
"Hai guys," sapanya, kemudian duduk di samping Bara. Karena hanya tempat itu yang tersisa.
Mereka semua diam, belum ada yang menjawab sapaan gadis itu. Mereka masih tidak menyangka bahwa gadis itu benar benar menyusul mereka kesini.
Kinaya berdehem, "Pesen aja, kita semua udah pesen."
Lisa tersenyum dan mengangguk, mengabaikan tatapan bingung dari sekelilingnya. "Hmm.. Enaknya pesen apa ya?"
Lagi lagi tidak ada yang menjawabnya. Kemudian ia memanggil salah satu pelayan disana kemudian menyebutkan pesanannya.
Suasana masih terlihat canggung, bahkan sejak Lisa sampai belum ada yang memulai pembicaraan. Entah karena apa. Mungkin mereka asing melihat ada seseorang yang berbeda pada biasanya.
"Eh iya minggu depan mau hari jumat tanggal merah loh," ucap Devan yang sedari tadi fokus pada ponselnya.
"Emang iya?" pekik Amara.
Devan mengangguk, "Long weekend nih brou," ucapnya semangat.
"Wah asik nih!" heboh Melody.
"Gimana kalau kita jalan jalan?" usul Damian. "Gimana?"
"Ayokkkkkk!" Seru mereka bersama. "Lo gimana Jer?"
Jere mengangguk, "Gue ayo aja."
"Lo Kin? Gi?"
Kinaya menoleh ke arah Gio, bukan ia tidak mau. Tapi ia sudah terlebih dahulu janji pada keluarga Gio untuk berkumpul bersama, terlebih orang tuanya memutuskan untuk keluar negeri perihal urusan pekerjaan.
Kinaya tampak ragu untuk menjawab. "Emm..."
"Kita mau bqq-an dirumah gue, kalian kalau mau join oke aja." bukan Kinaya yang menjawab, melainkan Gio.
Sontak membuat mereka mencibir terang terangan. "Yee udah ada jadwal duluan bos,"
"Telat kita,"
"Agak gercep ya Bun."
"Yaudah kita kesana aja dah, numpang." putus Damian yang diangguki teman temannya.
"Lo gimana Bar?" tanya Anna yang sedari tadi melihat Bara hanya diam.
Bara menoleh, "Gue ga bisa, gue ke London nyusul Ayah."
Anna menyatukan alis bingung, "Lah anaknya aja diem diem aja disini malah lo yang kesana Kak," ucap Anna bingung.
"Ya emang harusnya si bungsu keras kepala itu yang pergi."
"Terus?"
"Gue yang jadi korban, Kinaya dari dulu ga suka ke tempat perkumpulan kaya gitu."
Gio menggeleng heran, "Emang acara apa?"
Bara menoleh, "Cuma acara ulang tahun kerabat kerja Ayah aja."
Mereka semua mengangguk mengerti.
Damian kemudian membuka suara kembali, "Jadinya gimana nih? Kita tetep kumpul ga?"
"Boleh aja sih,"
"Gue ayo aja,"
Jawab mereka serempak. Damian menganggukkan kepalanya, "Sorry ya Bar." Ucapnya tidak enak.
Bara terkekeh pelan, "Santai aja, bisa next time."
Gio menyelipkan poni Kinaya ke belakang kupingnya, kemudian menarik bahu Kinaya memintanya bersandar pada tubuhnya. "Kamu kenapa ga mau ikut Ayah?"
"Males, ujung ujungnya pasti mereka kenalin anak mereka masing masing. Terus berujung di suruh ngobrol, aku ga suka basa basi."
Memang benar, ia sudah beberapa kali kerap menemani kedua orang tuanya menghadiri acara semacam itu. Dan berakhir dengan para kebarat orang tuanya memperkenalkan putra mereka masing masing, sungguh membosankan.
Gio menggenggam tangan Kinaya erat, membayangkan kekasihnya berbincang dengan lelaki lain saja sudah membuatnya kesal.
"Santai aja mukanya," kekeh Kinaya ketika melihat perubahan raut wajah Gio.
Sedangkan Gio hanya tersenyum, kemudian mengecup pelipis Kinaya cepat. "Udah belajar jadi cenayang kamu, hm?"
Sedangkan Kinaya hanya terkikik geli. Padahal ia bisa hanya menebak dari raut wajah kekasihnya, sedikit banyak ia sudah bisa mengerti suasana hati Gio lewat wajahnya.
Mereka sibuk berbincang dan bercanda satu sama lain sampai melupakan sosok lain yang turut hadir bersama mereka. Sosok itu hanya diam menatap bergantian pada yang lain. Ia ingin ikut bergabung dalam pembicaraan namun selalu merasa tidak mendapatkan celah, lagi pula banyak topik yang ia tidak mengerti.
"Ekhm.."
Mereka menoleh ke asal suara, seketika suasana hening. Terlihat raut terkejut mereka semua namun dengan cepat mereka mengubahnya menjadi raut datar. Seperti dugaan gadis itu, ternyata benar bahwa mereka melupakan kehadirannya disini.
"Gue boleh ikut kalian ngumpul ga?"
Mereka masih terdiam kemudian saling menatap satu sama lain, entah lah rasanya mereka terkejut mendengar pertanyaan yang terlontar dari gadis di depan mereka.
Kinaya tersenyum tipis kemudian melirik Anna yang berada di seberang posisinya duduk saat ini. "Ikut ke rumah cowok gue maksudnya?"
Mereka kembali dikejutkan dengan pertanyaan yang kembali di lontarkan oleh Kinaya, nada yang terdengar pun cukup dingin dan menyiratkan ketidaksukaan.
Lisa mengangguk tidak lupa berusaha tersenyum semanis mungkin. "Boleh kan? Gue soalnya kayanya ga ada plan dan kayanya gabung sama kalian juga bukan hal yang masalah kan?"
Iya bukan masalah bagi Lisa tapi menjadi masalah bagi mereka.
Kinaya terkekeh pelan, "Lo ngerasa deket banget ya sama kita sampe ngomong kaya gitu?"
Lisa menegang, ia tidak menyangka gadis di depannya akan berkata seperti itu. Ia meremat rok abu abunya untuk menetralisir rasa gugupnya. "Gue cuma mau deket aja sama kalian, salah ya? Lagian Kak Gio selaku tuan rumah ga keberatan kan?"
"Kalau kita yang keberatan gimana?" Tanya Jere.
Lisa menatap Gio seolah mencari pembelaan, namun ia merasakan sesak ketika yang ia tatap justru sibuk menyandarkan tubuhnya pada gadis di sebelahnya, menelungkupkan wajahnya pada bahu gadis itu, lagi lagi ia tersenyum miris.
"Gue bukan nolak lo ya, sorry kalau kata kata gue nyakitin lo. Tapi jujur gue ga pernah keberatan sama orang yang mau jadi temen kita, tapi masalahnya apa lo ga terlalu terburu buru?" Tanya Jere lagi dengan wajah datarnya.
"Terburu buru gimana?" Tanya Dimas heran.
"Tiba tiba dateng sendiri ngajak kenalan, berhentiin orang di tengah jalan dengan sembarangan, dengan gampangnya minta nebeng ke orang yang jelas jelas udah punya pacar, dan lagi ikut nyamperin kesini bahkan mau ikut ngumpul sama kita." Lanjut Bara dengan suara rendahnya.
Anna tersenyum sinis, "Dan, lagi nyari pembelaan."
"Gue cuma mau kenalan sama kalian, kenapa kalian jadi kejauhan kaya gini mikirnya? Apa karena gue cuma anak baru jadi ga sepadan temenan sama kalian? Gue tau kalian cukup famous di sekolah, tapi gue juga baru tau kalau kalian milih milih temen kaya gini."
"Emang lo tau kita mikir apa?" Tanya Kinaya memancing.
Lisa diam, pandangannya lurus mengarah Kinaya.
Kinaya tersenyum tipis, kemudian mengusap surai kekasihnya yang sedari tadi menyandarkan kepalanya di bahunya. Hal itu pun tak luput dari pandangan gadis di depannya.
"Kalau lo mau dateng ya dateng aja," lanjutnya santai.
"Lo serius?" Tanya Melody.
Kinaya mengangguk, kemudian terkekeh. "Masa mau join kita ga bolehin sih, kita mah sebenernya temenan sama siapa aja. Sama musuh sekalipun juga kita temenan kok."
Musuh? Apa maksud Kinaya? Ini Kinaya sendang menyindir Lisa?
****
"Kamu seriusan ngebolehin Lisa dateng?"
Kinaya menatap lurus ke arah Gio, saat ini mereka sedang di depan gerbang rumah Kinaya, setelah kejadian menegangkan tadi tak lama mereka memutuskan untuk pulang. Sedangkan Lisa hanya diam tak menjawab ucapan Kinaya, bahkan ia buru buru pergi dari cafe.
Kinaya mengulurkan tangannya mengelus rahang kekasihnya, "Serius, you oke kan?"
Gio tersenyum kemudian mengecup tangan Kinaya yang menyentuh rahangnya, "Boleh sayang, aku takutnya justru kamu yang ga nyaman."
Kinaya terkekeh, "Aku biasa aja selama dia yang mulai duluan, beda urusan kalau kamu ikut nanggepin."
"Engga lah, mana bisa aku ngelirik cewek lain kalau pacar aku aja cantiknya udah kebangetan."
Ucapan Gio membuat pipi Kinaya memerah. "Ish!" Ucapnya sambil menepuk lengan kekasihnya.
Gio tertawa, hobinya sekarang adalah menggoda Kinaya. Ia kemudian menarik Kinaya dalam pelukannya, kemudian mengelus rambut kekasihnya lembut. "Aku pulang ya,"
Kinaya mengangguk, "Hati hati, makasih ya."
Gio tersenyum dan mengecup pelipis Kinaya lembut. Kemudian ia bergegas pulang karena hari sudah mulai sore.
Kinaya berjalan memasuki rumahnya, terlihat sepi. Hanya ada Bi Ina yang sedang sibuk di dapur.
"Hp lo kemana?"
Kinaya terkejut, mendapati Abel sedang duduk di ruang tamu.
"Ngagetin aja lo brengsek!" Umpatnya.
Abel tersenyum tak merasa bersalah. "Biru telponin lo tapi katanya hp lo ga aktif."
Ah iya ia baru ingat, ponselnya memang mati sejak ia berada di cafe tadi.
"Ada apa emang?"
Abel menggeleng, "Nanti malem kita ngumpul, ada yang mau di tunjukkin."
Kinaya mengangguk, kemudian melanjutkan langkah kakinya menuju kamar.
****
Tbc