Playlist | Ayah - Seventeen
Happy reading :)
🌼🌼🌼
Nabila baru saja keluar dari kamar mandi bertepatan dengan denting suara notifikasi dari ponselnya terdengar. Ia lantas mengurungkan niat untuk memakai night skincare dan mengambil benda pipih itu terlebih dahulu.
|Anak Setan|
Online
Langsung tidur, gak usah begadang
Kedutan pada kedua sudut bibir tercipta manakala Nabila selesai membaca pesan yang dikirim oleh Dirta. Ini memang bukan yang pertama kali Dirta mengingatkan agar ia tidak begadang, tapi ini adalah kali pertamanya saat status keduanya sudah berubah. Fakta itu sontak membuat Nabila jadi tersenyum malu-malu.
Iya bos
Setelah mengetikkan balasan itu, Nabila melanjutkan niatnya untuk memakai night routine skincare-nya. Tidak banyak sebenarnya yang Nabila pakai. Hanya serum dan pelembab saja.
Selesai dengan ritualnya, Nabila menghempaskan tubuh ke atas kasur. Tangannya mengambil kembali ponselnya. Sudah ada balasan dari Dirta atas pesan yang sebelumnya ia kirim.
|Anak Setan|
Online
Masih gue pantau dari sini
Nabila refleks terbangun dari posisi rebahannya. Ia turun dari kasur dan menuju jendela kamarnya. Gadis itu menyibak horden dan netranya menyipit guna memindai kamar seberang. Bisa Nabila lihat bahwa Dirta duduk di balkon kamar cowok itu yang kebetulan bersebrangan lurus dengan kamarnya.
Cepat-cepat Nabila menekan tombol panggil pada kontak Dirta. Tak butuh waktu lama sampai akhirnya panggilan itu diangkat.
"Tidur." Adalah kata pertama yang Nabila dengar dari seberang.
"Lo sendiri ngapain malah duduk di luar? Masuk."
"Dih, disuruh malah balik nyuruh. Udah malam, Nabila, tidur."
Nabila mendengus lantas berkata, "Ya gue juga tahu ini udah malam. Terus kenapa lo juga gak tidur dan malah nongkrong di sana?"
"Lagi ngawasin lo, 'kan."
"Dingin, Ta, masuk kamar sana."
"Nanti," jawab Dirta.
Nabila masih berdiri di sisi jendela. Tangannya memegang ponsel di dekat telinga sementara satunya lagi mencengkeram horden yang ia sibak. "Kenapa?" tanya Nabila kemudian.
"Kenapa apa?"
"Ada masalah di rumah?" Nabila bertanya hati-hati, takut menyinggung Dirta.
"Enggak. Cuma tiba-tiba kangen sama Ayah."
Ayah. Nabila tahu bahwa semenjak Dirta menghembuskan napas pertama kali di dunia ini, anak itu tidak pernah bersua dengan ayahnya. Tidak seperti Nabila yang setiap harinya masih bisa berbagi kasih sayang dengan sang ayah, Nabila tidak paham seberapa rindu Dirta kepada ayahnya.
"Lo ingat nggak, Ta, kata guru agama kita kalau kita lagi kangen sama orang yang udah meninggal, kita bisa kirim do'a buat orang itu. Itu bakal ngeredain rasa kangen yang kita rasain dan itu juga bisa mudahin jalan orang itu di akhirat sana."
Sejenak mereka sama-sama terdiam. Nabila menatap jauh Dirta yang masih setia di posisinya sedangkan Dirta mendongak ke arah langit yang tampak pekat.
"Cie, tumben lo inget soal pelajaran?" lontar Dirta memecah sunyi. "Mentang-mentang udah jadi pacar gue jadi tambah pinter, ya, Bil?"
"Korelasinya apa, Bambang?!"
Dirta tertawa. Tawa yang mampu melegakan sudut hati Nabila yang tadi terasa sesak. "Besok, 'kan, libur, mau nggak ketemu sama Ayah gue?"
"Ta ...."
"Kita do'ain Ayah gue bareng-bareng, ya, Bil. Makin banyak yang do'a, 'kan, makin mudah jalan Ayah di sana."
"Iya. Ayo, Ta. Ayo kita do'ain Ayah lo sama-sama," ucap Nabila dengan parau.
"Oke. Sekalian gue mau ngenalin cewek baru gue ke Ayah, hahaha."
"Kumat lagi resenya. Bahas aja terus."
"Udah sana tidur," titah Dirta. "Mata lo ntar jadi kayak panda kalau tidur kemalaman."
"Lo juga masuk ke kamar sana. Udaranya makin dingin."
"Iya, Sayang. Perhatian banget, deh, cewek gue."
"Bodo, Ta, bodo. Gue mau tidur, bye!"
Nabila memutus sambungan telepon dengan bibir mengerucut ke depan. Namun, tak lama kemudian hal itu berubah menjadi seulas senyum tipis.
🌼🌼🌼
Langit terlihat mendung sedari pagi. Bahkan sinar sang fajar tampak absen menghangatkan bumi dan segala isinya. Situasi seperti ini sangat cocok untuk bermalas-malasan di rumah. Terlebih hari ini adalah hari Minggu di mana para pekerja dan siswa rehat sejenak dari segala rutinitas.
Dirta berjalan ke arah kolam renang di mana ada sang nenek yang sedang menikmati teh hangat dan kudapan di piring kecil. Dirta berniat izin kepada neneknya untuk pergi ke makam mendiang ayahnya.
"Nek," panggilnya seraya berjalan mendekat.
"Kenapa, Nak?"
Dirta memandang figur neneknya yang semakin merenta. Helai-helai putih mulai menghiasi mahkota wanita paruh baya tersebut. Keriput samar pun mulai tercetak di beberapa bagian. Dirta sangat menyayangi wanita ini. Rasanya ia tidak akan sanggup menjalani hidupnya jika tanpa ada sosok nenek tercintanya ini. Sosok yang selalu melimpahkan cinta dan kasih sayang yang tak pernah Dirta dapat dari orang tuanya. Sosok yang selalu mengkhawatirkan keadaan Dirta setiap waktunya. Sosok yang selalu menghibur Dirta saat merasa kesepian.
"Dirta izin mau ke makam Ayah sama Nabila."
Neneknya tersenyum lembut. "Dirta kangen sama Ayah, ya?"
Dirta mengangguk dalam sambil menyembunyikan matanya yang terasa berair. Mendadak untuk menelan salivanya saja terasa sulit.
"Jangan lupa do'ain Ayah, ya, Nak? Biar Ayah di sana juga bahagia."
"Iya, Nek, pasti." Suara Dirta terdengar parau. Cowok itu berjongkok di bawah neneknya sambil menggenggam tangan wanita itu. Dahinya ia tumpukan pada genggaman tangan tersebut. Sebenarnya itu hanya kedok yang Dirga gunakan untuk menyembunyikan bulir yang berhasil lolos dari pelupuk mata.
"Cucu Nenek yang pintar, yang baik hatinya," ucap neneknya dengan mengelus kepala Dirta secara teratur, "yang sholeh. Bakti sama orang tua, ya, Sayang? Ayah kamu pasti bangga lihat jagoannya jadi anak yang hebat."
"I--iya, Nek."
"Tadi udah izin sama Bunda?"
Diam-diam Dirta menyusut air matanya. "Pintu kamar Bunda dikunci," ujarnya.
Hati sang nenek bagai disayat sembilu mendengar penuturan cucunya. Entah terbuat dari apa hati anaknya sampai tega berlaku sedemikian kejam terhadap darah dagingnya sendiri.
"Ya udah kalau gitu. Hati-hati, ya, perginya."
Lagi, Dirta mengangguk masih dengan tertunduk. Ia menarik napas dalam-dalam sebelum bangkit berdiri dan menyalimi tangan renta sang nenek. "Dirta berangkat, assalamualaikum."
"Walaikumsalam."
🌼🌼🌼
Dengan tangan yang saling menggenggam, Dirta menuntun Nabila ke tempat peristirahatan ayahnya. Ada sebuket bunga krisan dan juga seranjang bunga tabur di tangan keduanya.
Nabila memperhatikan wajah Dirta dari samping. Ada seulas senyum di bibir cowok itu. Entah itu hanya topeng atau memang benar adanya seperti itu, tapi yang jelas ada raut sendu yang Nabila temukan. Nabila mengeratkan genggaman tangan mereka. Gadis itu mencoba menyalurkan kekuatan yang ia punya untuk Dirta supaya bisa tegar saat menengok ayahnya.
Langkah kaki mereka sampai pada sebuah nisan di antara nisan lainnya. Nama Nathaniel P. Mahendra langsung tertangkap indra penglihatan Nabila.
"Assalamualaikum, Ayah," sapa Dirta. Diletakkannya buket bunga krisan tepat di sebelah batu nisan ayahnya. "Dirta datang, Ayah. Kali ini nggak sendiri kayak biasanya. Dirta bawa seseorang."
Semilir angin meniup sulur-sulur rambut kedua insan yang berjongkok di samping gundukan tanah itu. Baik Dirta maupun Nabila tidak perlu khawatir untuk terpapar sinar matahari secara langsung karena awan mendung masih setia menggelayuti langit.
"Hei, Pacar! Ayo kenalan ulang sama calon mertua," titah Dirta.
"Assalamualaikum, Om. Saya Nabila, teman Dirta."
"Teman hidup." Dirta mengoreksi, membuat Nabila mendengus lirih.
"Anak Om emang senyebelin itu--"
"Tapi dia sayang sama Dirta, Yah," potong Dirta.
"Bisa diem dulu nggak? Mau ngomong, nih."
Dirta mengangkat kedua tangannya. Selanjutnya cowok itu menurut dengan mengunci mulutnya rapat-rapat.
"Anak Om emang nyebelin, tapi ada banyak kelebihan lain yang dia juga punya Om. Dirta itu pintar. Pintaaar banget. Selalu jadi juara umum di sekolah. Selalu bawa pulang piala tiap ikut lomba. Dirta juga baik, Om. Om patut bangga sama Dirta. Meski nggak ada figur ayah di hidupnya, tapi Dirta mampu tumbuh dengan baik."
Nabila diam sejenak, mengambil napas untuk kemudian melanjutkan kalimatnya.
"Tapi emang suka ngeselin. Hobinya bikin orang lain khawatir. Pintar banget pura-pura dalam hal apa pun termasuk pura-pura bahagia."
"Nabila ...."
"Om tenang aja, saya akan bantu jaga Dirta. Saya akan selalu ada untuk dia, jadi Om istirahat yang tenang di sana, ya?"
Dirta mengusap kepala Nabila dengan penuh haru. Gadisnya sangat manis. Manis sekali sampai rasanya sulit untuk dideskripsikan dengan untaian kata-kata.
"Yuk, kirim do'a dulu, Ta," ajak Nabila.
Kedua tangan mereka tengadah di depan dada. Dirta memanjatkan do'a dan mengirimkan al-fatihah untuk sang ayah. Mereka tampak khidmat dan begitu larut dalam do'anya. Sesi do'a berakhir saat kata aamiin terucap dan mereka mengusap permukaan wajah dengan telapak tangan.
"Nabila, lihat, deh," kata Dirta di sela-sela mereka menabur bunga. "Tanggal wafat Ayah sama kayak tanggal lahir gue."
Nabila memperhatikan tanggal yang dimaksud Dirta. Tanggal itu memang sama persis dengan tanggal kelahiran Dirta. Pun dengan bulan dan tahunnya. Itu berarti bahwa hari kepulangan ayah Dirta adalah saat di mana Dirta lahir ke dunia. Nabila dulu memang pernah datang ke makam ini, tapi itu sudah sangat lama sekali ketika keduanya masih kanak-kanak, jadi Nabila tidak terlalu ingat akan kenangan tersebut. Yang Nabila tahu bahwa memang tanggal lahir Dirta adalah tanggal yang sama di mana ayah kekasihnya itu berpulang ke pangkuan sang ilahi.
"Gue ngerasa bersalah setiap tanggal itu tiba tiap tahunnya. Gue nggak berhak ngerayain hari ulang tahun gue di mana hari itu juga adalah hari kematian Ayah. Pantas aja Bunda gak pernah ngasih ucapan selamat ulang tahun sama gue."
"Pelan-pelan, ya, Ta? Pasti lambat laun Bunda lo akan sayang sama lo."
Dirta mengulas senyum tipis sambil menatap gadisnya. "Gue nggak sabar menantikan hari itu tiba."
🌼🌼🌼
Jujurly, aku sendiri nangis nulis part ini🤧kayak yg tiba-tiba ngalir gitu aja air matanya. Apalagi kalau flashback ke kisah orang tuanya Dirta
Btw, selamat hari ayah untuk seluruh ayah di dunia🤗kebetulan pas banget momennya
See ya, velable❤