Opera Berdarah (Story Series...

By EnfysRN

28.3K 6.5K 1.3K

Kecintaan enam remaja pada gelapnya kasus kriminal pada akhirnya menimbulkan sebuah petaka: kutukan kematian... More

Prolog
Opera Berdarah
Mereka Yang Pantas Dijemput Kematian
Bukankah Kau Seharusnya Tidak Bisa Melihatku?
Menyaksikan Kematian
Kutukan
Pola Kematian
Mereka Yang Terseret Kematian
Case 1 - Garam dan Merica
Mimpi
Pembunuhan Ruang Tertutup
Garam dan Merica
Case Closed - Pola Kematian Yang Sesungguhnya
Case 2 - Ikan Tanpa Kepala
Orang Yang Tidak Bisa Memancing
Persiapan
Sepuluh Detik
Senar dan Jendela
Perangkap Psikologis
Ikan Tanpa Kepala
Case Closed - Peringatan Sang Kematian
Pengumuman
Case 3 - Kuyang
Analisa Psikologis
Anak Orang Kaya
Petunjuk Pertama
Cilok
Rencana
Sarung Tangan
Penyakit
Delapan Puluh Tujuh
Gila Kehormatan
Naskah
Sedikit Lagi
Merah
Kamar Mayat
Kuyang
Queen Sekolah Vinhale
Imajinatif
Satu Lawan Satu
Chaos
Breaking News
Teman
Case Closed - Pertolongan Yang Mendadak
Survey
Case 4 - Dia yang Berdiri di Bawah Hujan
Mainkan Lagi
Kode
Emilia
Awal Mimpi Buruk Mereka Yang Selanjutnya
Bersiap
Rumah Nomor 335
Pipa
(Ekstra) Kaleidoskop 2021
Jari Tangan Manusia
(Ekstra) Giveaway Novel Six Elves
Gilda
Sebuah Alasan Untuk Bertahan
Salah Satu dari Sekian Banyak Kartu
Kura-kura Merah dan Jamur Api
Putri
Dara Ayundari - Bagian Pertama
Dara Ayundari - Bagian Kedua
(Ekstra) Giveaway Novel Six Elves
Telinga dan Tendangan
Tiga Ekor
Pulang
Mereka yang Berdiri di Bawah Hujan
Jalan Keluar

Lantai Empat

364 92 18
By EnfysRN

Jelas betul suara nafas dihela panjang, bahkan penjual kue basah di pintu masuk utama rumah sakit sampai menengokkan kepala ke arah mereka berempat. Remaja yang bercelana pendek yang mengeluh, rambut hitamnya basah terurai sampai menutupi daun telinga.

"Kau kenapa, J?"

Diam saja dia sebagai jawaban pada Ilman.

"Masih kesal dia," celetuk Dolphy. "Naufal pergi duluan saat dia masih mandi."

"Jam lima subuh! Sama Adyth pula!" keluhan Dj menyambar. "Tanpa cerita, tanpa pamit—pastilah mengerjakan sesuatu yang berbahaya."

"Apa menurut kau yang kita lakukan ini tidak berbahaya? Kita mau mencari mayat berisi—"

Kaki Aji dijejak keras oleh Dolphy sebagai usaha untuk menutup mulut temannya yang cerewet itu. Mereka kini sedang berjalan di atrium rumah sakit, bagian tengah gedung dengan pencahayaan alami nan teduh. Tempat yang ramai tentu saja, akan mengundang curiga kalau kalimat Aji tadi selesai dan tidak sengaja terdengar orang lain.

"Lantai satu sudah kita lihat sendiri bentuknya seperti apa: aula tengah dengan kolam dan tanaman hias. Coret itu dari daftar kita. Aku dan Ilman akan periksa lantai dua dan tiga, kalian berdua periksalah lantai empat dan lima."

"Kenapa tidak bergerak sendiri-sendiri? Kita berempat dan lantainya ada empat—lebih cepat selesai, bukan? Kau khawatir kalau aku akan mengacau? Atau Dj yang mengacau? Atau malah Ilman yang mengacau? Oh, maaf kalau aku banyak tanya," gumam Aji saat Ilman memberikan tatapan konyol pada dia.

"Bukan kau namanya kalau tidak banyak tanya, Ji," Dolphy kembali buku mulut beriring pintu lift yang perlahan menutup. "Lantai dua dan tiga itu office dan kamar perawatan. Ibuku disanjung seperti presiden di tempat ini, menyusup masuk ruangan administrasi akan jadi perkara mudah. Lagipula, repot-repot aku bawa ini juga biar nampak sedang akan menjenguk seseorang. Penyamaran sempurna tanpa harus merepotkan," Dolphy menunjuk hamper buah dalam genggaman menggunakan bibirnya yang dimajukan. "Lantai empat dan lima harusnya minim penjagaan. Berdua pun kalian harusnya bisa."

"Haahh, kalau tidak ada yang menjaga berarti tidak ada apa-apa, kan?" keluh Dj. "Sedang panas begini kamu malah beri kami jatah yang membosankan."

"Justru aku kasih kalian lantai yang paling mencurigakan. Duh, otakmu memang mana kepikiran," ejek Dolphy tepat saat lift berbunyi tanda mereka sampai di lantai dua.

"Tempat menyimpan mayat mana mungkin di tempat ramai, J," Ilman menambahkan. "Kau sendiri sudah lihat semalam, kan? Bentuknya mengerikan!"

"Kaget dan takut itu beda, Man. Kalau cuma keliling terus ketemu mayat, apa menariknya?"

"Aku ingatkan sekali lagi padamu, J, kita bukan sedang uji nyali," Dolphy menggeram kesal. "Kau temukan mayat itu belum tentu itu yang kita cari. Kita mesti pastikan di dalam mayat itu ada peledaknya—itulah kenapa kau pergi dengan Aji. Mencari benjolan di sekujur tubuh mayat bukan perkara mudah, kawan. Aku penasaran bagaimana rupamu nanti kalau memang kau yang menemukan," berbunyi lift, membuka perlahan pintunya. "Sudah ya! Dua lantai itu aku percayakan pada kalian pokoknya!"

Pintu lift kembali menutup, Aji menekan angka lima dan perlahan mereka kembali naik. Tersenyum lebar dia menatap Dj.

"Kenapa kau?" tanya Dj dengan melotot

"Ungkapan kebahagiaan," perlahan dia mulai tertawa. "Kita sedang berburu mayat, J! Oh, menurutmu apakah mayat-mayat ini akan bangkit seperti zombie begitu kita temukan? Kita akan berperang melawan zombie?!"

"Kalau benar mayat ini jadi zombie, baiknya kita rekam dulu, Ji. Konten langka ini!"

Mengangguk cepat Aji, sementara Dj terkekeh. Padahal keduanya tahu mayat mana mungkin jadi zombie; padahal mereka tahu yang mereka cari bom waktu yang siap menghancurkan diri.

Seorang satpam yang sedang berjaga menyambut mereka begitu sampai lantai lima. Kaget keduanya, dipikir lantai lima itu sama seperti lantai lainnya—penuh hilir mudik pasien dan perawat yang berjaga. Ternyata tidak, mereka sampai di kantin besar tempat orang-orang ramai sedang sarapan. Melangkah dulu ke bagian tengah lantai tempat yang dijadikan target—kosong. Hanya kursi dan meja putih panjang tanpa mayat dan benda mencurigakan.

"Kita periksa sisi lain dulu, baru turun ke lantai empat."

"Ya, kita bisa mulai dengan periksa booth takoyaki di depan mata ini. Bau mentega cair dan potongan gurita setengah matang ini—aduh!" Aji menggosok bagian kepalanya yang dipukul Dj.

"Cari dulu mayatnya! Kalau sudah ketemu, nanti kau ajaklah sekalian mayat-mayat itu mukbang takoyaki."

Mau tak mau Aji bergerak kembali mengekor Dj dari belakang. Tidak boleh jadi beban, begitu misi Dj saat ini. Meskipun kemudian dia kembali berhenti, mengumpat keras saat melihat musala indah sedang ramai orang-orang salat Dhuha. Jelas dongkol dia—semalam mau salat isya malah diarahkan orang ke musala dekat kamar mayat. Gelap dan menyeramkan, padahal ada yang terang dan indah di lantai lima.

Yakin sudah mereka setelah lima belas menit keliling. Apa yang mereka cari tidak ada di lantai ini.

"Tekan nomor lantainya," perintah Dj pada Aji setelah mereka masuk kembali ke dalam lift.

"Sudah kutekan padahal tadi," Aji kembali menekan angka 4. Berselang lama, pintunya tak juga menutup.

Dilirik Dj, tombol angka 4 itu tidak menyala. "Ah kau ini! Menekan tombol pun tak becus!" Tidak ditekan, Dj malah menghantam tombol itu dengan tinjuan. Menyala sebentar angka 4 lalu redup kembali.

"Ada apa, Nak?" tanya satpam yang berjaga.

"Anu—sepertinya liftnya rusak."

"Kami mau ke lantai empat, Pak!"

"Oh, kalian mau menjenguk pasien VIP ya?" si satpam langsung asal menyimpulkan. "Sudah sebulan ini lantai empat dikosongkan untuk renovasi. Kamar VIP sekarang pindah ke lantai tiga."

Dua remaja ini langsung turun ke lantai tiga dengan senyum merekah. Oh, jelas mencurigakan sekali lantai empat ini. Kalau sesuai dengan apa yang dibilang Dolphy, kemungkinan besar lantai empat lah tempat yang sedang mereka cari.

Mereka berdua langsung tahu ke mana harus melangkah begitu sampai di lantai tiga: Tangga Darurat. Sedikit menghela nafas keduanya. Mereka punya pengalaman buruk dengan tangga darurat. Pengalaman itu sampai mendorong Aji membaca banyak doa sebelum masuk, salah satunya agar mental ia dikuatkan sebelum menemukan hal yang mengerikan.

Naik setengah berlari, tapi membuka pintu lantai empat dengan penuh hati-hati. Lampunya temaram, jauh betul dibandingkan lampu lantai tiga yang terang penuh cahaya. Sepi—konfirmasi dari telinga Aji yang luar biasa: di lantai itu hanya mereka berdua yang manusia.

Pintu pertama mereka coba buka—kosong, hanya ada kertas lusuh dan dinding yang mulai mengelupas. Kembali Aji dan Dj menatap ke koridor panjang seolah tak berujung di depan mereka. Berada di rumah sakit tua tanpa manusia, perlahan mulai gemetar bulu tengkuk mereka. Langkah pun tak lagi tegas, makin asal terkesan enggan. Tiap membuka pintu doa mereka cuma satu: Tuhan tolong kuatkan aku kalau pun nanti benar ketemu.

Namun, luntur juga keberanian hati mereka begitu sampai di ujung koridor. Berhenti saja mereka, berdiri menghadap belokan tanpa berani langsung melangkah. Ini ... beda bentuk. Bukan temaram lagi—mereka sekarang sedang memandang kegelapan. Gelap pekat, hitam saja yang masuk mata. Mata tajam Aji pun sama tidak berguna, pertanda kalau memang di depan mereka sama sekali tidak ada sumber cahaya.

"Kau bisa jelas melihat kalau sudah begini?" Dj menghidupkan lampu senter dari ponselnya, dibalas Aji dengan anggukan pelan. "Berikan ponselmu padaku. Kau fokus saja mengamati."

Langkah demi langkah mereka semakin pelan. Bukan menapak, kaki seakan diseret sekarang karena setiap suara tapak yang masuk telinga membuat jantung seakan berhenti bekerja. Ubin yang mulai menghitam memberikan redam pada pijakan, rasanya tiap bergerak mereka mendengar suara ketukan.

Tok ... Tok ... Tok

Berhenti mereka untuk memastikan suara itu memang datang dari kaki. Dj mulai tengok kanan-kiri, memastikan sunyi dinding putih menguning di sekitar dia. "Kuakui, Ji, aku sedikit gemetar. Padahal kita pernah masuk ke tempat yang lebih gelap, terjebak di tempat yang lebih menakutkan."

"Tergantung bagaimana caramu menafsirkan rasa takut itu sebetulnya."

"Oh, benarkah?" Dj menyeringai, dua-dua senter ponsel diarahkan ke wajahnya. "Lalu rasa takutmu bentuknya seperti apa? Tidak mungkin gelap, kan? Orang yang bisa melihat di kegelapan mana mungkin takut gelap."

Aji menatap balik. Menggeleng satu kali lalu menjawab, "Menurutmu, apa yang ditakuti oleh orang yang punya kemampuan pengamatan super seperti aku?"

"Entahlah—Pocong?"

"Kesalahan pengamatan, J. Itu yang aku takutkan. Contohnya sekarang ini—yakin betul aku tidak ada siapapun selain kita di sini. Ya, tapi bagaimana kalau ternyata kita tidak sendiri?"

Dj mencibir meskipun dalam hati mengiyakan. Kalau begitu mah, semua orang juga akan ngeri, kan?

Sampai juga, ruangan di depan mereka ... bagian tengah gedung; yang dicari-cari, yang jadi target. Dj menelan ludah satu kali sebagai usaha untuk memberanikan diri. Perlahan, jemarinya mulai menggapai gagang pintu—PLAK! Dipukul cepat oleh Aji telapak itu, mendesis pelan tanda agar Dj tetap bungkam. Wajah yang tadi ceria dan banyak tingkah kini menekuk ketakutan, menatap Dj dengan tajam. Diam! Sepasang mata hijau itu berkata demikian.

"Ada apa?"

"Aku mendengar suara nafas."

Malah menyeringai anak ini. Oh, bukankah itu lebih baik? Manusia lebih gampang diurus daripada setan. Kalau petugas tinggal minta maaf, kalau penjahat tinggal hajar.

Salah. Pemikiran itu salah, ketenangan itu salah. Karena suara nafas itu bukan dari manusia yang bernyawa.

Pintu itu tetap dibuka Dj. Benar—tidak ada orang di dalam sana. Yang ada hanya belasan jenazah berbalut kain kafan tergeletak asal di lantai. Tidak semua mulus, ada yang hancur bagian wajahnya, ada pula yang memiliki bercak merah di kain putih itu. Meskipun coba memberanikan diri, yang mampu diamati paling satu-dua saja. Ditatap lama-lama rasanya seperti mereka yang mati itu sedang menggerogoti jiwa.

Uh, padahal ini di rumah sakit, mayatnya pun terbungkus—tapi dia masih gemetar. Kesal betul Dj, menggenggam keras jemarinya berusaha untuk menghilangkan gemetar. Ayolah, ini belum ada apa-apanya. Temanku pernah melihat yang lebih parah.

"Jadi di dalam tubuh mayat-mayat ini ada peledaknya ya? Kau bisa periksa tubuh mereka, Ji? Kau sudah lihat kan yang ada di tubuh Dolphy? Kurasa akan sama saja bentuknya."

Aji yang biasanya sanggup, sekarang sekuat tenaga menggelengkan kepala.

"Kenapa? Kau takut?"

Perlahan Aji mengangguk. "Nafas."

"I-iya. Cobalah atur nafasmu kalau ketakutan."

"Bukan, J. Mereka semua yang bernafas!"

Langsung dingin kulit tangan Dj. Kaku, berat, tidak bisa bergerak. Eh? M-ma-mayat seharusnya tidak bisa bernafas, kan?! Terbelalak dia pada sahabatnya yang kini sedang cemas menutupkan tangan ke telinga. Gemetar, mereka berdua gemetar. Entah kenapa Dj juga mulai bisa mendengar suara helaan nafas dari belakang. Bulu tubuhnya sempurna berdiri. Memberikan dorongan untuk cepat-cepat pergi berlari.

Dj menggulung jemari, menancapkan semua kuku tangannya ke telapak sekuat tenaga. Dia tidak boleh takut, tidak boleh kalah dengan rasa takut. Semua temannya bergantung pada dia sekarang; delapan puluhan orang nyawanya bergantung pada keberanian dia sekarang.

"M-mungkin itu pe-perasaan kita saja, kawan. Ah, ya! Di sini kan sunyi, bisa jadi suara nafas kita yang terdengar terlalu keras. Ya, pasti begitu! A-aku buktikan ke kau ya! Nih aku coba periksa satu. Aku yang periksa kalau memang mereka sudah mati, dan kau bantu aku habis itu! Kan kau yang tahu bentuk peledaknya."

Kuat sekali jantung Dj berdetak, suaranya sampai terdengar oleh Aji. Perlahan dia melangkah, sedikit demi sedikit menuju bagian kepala si mayat yang paling dekat dengan mereka. Kain kafan si mayat masih putih bersih seperti habis dicuci. Sudah dekat, bingung sekarang Dj. Ulangan biologi dia selalu remedi, mana punya dia kemampuan untuk memeriksa tanda-tanda kehidupan manusia? Jadilah mayat itu ditendang-tendang pelan oleh dia. Tiga kali hitungan lalu dicukupkan oleh Dj. Begitu saja apa cukup?

"Pe-permisi, mau tanya. Kalian sudah mati, kan?"

Perlahan Dj menyibak kain kafan lain yang menutupi wajah. Kulit pucat seputih kertas, berhias luka lebam ungu di dagu dan pipi—sepertinya mayat ini korban penganiayaan. Dengan sekali lihat juga Dj tahu kalau kematiannya amat menyakitkan. Bahkan kedua bola mata mayat ini masih melotot tajam seolah sedang menahan pedih. Mengulur tangan Dj hendak menutup kelopak mata yang kesakitan itu, sampai ....

... berkedip. Kelopak mata itu mendadak berkedip.



Continue Reading

You'll Also Like

999K 63.3K 64
[WAJIB FOLLOW TERLEBIH DAHULU SEBELUM MEMBACA] ~ADA INFO TAMBAHAN NIH. KALAU KALIAN NGERASA SEPANJANG CERITA ADA YANG BERANTAKAN, WAJAR AJA YA. KAREN...
559K 85K 74
Cocok untuk kamu peminat cerita dengan genre #misteri dan penuh #tekateki, juga berbalut #action serta #scifi yang dilatarbelakangi #balasdendam. Kas...
S E L E C T E D By mongmong09

Mystery / Thriller

318K 16.8K 31
Tentang obsesi seorang pria misterius terhadap seorang gadis yang menolongnya. ---------------------------------------------------- Raina Karlova, se...
105K 7.8K 25
Disatukan dengan murid-murid ambisius bukanlah keinginan seorang Keyla Zeara. Entah keberuntungan apa yang membuat dia mendapatkan beasiswa hingga bi...