19_Perfect Wedding

1.3K 86 0
                                    

"Bukan lahar yang membuat meleleh, tetapi mahar. Pernikahan bagi perempuan, adalah bukti cinta sesungguhnya yang tak bisa diibaratkan dengan apapun. Bukan hanya mengutamakan nafsu, namun mengutamakan ibadah kepada Yang Maha Esa."

_Kacamata Mertua_

Dua minggu kemudian ...

Pernikahan gue dan Pak Rama akhirnya tiba juga. Sekarang, gue lagi di depan cermin di kamar gue dengan Mbak Perias yang masih bersiap buat make up wajah cantik gue. Tadi pagi, gue bener-bener bangun jam tiga. Bukan apa-apa, tapi gue salat tahajud dan minta kelancaran untuk pernikahan gue dengan Pak Rama. Bahkan, sebenernya semalem gue enggak bisa tidur, pertama karena grogi, kedua karena enggak sabar nunggu pagi tiba.

"Mbak, alisnya jangan dikerok, ya," kata gue sebelum mulai merias.

"Dikerok, emangnya masuk angin, Mbak," balas Mbak Perias dengan kekehannya.

Gue pun senyum, "Gugup saya, makanya blank, Mbak."

"Wajar, Teh. Waktu saya menikah dua tahun lalu, saya juga gugup seperti Teteh. Bahkan, saking gugupnya saya sampai kebentur giginya waktu salim sama suami," kekeh si Mbak.

Gue sih enggak mau ketawa, tapi senyum aja tetep. Bukan karena lawakannya garing, tapi karena jantung gue bertalu kencang banget sampai gue enggak bisa lakuin hal lain selain memilin jari.

"Mbak, saya enggak mau menor make up-nya, ya, lipstiknya juga jangan tebel-tebel pokoknya."

"Iya, Mbak. Saya juga menyesuaikan dengan wajah, kok, apalagi wajah Mbak itu masih baby face dan menyegarkan," kekeh si Mbak berhasil buat kegugupan gue setidaknya berkurang.

Akhirnya poles memoles pun dimulai, dan selama make up itu sebenernya gue nahan ngantuk banget. Gabut juga kalau dirias tanpa lakuin apapun, dan dikit-dikit disuruh merem.

Setelah bergelut dengan banyak riasan, akhirnya gue pun selesai segalanya. Kebaya putih dengan adat Sunda pun sudah melekat di tubuh gue, dan saat ini gue lagi liat iring-iringan pengantin lelaki yang baru datang.

Kalau di India, pasti enggak boleh liat calon laki-lakinya, entah apa alasannya. Tapi, 'kan gue bukan India, jadi gue liatin aja Pak Rama dari jendela kamar gue.

"Teh, sebentar lagi akad mau dimulai," kata Emak yang entah sejak kapan udah berdiri di belakang gue.

Gue berbalik kemudian Emak nuntun gue buat duduk di ranjang yang belum dapat riasan apapun. Gue liat Emak yang matanya merah kayak orang nahan tangis. Dengan lembut gue raih tangan Emak, dan gue usap lembut.

"Kenapa?" gue tanya beliau lembut.

Emak juga pake kebaya warna mocca, beliau juga dirias tapi tipis. "Teteh mau ninggalin Emak, masa Emak enggak sedih," katanya berhasil buat hati gue berdesir.

"Emak jangan bicara gitu, ya, Teteh jadinya enggak bisa tinggalin rumah ini," kata gue nahan air mata yang udah berkumpul.

Emak senyum keibuan, "Teteh harus menjadi istri yang baik ya, ikuti setiap perintah suami apapun itu. Teteh harus bisa mendapatkan surga dari keridaan suami Teteh nanti, tanggung jawab Teteh nanti besar sebagai seorang istri. Oke?"

𝙼𝙰𝙽𝚃𝚄-𝙰𝚋𝚕𝚎✔Where stories live. Discover now