41 | Belajar Menerima dan Terbiasa

1.1K 189 26
                                    

"Dia siapa?" Lana mengernyit dan bertanya pada Verly, kemudian tatapan Lana kembali kepada pemuda yang duduk di depannya.

"Mata-mata," jawab Verly santai, "dia kerja untuk gue."

Untuk sejenak Lana terdiam, sampai kemudian dia berdeham menguasai diri.

Pemuda itu berdecak. "Gue nggak punya banyak waktu, ini mau dimulai kapan?" katanya terdengar sebal.

"Mulai aja. Apa aja yang lo dapet?" ucap Verly, menyedot tenang minumannya.

"Anin dan Davin udah bareng sejak kecil. Sejak SMP, Davin tinggal bareng keluarga Anin. Gue sempet tanya orang situ, dan bener, hubungan mereka sedeket itu."

Verly langsung tersedak mendengar penjelasan pemuda bernama Ray itu. Lana tersenyum puas diam-diam, senang rasanya melihat Verly kesusahan. Namun kemudian raut Lana kembali serius, teringat ucapan Ray.

"Tinggal bareng? Tinggal serumah sama Anin, maksud lo?" kata Verly, mengernyit tak suka. Rey hanya mengangguk cuek.

"Oh, iya, lo bisa cek Instagram-nya salah satu sahabat mereka. Kara. Kalian bisa cek, dia pernah nge-post foto rame-rame, di situ ada sahabat-sahabatnya termasuk Davin dan Anin," kata Rey langsung ditanggapi oleh Lana.

Lana membuka aplikasi sosial media tersebut, namun saat sudah menemukan akun Kara, Lana berdecak karena akun itu digembok.

"Digembok," kata Lana memberi tahu, "bentar, gue minta bantuan temen gue."

Verly kembali menatap Rey. "Apa lagi? Lo dapet info apa lagi?" tanya Verly tak sabaran.

"Susah. Gue cuma dapet itu. Gue nggak tau, tapi kayak ada yang sengaja nutup dari gue. Udah gue bilang sebelumnya, kalau lo mau tau tentang Anin, itu bukan hal mudah. Cewek itu pinter nutup diri dari orang lain," kata Rey.

"Gimana sih lo? Lo kerja, gue bayar. Lo juga udah biasa kerja beginian, lo selalu berhasil, makanya gue percaya sama lo. Tapi ini? Cuma cari tau tentang hidup cewek itu aja nggak bisa!" ucap Verly marah.

"Masalahnya, cewek itu nggak kayak cewek-cewek lain yang dengan mudah dikorek infonya." Rey menatap serius Verly dan Lana. "Perlu gue bilang ke lo berdua, kalian milih lawan yang salah."

Brakk....

Lana terlonjak kecil setelah Verly menggebrak meja. Rey tenang saja, tak banyak bereaksi. Sementara para pengunjung kafe lainnya jelas memerhatikan itu, membuat Verly mengembuskan napas mencoba kalem.

"Harus gue akui, dia kuat," kata Rey benar-benar ingin melihat Verly mengeluarkan tanduk. Lana bisa lebih tenang dari Verly, setidaknya dia tidak sampai menggebrak meja. "Fisik dan mental dia kuat. Jadi, hati-hati kalau mau lawan dia. Dia bisa balik nyerang kapan pun dia mau," lanjutnya masih tenang, kelewat tenang.

Verly diam bukan karena kalah, dia sedang menahan, menahan untuk tidak ngamuk dan meratakan wajah menyebalkan Rey sekarang juga. Sedangkan Lana mendadak jadi banyak berpikir, maka dari itu lebih sering diam.

"Udahlah, Ver. Fokus sama sekolah lo aja. Masalah kayak gini tuh udah bukan zamannya lagi untuk lo yang udah kelas dua belas. Bahkan minggu ini lo ulangan semester kan," ucap Rey lebih halus, "berhenti ganggu hidup orang lain, perhatiin hidup lo sendiri."

"Sori, gue nggak bisa bantu banyak. Gue nggak butuh uang itu, anggap aja gue gagal jadi nggak perlu ada bayaran. Gue pergi," lanjut Rey, ia berdiri lalu tersenyum singkat pada Lana untuk pamit, pemuda tersebut pergi setelahnya.

◻ ◼ ◻ ◻

Ratna menghela napas lelah, menatap lelaki di depannya yang hanya diam sejak 10 menit lalu mereka bertemu. "Sebenernya apa yang mau kamu omongin? Saya bener-bener nggak ada banyak waktu, Bian nunggu saya di rumah," kata Ratna pada ayah kedua anaknya, Aji.

Hey, Sha! | ✔Where stories live. Discover now