40 | Masih Akan Diam

1K 188 22
                                    

Anin mendadak menghentikan langkah, membuat Davin juga berhenti lalu menatap bingung Anin.

"Davin, gue baru inget harus ketemu Miss Adora. Lo ke kantin sendirian aja, ya."

"Enak sama lo sih. Tapi kalau lo ada keperluan lain, ya, udah sono," balas Davin percaya saja. "Tapi lain kali jangan nolak kalau gue ajak lo ke kantin bareng," lanjutnya tegas.

"Iya," jawab Anin, mengangguk singkat. "Sana, lo duluan."

Davin tersenyum dengan tangan menepuk puncak kepala Anin. Sudah menjadi kebiasaan sepertinya, senang sekali pemuda itu menepuk puncak kepala si gadis. Davin mulai melangkah lebih dulu menjauh dari Anin. Sedangkan Anin memerhatikan langkah Davin yang semakin jauh. Setelahnya, Anin membalikkan badan dan beranjak.

Harus bertemu Miss Adora hanyalah sebuah alasan agar Anin bisa pergi tanpa ditahan Davin. Gadis tersebut celingukan mencari seseorang. Ia segera melangkah cepat menghampiri orang yang ia cari.

Shafa sampai terlonjak setelah melihat Anin tiba-tiba sudah ada di depannya saja. "Anin? Kirain siapa, kaget gue," ucap Shafa sembari menormalkan napas yang sempat memburu karena kaget.

Anin tertawa kecil mendengar ucapan Shafa. Ia duduk di kursi yang tadinya hendak Shafa duduki. Setelahnya barulah Shafa duduk di sebelah Anin.

"Lo kok ke sini? Davin?" kata Shafa, mengerutkan kening.

"Davin ke kantin," sahut Anin cuek, "kenapa? Tadi katanya mau ngobrol sama gue."

Setelah mendengar perkataan Anin, Shafa menghela napas, lalu menatap depan pada lapangan tengah sepi. "Gue mau minta maaf," katanya lancar namun tak berani menatap Anin.

Anin pun sudah menatap lurus ke depan, mendengar ucapan Shafa dalam diam. Gadis itu tak langsung membalas, membiarkan Shafa menyelesaikan perkataannya.

"Selama ini pasti lo banyak nanggung susah karena gosip nggak bener itu. Maaf gue nggak bela lo, nggak berusaha meluruskan masalah itu. Maaf gue terkesan bersembunyi di balik susahnya elo. Dan maaf, gue belum bisa bertindak apa-apa, gue belum siap nanggung risikonya. Gue tau gue jahat sama lo, gue minta maaf."

Anin melengos pelan, diam-diam ia tersenyum sinis. Kalau ditanya apakah Anin marah? Sudah sejak dulu Anin marah. Tapi amarah tak akan menyelesaikan masalah, Anin memilih menggunakan cara yang lebih tenang.

Shafa menoleh pada Anin kemudian menyentuh lengan Anin, membuat Anin membalas tatapannya. ''Lo maafin gue kan?" tanya Shafa hati-hati.

"Hm." Anin hanya bergumam. Mudah bagi Anin untuk memaafkan orang lain, siapa pun itu. Anin hanya lebih susah untuk melupakan apa yang telah orang lain lakukan padanya. Memaafkan bukan berarti melupakan kan.

"Udah? Mau ngomong itu aja atau ada lagi?" kata Anin dengan intonasi dingin alanya tanpa menatap Shafa.

Melihat Anin yang sudah memasang wajah datar, dagu terangkat, dan tatapan tanpa takut, membuat Shafa sering merasa segan untuk mendekat. Shafa bukan berniat kurang ajar dengan terus berlindung pada gadis itu, tapi Shafa memikirkan keselamatannya.

Shafa mencoba santai, kemudian berkata, "Gimana sih, Nin, caranya jadi kuat? Lo kuat, gue pengen jadi kayak lo. Gue ini lemah, gue penakut, makanya gue belum siap untuk bilang yang sebenernya ke semua orang."

Hey, Sha! | ✔Where stories live. Discover now